Tragedi pengeroyokan yang terjadi di Sukolilo, Pati, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu membawa pelajaran berharga.
Oleh
MOHAMAD FINAL DAENG
·4 menit baca
Bayangan menyeramkan dan rasa waswas menyusul gambaran tentang Sukolilo, Pati, di media sosial pascaperistiwa kelam beberapa waktu lalu sirna saat Kompas menyambangi daerah tersebut pada 12-13 Juni lalu. Kesan masyarakat yang ramah dan baik justru lebih kental terasa selama berinteraksi dengan warga di sana.
Sukolilo merupakan kecamatan terluas dari 21 kecamatan di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Wilayahnya mencakup hampir 11 persen dari seluruh luasan kabupaten tersebut, setara dengan luas Jakarta Selatan. Adapun jumlah penduduknya berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 sebanyak 91.600 jiwa.
Sebagian besar warga di Desa Sumbersoko, lokasi peristiwa pengeroyokan, bekerja sebagai petani jagung dengan sampingan beternak kambing dan sapi. Wilayah itu terletak di perbukitan karst yang masih bagian Pegunungan Kendeng. Adapun di dataran rendahnya, Sukolilo merupakan kawasan persawahan terbesar di Pati.
Tokoh masyarakat Desa Sukolilo, ibu kota Kecamatan Sukolilo, Darmo Kusumo (64), menceritakan, sejarah Sukolilo terentang jauh sejak sebelum masa Kerajaan Mataram Islam pada abad ke-16. Wilayah ini merupakan yang paling awal dihuni penduduk di seluruh Pati karena lahannya subur.
Daerah ini juga merupakan bagian dari yang disebut Pati Kidul (selatan) saat Selat Muria masih memisahkan kawasan itu dengan daerah di utaranya, yakni dataran di lereng Gunung Muria. ”Nama Pati Kidul merujuk pada wilayah di selatan Selat Muria kala itu,” ucapnya.
Darmo menjelaskan, kata Sukolilo bermakna suka dan rela berkorban untuk kebaikan. Masyarakat pun masih memegang teguh nilai-nilai luhur yang melekat pada nama tersebut. Hal itu terwujud dalam kuatnya rasa kebersamaan, gotong royong, dan saling tolong menolong antarwarga dalam kehidupan sehari-hari.
Karsidi (60), warga Sumbersoko, menceritakan, jika ada warga yang menggelar hajatan di desa itu, bisa dipastikan seluruh anggota keluarga tetangga akan turut membantu sehingga rumah-rumah di sekitarnya kosong. Begitu pula jika ada warga yang membangun rumah, para tetangga akan mengalihkan aktivitasnya hari itu untuk menolong.
Stigma
Karena itulah, peristiwa kekerasan yang terjadi di Sumbersoko tersebut banyak disesalkan warga. Hal ini jauh dari nilai-nilai kebajikan yang dipegang masyarakat setempat.
Jika ada warga yang menggelar hajatan di desa itu, bisa dipastikan seluruh anggota keluarga tetangga akan turut membantu sehingga rumah-rumah di sekitarnya kosong.
Peristiwa itu bermula ketika BH (52), pengusaha rental kendaraan asal Jakarta, menyewakan mobilnya kepada seseorang, tapi tak kunjung dikembalikan. Dari alat sistem pemosisi global (GPS), mobil itu diketahui berada di Sumbersoko.
Namun, saat BH bersama tiga rekannya hendak mengambil mobil itu menggunakan kunci cadangan, mereka diteriaki maling kemudian dikeroyok warga. BH meninggal akibat penganiayaan itu dan ketiga rekannya mengalami luka berat.
Video penganiayaan yang memilukan itu pun tersebar luas di jagat maya dan menuai kecaman dari publik. Peristiwa itu kemudian memunculkan stigma untuk mewakili gambaran Sukolilo, bahkan Pati, secara keseluruhan. Stigma pun meluas menjadi daerah penadah dan pencuri kendaraan bermotor.
Para pelaku kekerasan itu tentu harus diusut tuntas dan diproses hukum. Namun, pandangan yang memukul rata penilaian terhadap suatu daerah atau masyarakat dari satu peristiwa atau perbuatan sebagian orang saja juga tidaklah tepat.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), AB Widyanta, saat dihubungi, Senin (17/6/2024), mengatakan, stigmatisasi itu sendiri adalah bentuk violence atau kekerasan juga terhadap pihak yang terstigma. Dia menilai peristiwa yang terjadi di Sukolilo itu dapat pula terjadi di daerah lain.
”Apa yang dilakukan pemilik mobil maupun warga yang melakukan main hakim sendiri itu sesungguhnya adalah bagian dari distrust (ketidakpercayaan) terhadap sistem hukum kita,” ujarnya.
Ini bagian dari kemandekan, kemajalan, atau ketumpulan sistem hukum kita yang tak mampu memberikan jaminan keamanan itu.
Dalam hal ini, pemilik mobil merasa lebih baik mengambil sendiri mobilnya yang diduga digelapkan itu ketimbang menyerahkan kasusnya kepada aparat penegak hukum. Di sisi lain, warga yang terusik rasa keamanannya saat mengira ada tindak pencurian harus menangani sendiri ancaman tersebut karena merasa tak bisa mengandalkan aparatus hukum.
”Bom waktu”
Saat kondisi itu terjadi, psikologi massa mudah meledak dalam amukan yang sulit dikontrol, seperti yang berlaku di Sumbersoko. ”Ini bagian dari kemandekan, kemajalan, atau ketumpulan sistem hukum kita yang tak mampu memberikan jaminan keamanan itu,” kata Widyanta.
Ledakan-ledakan seperti itu, tambah Widyanta, juga berpotensi terjadi di daerah-daerah lain, seperti ”bom waktu”. Karena itu, dia menyebut peran aparat pelayan masyarakat menjadi kunci untuk mencegahnya dengan melayani warga secara profesional, akuntabel, dan transparan. ”Ini jadi pembelajaran mahal yang tak boleh lagi terulang di masa datang,” ujarnya.
Pascakejadian itu, kepolisian bergerak mengusutnya. Hingga Sabtu (15/6/2024), sebanyak 10 orang telah ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka pengeroyokan dengan berbagai peran. Polisi pun masih terus memburu sejumlah orang lain yang diduga terlibat kasus tersebut.
Terkait peredaran kendaraan bodong atau tanpa surat-surat resmi, polisi juga menyita puluhan kendaraan bodong dari sejumlah wilayah di Pati, salah satunya di Sukolilo. Polisi pun meringkus tiga orang terduga pelaku jual-beli kendaraan yang diduga merupakan hasil kejahatan tersebut (Kompas.id, 14/6/2024).
Para terduga pelaku menjual kendaraan itu, terutama sepeda motor, di semacam ”showroom” kecil. Dari pengamatan Kompas pada 12-13 Juni 2024, memang mudah menemukan sepeda motor tanpa pelat nomor wara-wiri di kecamatan tersebut, termasuk motor-motor model terbaru.
Darmo Kusumo mengatakan, perdagangan kendaraan bodong di Sukolilo bisa muncul dan berkembang akibat pembiaran. Ulah segelintir orang itu pun membuat nama Sukolilo tercoreng, seperti peribahasa ”karena nila setitik, rusak susu sebelanga”.
Dia pun berharap aparat penegak hukum menjadikan kasus ini momentum untuk menghentikan aktivitas tersebut. Ini dipandangnya sebagai kunci mencegah kasus seperti di Sumbersoko terulang sekaligus memulihkan citra Sukolilo dan Pati secara keseluruhan.