Polisi Tangkap Pelaku Mutilasi di Garut, Dugaan Gangguan Jiwa Diselidiki
Polisi menangkap pelaku mutilasi seorang pria di Garut. Dugaan pelaku mengalami gangguan jiwa diselidiki.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Polisi menangkap pelaku pembunuhan dan mutilasi seorang pria yang ditemukan di Kabupaten Garut, Jawa Barat, Minggu (30/6/2024) siang. Penangkapan pelaku hanya berselang sembilan jam setelah jenazah korban ditemukan warga.
Polres Garut menyatakan belum dapat memublikasikan identitas pelaku karena masih dalam proses pemeriksaan. Saat ini, pelaku telah ditahan di ruangan khusus Mapolres Garut.
”Pelaku ditangkap pada Minggu sekitar pukul 21.00 WIB di sekitar lokasi kejadian. Dia sama sekali tak melawan petugas saat akan ditangkap,” kata Kepala Seksi Humas Polres Garut Inspektur Polisi Satu Adi Susilo saat dihubungi, Senin (1/7/2024).
Adi memaparkan, identitas korban dan motif pelaku melakukan aksinya juga belum diketahui. Sebab, penyidik masih berupaya meminta keterangan dari pelaku hingga Senin ini.
Terkait dugaan pelaku mengalami gangguan jiwa, Adi menyatakan, kepolisian akan menggandeng dokter spesialis jiwa dari rumah sakit setempat untuk memeriksa pelaku.
”Untuk pemeriksaan kejiwaan pelaku, kami akan melibatkan tenaga ahli dari Rumah Sakit Umum Daerah dr Slamet di Garut dan Rumah Sakit Jiwa Cisarua di Bandung Barat,” ucap Adi.
Jenazah korban yang telah dimutilasi menjadi empat potongan tubuh ditemukan warga di Kampung Bantar Limus, Desa Sancang, Kecamatan Cibalong, Garut, pada Minggu pukul 12.30 WIB. Setelah itu, warga segera melaporkan temuan jenazah ke Polsek Cibalong.
Saat tiba di lokasi kejadian, polisi menemukan dua bagian tubuh korban di pinggir jalan raya. Adapun dua potong tubuh lainnya berupa lengan dan kaki ditemukan dalam sebuah karung di lokasi tersebut.
Kriminolog dari Universitas Padjadjaran, Yesmil Anwar, menilai, sejumlah kasus pembunuhan sadis yang terjadi beberapa waktu belakangan menunjukkan adanya budaya kekerasan yang tumbuh subur di tengah masyarakat.
Yesmil menyebut, budaya kekerasan bisa tumbuh di masyarakat tanpa mengenal umur dan strata ekonomi. Bahkan, korban dan pelaku kadang kala punya hubungan dekat atau masih tergolong keluarga.
”Budaya kekerasan yang masif terlihat dari maraknya kasus tawuran, aksi pembunuhan yang sadis, serta perundungan. Keberadaan media sosial membuat konten-konten kriminalitas lebih mudah dilihat banyak orang,” tutur Yesmil.
Terus berulang
Kasus mutilasi di Garut menambah panjang deretan kasus mutilasi di Indonesia. Pada Mei 2024, seorang pria bernama Tarsum membunuh dan memutilasi istrinya yang berinisial Y di Dusun Sindangjaya, Desa Cisontrol, Kabupaten Ciamis, Jabar, pada 3 Mei 2024.
Pada tahun 2013, Silvester Bria (48), petani di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, membunuh dan memutilasi istrinya, Rosalina Bete (45), dan anaknya, Emelia Putri alias Esrah (2,5). Saat kejadian, sang istri yang merupakan guru sekolah dasar swasta sedang hamil tiga bulan.
Sejumlah penelitian menunjukkan, ada banyak motif mutilasi. Aksi mutilasi di bagian genetalia biasanya bermotif cinta. Adapun pemotongan kepala dilatarbelakangi dendam.
Pandangan itu tercantum dalam artikel yang ditulis Ahmad Albar dan kawan-kawan berjudul ”Analisis Yuridis Tindak Pidana Pembunuhan Disertai dengan Mutilasi dalam Perspektif Kriminologi” yang dimuat di Jurnal Ilmiah Metadata tahun 2022. Tulisan itu juga menyebut persoalan gangguan kejiwaan yang memicu pelaku mutilasi.
Dalam kesempatan sebelumnya, akademisi Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang, Nandy Agustin Syakarofath, mengatakan, jumlah pengidap masalah kesehatan mental di Indonesia meningkat signifikan setiap tahun. Pada 2024, jumlah penderita masalah kesehatan mental mencapai 3,24 juta orang.
Pengidap penyakit mental itu berasal dari berbagai kalangan usia, tidak hanya remaja. Meningkatnya populasi yang mengalami gangguan mental disebabkan oleh berbagai faktor.
Salah satu faktor adalah perubahan lingkungan. Perubahan lingkungan ini mencakup perubahan sosial, ekonomi, dan perkembangan teknologi.
”Perubahan gaya hidup, materialisme, dan industrialisasi yang terkait teknologi terkadang memunculkan tekanan sosial dan isolasi sosial sehingga memicu stres, depresi, hingga bunuh diri,” ucap Nandy, Selasa (7/5/2024).