Cegah Hukuman Mati, Bekali PMI Informasi tentang Hukum di Negara Tujuan
Informasi hukum dan adat istiadat perlu disampaikan komprehensif kepada pekerja migran Indonesia sebagai bekal.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Semua pemangku kepentingan terkait pemberangkatan pekerja migran Indonesia (PMI) harus memberikan informasi terkait aturan, hukum, dan adat istiadat negara penempatan. Penyampaian informasi ini demi mencegah risiko putusan hukuman mati bagi para pekerja.
Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) Direktorat Jenderal Protokoler dan Konsuler Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha mengingatkan agar semua pemangku kepentingan jangan lagi bergerak seperti petugas pemadam kebakaran, baru beraksi ketika ada masalah.
”Alangkah lebih pentingnya kita semua berkolaborasi, bergerak bersama, melakukan upaya pencegahan sedari awal agar risiko hukuman mati bisa dihindari sedari dini,” ujarnya dalam acara sosialisasi Keputusan Menteri Luar Negeri RI Nomor 42 Tahun 2024 tentang Pedoman Pendampingan WNI yang Menghadapi Ancaman Hukuman Mati di Luar Negeri, Kamis (20/6/2024), di Yogyakarta.
Hal itu disampaikannya kepada semua pemangku kepentingan terkait pemberangkatan PMI ke luar negeri, mulai dari jajaran pemerintah pusat hingga daerah, lembaga atau organisasi pendamping PMI, serta perusahaan penempatan PMI (P3MI). Upaya pencegahan, menurut Judha, dinilai lebih mendesak dilakukan karena kasus WNI yang terancam mendapatkan hukuman mati menunjukkan tren meningkat.
Pada tahun 2023, pemerintah mengupayakan pembatalan hukuman mati bagi 19 WNI di luar negeri. Namun, pada tahun yang sama, jumlah kasus baru hukuman mati bagi WNI mencapai 29 kasus.
Saat ini, jumlah WNI yang terancam hukuman mati di luar negeri terdata mencapai 165 orang. Dari jumlah tersebut, angka kasus terbanyak di Malaysia, dengan jumlah WNI 155 orang. Selain itu, di Uni Emirat Arab, Laos, dan Arab Saudi, masing-masing terdapat tiga WNI terancam hukuman mati. Satu orang lainnya adalah WNI yang bekerja di Vietnam.
Ahmad Masbukhin dari Pusat Strategi Kebijakan Kawasan Asia Pasifik dan Afrika Badan Badan Strategi Kebijakan Luar Negeri (BSKLN) Kementerian Luar Negeri, yang pernah bekerja di Konsulat Jenderal RI Jeddah selama tahun 2012-2015, mengatakan, negara yang memiliki hukum dan adat istiadat khusus adalah Arab Saudi. Salah satu aturan hukum yang tergolong berbeda di Arab Saudi adalah masalah perzinaan, di mana kasus ini harus dibuktikan empat saksi mata yang menyaksikan langsung di lokasi kejadian, atau diakui sendiri oleh dua orang yang terlibat.
Negara itu juga memiliki dua kategori perzinaan. Salah satunya menimbulkan ancaman hukuman mati bagi pelaku. Ketidakpahaman terkait masalah ini sangat rentan menimbulkan pelaku mudah diancam hukuman mati.
Sebagian besar WNI yang terancam hukuman mati di Malaysia tersangkut kasus narkoba. Sebagian lainnya terancam hukuman mati karena terlibat dalam kasus pembunuhan.
Semua pemangku kepentingan jangan lagi bergerak seperti petugas pemadam kebakaran, baru beraksi ketika ada masalah.
Ketua organisasi Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (Kabar Bumi) Karsiwen mengatakan, Kabar Bumi, sebagai lembaga pendamping PMI, merasakan informasi masih sangat minim diterima masyarakat dan jajaran pemerintah di tingkat desa.
”Di lapangan, kami menemukan bahwa banyak kepala desa tidak mengetahui Undang-Undang (Nomor 18/2017) tentang Perlindungan PMI, dan mereka juga tidak bisa menginformasikan kepada warganya bagaimana melakukan migrasi secara aman,” ujarnya.
Minimnya bekal informasi dan pengetahuan tentang hukum di negara penempatan itulah, menurut Karsiwen, menyebabkan PMI mudah tersangkut kasus dan terancam hukuman mati di luar negeri. Dia mencontohkan, di Vietnam kondisi tersebut terjadi pada salah satu WNI perempuan, yang terancam hukuman mati karena menjadi kurir pembawa 7 kg sabu.
”Dia ingin mendapatkan penghasilan tambahan dengan menjadi kurir, pembawa 7 kg sabu, dengan bayaran 500 dollar AS atau setara Rp 7 juta saja. Saya yakin, ketika sudah paham bahwa tindakan membawa narkoba berisiko mendapatkan hukuman pidana berupa hukuman mati, dia pasti tidak akan mampu menempuh risiko itu,” ujarnya.
Devi Triasari, tenaga ahli madya Kedeputian Perekonomian Kantor Staf Presiden (KSP), mengatakan, sebanyak 75 persen dari WNI yang bermasalah di luar negeri adalah PMI.
Badan Perlindungan PMI (BP2MI) mencatat jumlah PMI yang terdata dalam sistem komputerisasi perlindungan PMI (Sisko P2MI) tercatat 4,4 juta orang, sedangkan Bank Dunia mencatat jumlah PMI mencapai 9,9 juta. Hal ini menunjukkan bahwa sekitar 4,6 juta PMI terdata berangkat tidak sesuai proseur resmi sehingga mereka pun secara otomatis juga semakin rentan terancam berbagai masalah dan memiliki perlindungan hukum yang lemah.
Mayoritas PMI berpendidikan rendah, setingkat SMP atau bahkan lebih rendah lagi. Ditambah dengan kendala bahasa, kehadiran penerjemah yang buruk, dan pendamping yang kurang menguasai masalah hukum, akhirnya membuat posisi mereka semakin lemah, dan sangat rentan tersandung masalah hukum pidana.
Terkait dengan masalah perlindungan PMI dan pencegahan risiko ancaman hukuman mati, Devi mengatakan, pihaknya sudah melakukan studi banding ke Filipina, dan di sana mereka menemukan bahwa pemerintah sudah menyampaikan informasi lengkap terkait hukum dan adat istiadat negara-negara asing kepada semua warga masyarakat, baik mereka yang menjadi calon PMI maupun tidak. Hal inilah yang dalam waktu dekat juga akan dilakukan di Indonesia.