O’Hongana Manyawa Terimpit Nikel, Zona Bebas Tambang Mendesak
Suku O’Hongana Manyawa di Halmahera kian terimpit akibat penambangan nikel. Zona bebas tambang di wilayah adat penting.
Oleh
RAYNARD KRISTIAN BONANIO PARDEDE
·4 menit baca
AMBON, KOMPAS — Ruang hidup suku pedalaman di hutan Halmahera Maluku Utara, O’Hongana Manyawa, kian terimpit akibat deforestasi. Penggundulan hutan terjadi karena masifnya pembukaan pertambangan nikel. Peraturan zona bebas tambang pun mendesak dirumuskan.
Kemandirian pangan suku ini pun mulai terkikis. Kini, mereka mulai sering berkontak langsung dengan orang-orang di lahan konsesi tambang.
Permasalahan tersebut ramai diperbincangkan di media sosial di dalam dan luar negeri. Dalam unggahan video dari lembaga kemanusiaan asal Inggris, Survival International, pada Jumat (7/6/2024), terlihat tiga orang dari suku O’Hongana Manyawa datang ke satu lokasi proyek pertambangan di Halmahera Tengah, Maluku Utara.
Mereka menggunakan sehelai kain untuk menutup bagian tubuhnya. Selanjutnya, para pekerja tambang mengajak mereka ke tenda, lalu memberi mereka makan.
Video lain dari Survival International menunjukkan, dua orang dari suku O’Hongana Manyawa menghalangi buldozer yang disebutkan akan masuk ke wilayah mereka. Kejadian ini terjadi pada Mei 2024.
Anggota adat O'Hoberera Manyawa yang mewakili O'Hongana Manyawa, Faris Bobero, menjelaskan, kehadiran pertambangan membuat area jelajah suku tersebut kian menyempit. Pemerintah dinilai belum serius menangani permasalahan ini karena minimnya pengakuan terhadap masyarakat adat. Hal ini menunjukkan ketidakseriusan pemerintah untuk menjaga tanah leluhur para O'Hongana Manyawa.
Mengenai kehadiran suku O’Hongana Manyawa di wilayah perusahaan, Faris menambahkan, suku ini sudah cukup terbuka dengan kehadiran orang lain di wilayah jelajah mereka. Hal ini mulai terjadi sejak tahun 2009.
Ia sekaligus mengkritisi narasi ”meminta makan” yang ada di video kedatangan O’Hongana Manyawa ke wilayah pertambangan yang beredar di media sosial. Penggunaan narasi tersebut perlu hati-hati karena rentan digunakan sebagai alasan untuk memindahkan (resettlement) orang-orang O'Hongana Manyawa keluar dari rumahnya, yaitu hutan.
”Sistem kepercayaan, pengetahuan lokal masyarakat adat, tidak pernah diakui oleh pemerintah dengan serius. Apakah pemerintah ingin mereka keluar dari tanah leluhurnya,” ucap Faris yang dihubungi dari Ambon, Maluku, Rabu (19/6/2024).
Ketidakberpihakan negara terhadap masyarakat adat di Halmahera juga terlihat dari beberapa kasus kriminalisasi terhadap O’Hongana Manyawa. Tahun 2014, dua orang dipenjara. Tahun 2019, delapan orang juga dituduh membunuh warga.
Banyaknya kasus kriminalisasi tersebut membuat pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat mendesak disahkan. Pada Jumat (17/5/2024), Faris bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara bersidang terkait hal tersebut di Pengadilan Tata Usaha Negara, Jakarta Pusat. Mereka menggugat presiden dan parleman yang tidak kunjungan mengesahkan aturan tersebut. Namun, gugatan ditolak.
Berdasarkan data Survival International, masih ada 3.000 orang suku O’Hongana Manyawa yang ada di Halmahera. Sebanyak 300-500 orang dari mereka belum pernah berhubungan langsung dengan orang di luar hutan.
Bebas tambang
Pembukaan lahan pertambangan memang memicu gundulnya hutan Maluku Utara. Berdasarkan data Global Forest Watch, dalam kurun 2001-2023, Maluku Utara kehilangan tutupan pohon hutan sebesar 258.900 hektar. Hilangnya hutan akibat alih fungsi lahan dari pertanian menjadi pertambangan.
Wilayah Halmahera Selatan, Halmahera Timur, dan Kepulauan Sula menjadi daerah yang menyumbang tingkat deforestasi sebesar 66 persen.
Peneliti kehutanan dan etnobotani Universitas Halmahera, Radios Simanjuntak, menjelaskan, ruang hidup O’Hongana Manyawa sudah mulai tertekan sejak 1980-an. Kala itu, kehidupan mereka tertekan akibat aktivitas penebangan hutan (logging). Pemerintah pun perlu memberlakukan zona bebas tambang di wilayah suku masyarakat adat. Hal ini untuk menjamin keberlangsungan hidup mereka.
Dari penelitian Radios tahun 2016, suku O’Hongana Manyawa memanfaatkan 153 spesies tanaman dari 54 famili tumbuhan yang ada di hutan Halmahera. Tanaman ini digunakan untuk berbagai kepentingan, mulai dari pangan, pengobatan, hingga untuk bahan dasar rumah. Hal ini menunjukkan adanya kemandirian pangan dan pengetahuan lokal yang luas oleh suku tersebut.
Tidak hanya ruang pangan, mereka juga memiliki ruang sakral yang menjadi bagian penting dalam kebudayaan O’Hongana Manyawa.
”Semakin sempitnya wilayah mereka tidak hanya berdampak pada kehidupan, tetapi juga ancaman hilangnya pengetahuan lokal masyarakat adat soal pangan dan pengobatan. Pengetahuan yang diturunkan generasi ke generasi ini bisa terancam punah apabila tidak ada perlindungan, mulai dari membuat zona bebas tambang,” ucapnya.
Salah satu perusahaan yang beraktivitas di wilayah hutan Halmahera adalah PT Weda Bay Nickel. Perusahaan ini merupakan konsorsium yang melibatkan perusahaan asal China, Tsingsan; perusahaan Perancis, Eramet; dan Pemerintah Indonesia. Laporan Eramet Integrated Report 2023 yang dirilis April lalu menyebutkan, tahun ini, perusahaan akan melakan penelitian lanjutan mengenai O’Hongana Manyawa.
Dalam laporan tertulis, dari temuan penelitian sebelumnya, perusahaan memutuskan untuk meminimalkan kontak langsung dengan O'Hongana Manyawa. Penelitian lanjutan kini dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan perusahaan soal aktivitas suku tersebut, khususnya agar tidak terganggu akibat praktik pertambangan.