Merayu Anak Muda Semarang untuk ”Njamu” Bareng
Sejumlah pihak di Semarang terus mengupayakan inovasi jamu supaya bisa memikat hati masyarakat, khususnya pemuda.
Empat pemudi duduk berdekatan sambil bercerita ngalor-ngidul di Herbal Corner, sebuah kafe minuman herbal di Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang, Jawa Tengah, Rabu (19/6/2024). Tangan-tangan mereka memegang gelas berisi jamu yang diolah dengan berbagai teknik menjadi minuman-minuman yang kekinian.
Adette (20), salah satu dari empat orang tersebut, memegang kunyit asam grande. Warga Kecamatan Candisari, Kota Semarang, itu meyakini, minuman berbahan dasar kunyit dan asam jawa tersebut bisa mengatasi nyeri menstruasi yang sedang dideritanya.
Sejak lebih kurang satu dekade terakhir, jamu menjadi sahabat baik Adette. Minuman itu selalu dicari, setidaknya sebulan sekali oleh mahasiswi program studi gizi sebuah perguruan tinggi negeri di Kota Semarang tersebut.
Baca juga: Merawat Jamu sebagai Kearifan Lokal
”Biasanya, saya membeli jamu dari pedagang keliling yang setiap hari lewat di depan rumah. Setahun terakhir, (pedagang keliling) sudah tidak pernah lewat lagi, jadi sempat kebingungan mau beli di mana,” ucap Adette saat ditemui di Herbal Corner, Rabu.
Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Pada suatu malam pertengahan 2023, sebuah video tentang kafe yang menjual minuman herbal muncul di Instagram Adette. Tanpa pikir panjang, Adette langsung datang ke kafe tersebut.
Di kafe itu, jamu-jamu dicampur dengan bahan lain, kemudian diolah menjadi aneka minuman kekinian, seperti jamu blend (diblender), jamu shake (kocok), hingga es krim jamu. Oleh karena terkesan dengan olahan jamu di kafe itu, Adette sering mengajak teman-temannya untuk njamu di tempat itu.
”Meski tidak sedang menstruasi, saya tetap datang (ke kafe minuman herbal) untuk minum jamu. Soalnya, jamunya unik-unik, kekinian, dan tidak membosankan. Secara tampilan juga menarik. (Saya jadi) dapat manfaat dari khasiat jamu tanpa mengecap atau membaui aroma jamu,” ujarnya.
Harga minuman olahan jamu di kafe itu cukup terjangkau, mulai dari Rp 20.000 hingga Rp 35.000 per gelas. Selain olahan minuman jamu, kafe tersebut juga menjual jamu-jamu cair, serbuk, tablet, hingga kapsul.
Tak hanya di kafe minuman herbal, jamu produksi Sido Muncul yang diolah menjadi es krim juga dijual di sejumlah kafe di Kota Semarang. Penyajian jamu menjadi minuman kekinian di sejumlah tempat itu merupakan upaya Sido Muncul, produsen jamu di Semarang, untuk membuat jamu lebih menarik dan gampang dijangkau, khususnya untuk konsumen muda.
Di sejumlah hotel yang merupakan anak usaha Sido Muncul, pengelola juga selalu berupaya menyajikan jamu. Hal itu dilakukan dengan cara menawarkan tamu untuk mencicipi jamu seduh Sido Muncul.
”Kami berupaya membuat jamu itu aman, berkhasiat, dan gampang dikonsumsi. Biasanya, jamu itu, kan,selalu dianggap (minuman) kelas dua. Sekarang, anak-anak generasi z, milenial, bahkan para eksekutif itu sudah mulai sadar bahwa ada sesuatu yang berharga di obat-obat herbal ini,” kata Presiden Direktur PT Sido Muncul Irwan Hidayat.
Jamu ”gepuk”
Selain di kafe-kafe, sejumlah anak muda di Kota Semarang juga suka mengonsumsi jamu di angkringan-angkringan ataupun kedai jamu. Di tempat-tempat itu, jamu, seperti jahe, kunyit, dan kencur, disajikan dengan cara di-gepuk (ditumbuk kasar) lalu dicampuri air panas.
Salah satu kedai jamu yang tertua di Kota Semarang adalah kedai Jahe Rempah Mbah Jo di Kecamatan Semarang Selatan, Kota Semarang. Kedai yang didirikan Tugiyo itu eksis sejak tahun 1996. Kini, Jahe Rempah Mbah Jo tersebut sudah punya dua kedai cabang, yaitu di Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang dan di Depok, Jawa Barat.
Ardin (26), pria yang tinggal di Kecamatan Gajahmungkur, Kota Semarang, rutin mendatangi kedai Jahe Rempah Mbah Jo, minimal dua kali dalam sepekan. Kebiasaan itu dilakoni Ardin sejak pandemi Covid-19. Padahal, sebelumnya, Ardin yang merupakan perantau asal Kendal itu tidak pernah minum jamu.
”Awalnya, saya diajak teman indekos mencoba minum jamu untuk menjaga imun. Saya sempat ragu, tapi saya tetap coba karena takut kena Covid-19. Alhamdulillah, gara-gara minum jamu, saya tidak pernah kena Covid-19,” tutur Ardin.
Cerita Ardin selamat dari serangan Covid-19 itu terus diceritakan pada teman-temannya. Dengan cara itu, Ardin berharap, semakin banyak orang yang menyadari manfaat jamu.
”Kalau diajak ketemuan sama teman atau klien, saya selalu minta ketemuan di kedai jamu. Biar makin banyak yang ketularan saya, suka minum jamu,” ucapnya sambil terkekeh.
Fajri (34), pekerja kedai sekaligus menantu Tugiyo, menuturkan, setiap hari ada lebih dari 100 pembeli yang datang ke kedai Jahe Rempah Mbah Jo di Semarang Selatan. Mayoritas pengunjung yang datang ke kedainya adalah anak muda berusia belasan hingga 30-an tahun.
Cerita Ardin selamat dari serangan Covid-19 itu terus diceritakan pada teman-temannya. Harapannya, semakin banyak orang yang menyadari manfaat jamu.
Awalnya, kedai Jahe Rempah Mbah Jo itu hanya menjual wedang jahe. Seiring berjalannya waktu, pengelola menambah varian menu dengan cara memberikan bahan campuran, seperti gula, susu, hingga cokelat, sesuai saran para pelanggannya. Tak jarang, pembeli memesan jamu yang tidak ada di daftar menu.
”Tidak sedikit pembeli yang memesan (jamu) berdasarkan penyakit yang dideritanya. Jadi, (saat memesan) langsung bilang mau jamu untuk pegal linu, jamu untuk batuk pilek, jamu perut kembung, jamu kolesterol, dan lain-lain. Bahkan, saat Covid-19, itu kebanyakan pembeli pesan jamu anti-korona,” kata Fajri.
Jamu di Jahe Rempah Mbah Jo buka setiap hari dari pukul 06.00 hingga pukul 22.00. Jamu-jamu di kedai itu dijual dengan harga Rp 8.000-Rp 10.000 per gelas.
Selain menjual jamu, pengelola Jahe Rempah Mbah Jo juga memiliki misi mengedukasi para pembelinya. Hal itu dilakukan dengan cara memasang poster-poster berisi informasi soal manfaat dan khasiat jamu di berbagai sudut kedai.
Semua pihak
Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Jamu Jateng Stefanus Handoyo Saputro mengatakan, budaya sehat jamu resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) pada Desember 2023. Budaya sehat jamu menjadi WBTb ke-13 dari Indonesia yang dicatat UNESCO.
”Dengan penetapan ini, budaya sehat jamu perlu dilestarikan dan dimasyarakatkan. Siapa yang bertanggung jawab melestarikan dan memasyarakatkan? Semua pihak,” kata Stefanus.
Stefanus mendorong pemerintah untuk membuat kebijakan yang bermanfaat bagi pelestarian jamu ataupun budaya minum jamu. Salah satu caranya dengan gerakan minum jamu. Upaya lain yang bisa dilakukan adalah mengenalkan jamu kepada generasi muda melalui program jamu goes to school atau jamu goes to campus seperti yang dilakukan Gabungan Pengusaha Jamu Jateng di Kota Surakarta, Cilacap, dan Rembang.
Baca juga: Tren Herbal dan Gaya Hidup Kembali ke Alam
Sementara itu, Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu menuturkan, pihaknya terus berupaya mendekatkan jamu kepada masyarakat. Di setiap pameran usaha mikro, kecil, dan menengah, misalnya, Pemkot Semarang selalu menyisipkan produk jamu. Saat pandemi Covid-19, Pemkot Semarang juga membagikan jamu kepada masyarakat.
”Jamu, kan, warisan nenek moyang, bahkan ramuan jamu bisa untuk mempertahankan imun. Banyak manfaat jamu, untuk bayi, anak-anak, sampai warga lansia,” ujar Hevearita.
Kini, jamu pun menjadi favorit berbagai kalangan, bukan lagi milik orang tua. Jadi, yuk, kapan kita njamu bareng?