Menghadang Mabuk Laut dari Pulau Solor ke Pulau Timor
Mabuk laut masih terasa kendati sudah tiba di darat. Terasa sampai satu bahkan dua hari berikutnya.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
Ketika bulan Juni tiba, biasanya angin berembus kencang melewati wilayah Nusa Tenggara Timur. Warga setempat menyebutnya angin timur. Kecepatan angin membangkitkan gelombang laut sehingga banyak orang menghindari berlayar dengan kapal kecil. Pelayaran di tengah gelombang berisiko memicu mabuk laut.
Selasa (18/6/2024) pukul 07.00 Wita, Kompas berlayar dengan KM Sabuk Nusantara 108. Kapal dengan bobot mati lebih kurang 1.200 gros ton (GT) itu mulai lepas tali dari Pelabuhan Menanga, Pulau Solor, Kabupaten Flores Timur, NTT.
Pagi itu, perairan pertama yang dilewati, Selat Solor, teduh bak minyak di dalam tacu. Teduh lantaran tidak diterpa angin kencang. Angin dari sisi selatan terhalang Pulau Solor. Selat Solor di sisi utara Pulau Solor dan diapit oleh Pulau Adonara.
Penumpang tampak menikmati pelayaran. Ada yang berkumpul sambil ngobrol dan ngopi. Mereka yang membeli tiket kelas ekonomi menempati dek dua, sedangkan penumpang kelas bisnis di dek tiga. Total penumpang tidak lebih dari 50 orang.
Satu jam pelayaran, kapal melewati ujung timur Pulau Solor. Kapal mulai oleng akibat gelombang yang bergulung-gulung dari Laut Sawu di sisi selatan. Selama lebih dari dua jam, kapal terus oleng hingga tiba di Pelabuhan Lewoleba, Kabupaten Lembata.
Setelah istirahat dua jam, tepat pukul 12.00, kapal kembali berlayar menyisir sisi barat Pulau Lembata. Siang itu, angin semakin kencang. Punggung gelombang semakin tinggi, sekitar 2,5 meter. Kapal tambah oleng.
Penumpang yang tadinya duduk berkerumun mulai hilang satu per satu. Ada yang kembali ke tempat tidur dan ada yang bergeser ke dek bawah. Di bawah, guncangan terasa lebih kurang dibandingkan dengan dek atas. Lebih kurang lima jam, kapal menerjang gelombang.
”Sudah dekat di sana,” ujar Berto Ola (40), salah seorang penumpang, sambil menunjuk ke arah Pelabuhan Balauring yang juga masih di Pulau Lembata. Lewoleba di sisi barat, sedangkan Balauring di bagian utara pulau seluas 1.266 kilometer persegi itu.
Hari mulai gelap, nakhoda memutuskan kapal bermalam di Balauring. Meninggalkan Balauring ketika malam hari agak berisiko. Pelabuhan itu berada di teluk, yang pada alur masuk kapal terdapat dua bukit karang di kiri dan kanan. Untuk mencegah bahaya kapal kandas, otoritas pelabuhan menyarankan kapal keluar masuk ketika hari masih terang.
Mulai Selasa petang hingga Rabu keesokan hari, kami menikmati kesunyian di Balauring. Di atas pelabuhan itu dapat menyaksikan matahari tenggelam di Laut Flores. Di sisi selatan tampak erupsi Gunungapi Ile Lewotolok. Eksotik.
Rabu (19/6/2022), kapal lepas tali dan berlayar ke timur menuju Pelabuhan Baranusa di Pulau Pantar, Kabupaten Alor. Lagi-lagi, gelombang tinggi belum juga reda. Malah semakin tinggi. Jalur yang dilewati itu di sisi baratnya adalah Laut Flores dan sisi utara serta timur adalah Laut Banda. Dua perairan yang ganas.
Banyak penumpang yang dari awal tampak segar, wajah mereka mulai pucat. Keringat dingin dan mual-mual. Itu gejala umum mabuk laut. Mereka yang hendak muntah berlari masuk toilet, mencari tong sampah, dan ada yang langsung muntah ke laut.
Selama enam jam, kapal yang melayani pelayaran perintis itu berjibaku di tengah gelombang. Kapal akhirnya tiba di Baranusa. Para penumpang, terutama lanjutan, turun membeli makanan di pelabuhan.
Keleso—semacam ketupat tetapi ukurannya panjang—dan ikan goreng adalah kuliner yang paling diburu. Juga buah-buahan seperti pisang dan jeruk. Mereka mengisi lambung yang kosong dan menambah tenaga untuk melanjutkan pelayaran.
Banyak penumpang yang dari awal tampak segar, wajah mereka mulai pucat. Keringat dingin dan mual-mual. Itu gejala umum mabuk laut.
Kapal kembali berlayar menuju Kalabahi, ibu kota Kabupaten Alor. Kondisi perairan tidak beda jauh. Gelombang tetap tinggi. Kapal tiba di sana pada Rabu malam. Sialnya, di dekat pelabuhan tidak ada warung makanan berat. Hanya biskuit dan roti.
Rabu pukul 22.00, kapal kembali berlayar menuju titik terakhir di Pulau Timor, tepatnya Pelabuhan Atapupu, Kabupaten Belu. Ini menjadi rute terjauh dan membelah Laut Sawu yang sedang berkecamuk.
Kapal berlayar dari utara ke selatan menghadang ke arah datangnya angin. Kapal sangat oleng dengan derajat kemiringan lebih tinggi dibandingkan pada jalur sebelumnya. Pelayaran itu berlangsung selama sembilan jam!
Kapal tiba di Atapupu pada Kamis (20/6/2024) pukul 07.00 Wita. Jika dihitung dari pertama naik kapal pada Selasa (18/6/2024) pukul 07.00, artinya Kompas berlayar selama 48 jam dengan menyinggahi enam pelabuhan.
Kia (74), pelaut tradisional di NTT, menyarankan kepada mereka yang tidak tahan gelombang agar memilih waktu yang pas untuk berlayar. Biasanya, satu minggu sebelum atau sesudah bulan purnama.
”Saat itu pasang dan surut tidak terlalu jauh. Gelombang itu terjadi ketika pasang dan surut jauh seperti ketika purnama,” kata Kia. Saran Kia ini berdasarkan pengalaman menjadi pelaut kapal kayu selama lebih dari 50 tahun. Ia pernah mengemudi kapal layar hingga kapal bermesin.
Ampa Uleng, mantan nakhoda kapal perintis dan kapal kargo, pun setuju. Namun, di sisi lain jadwal kapal tidak berpatokan pada perhitungan seperti itu. Kapal tidak berlayar atas larangan otoritas pelabuhan. Jika kapal masih diizinkan berlayar, tinggi gelombang masih dalam batas toleransi.
Untuk mencegah mabuk laut, Ampa menyarankan penumpang harus dalam kondisi fit dan tubuh terisi makanan yang cukup. Sebaiknya tidur jika mulai merasa mual. Penumpang diminta tidak memandang ke arah laut atau daratan ketika kapal sedang oleng. ”Tidur, tutup mata,” ujarnya.
Berbeda dengan mabuk kendaraan darat atau mabuk minuman alkohol, mabuk laut masih terasa kendati sudah tiba di darat. Terasa sampai satu bahkan dua hari berikutnya.