#AllEyesOnPapua dan Harapan Masyarakat Adat Lainnya Mendapat Pengakuan yang Sama
Masyarakat adat di beberapa daerah berjuang menghadapi perkebunan sawit dan pembalakan.
Saat #AllEyesOnPapua terus menjadi perbincangan hangat di media sosial, sejumlah masyarakat adat di Tanah Papua menerima surat keputusan pengakuan wilayah adat. Itu bukti solidaritas belum mati di negeri ini.
Akan tetapi, solidaritas saja tidak cukup. Banyak masyarakat adat di daerah lain masih berjuang. Mereka merindu secuil lahan untuk menjaga masa depan anak cucu mereka.
Hingga Jumat (7/6/2024), #AllEyesOnPapua terus bergema. Gambar yang diolah kecerdasan buatan, yang menampilkan masyarakat adat berdiri di samping pohon gundul itu, dibagikan para pengguna media sosial.
Unggahan itu merupakan bentuk solidaritas dari masyarakat kepada suku Awyu di Boven Digoel, Papua Selatan, dan suku Moi di Sorong, Papua Barat Daya, yang ingin menyelamatkan hutannya. Masyarakat adat tersebut bakal terdampak pembukaan lahan di Papua yang akan dijadikan perkebunan sawit.
Wakil Presiden Ma'ruf Amin ikut menanggapi isu ini. Wapres mengatakan, masalah tersebut sudah diproses di Mahkamah Agung. Maka, semua pihak harus menunggu dan menghormati proses hukum yang sudah berjalan.
Meski demikian, untuk ke depan, ia mengingatkan agar setiap pembukaan lahan mesti dikomunikasikan dengan seluruh pihak. Pemerintah daerah harus melibatkan para tokoh adat agar tidak terjadi kesalahpahaman ataupun konflik seperti yang terjadi kali ini.
Baca juga: Viral “All Eyes on Papua”, Wapres Buka Suara
Saat proses hukum untuk suku Awyu dan suku Moi masih dilakukan, masyarakat adat di Distrik Konda, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat Daya, akhirnya mendapatkan pengakuan atas wilayah adat mereka seluas lebih dari 40.282 hektar.
Pengakuan ini diperoleh setelah selama tiga tahun mereka menginginkan hak atas pengelolaan hutan secara mandiri dan lestari. Masyarakat adat didampingi Konservasi Indonesia saat mendapatkan pengakuan itu.
Pengakuan terhadap empat subsuku di Distrik Konda itu diberikan Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan melalui Surat Keputusan (SK) Bupati tentang Pengakuan, Perlindungan, dan Penghormatan Masyarakat Hukum Adat dan Wilayah Adat. SK Bupati tersebut diserahkan Sekretaris Daerah Dance Nauw kepada perwakilan masyarakat adat dalam acara di Sorong Selatan, Kamis (6/6/2024).
Masyarakat adat di Distrik Konda yang mendapat pengakuan tersebut terdiri dari sub-suku Gemna dengan wilayah adat tiga keret (Orot, Tanogo, dan Segeit) seluas 4.960 hektar, sub-suku Nakna dengan wilayah adat seluas 4.674 hektar, sub-suku Yaben seluas 27.399 hektar, dan sub-suku Afsya seluas 3.307 hektar.
”Pengakuan ini adalah bentuk penghormatan atas segala usaha dan kearifan lokal yang telah dijaga dan dilestarikan secara turun-temurun,” ujar Dance.
Baca juga: Pengakuan dari Negara untuk Masyarakat Adat dan Wilayahnya di Papua
Di hari yang sama, Dance menyerahkan kabar baik bagi masyarakat adat Knasaimos. Warkat yang telah dinantikan ini mengakui wilayah adat Knasaimos seluas 97.441 hektar yang membentang di dua distrik, yakni Distrik Saifi dan Seremuk. Sebagai perbandingan, wilayah adat ini lebih besar dari Provinsi DKI Jakarta yang luasnya 66.150 hektar.
Fredrik Sagisolo, Ketua Dewan Persekutuan Masyarakat Adat Knasaimos, mengatakan, pengakuan wilayah adat penting untuk memberikan kepastian hukum bagi kami masyarakat adat. Dia berharap, kepastian hukum itu bisa memperkuat benteng pertahanan menjaga hutan dan wilayah adat dari ancaman investasi yang merugikan masyarakat adat dan Tanah Papua.
Tanah ini sejak dahulu milik kami, hak kesulungan kami, diwariskan oleh para leluhur, dan akan menjadi masa depan anak-cucu kami.
Dalam dua dekade terakhir, masyarakat adat Knasaimos berjuang menolak pembalak kayu merbau dan perusahaan sawit. Sebagai gantinya, mereka melakukan pemetaan wilayah adat, mengolah sagu, dan memanfaatkan hasil hutan lainnya.
”Tanah ini sejak dahulu milik kami, hak kesulungan kami, diwariskan oleh para leluhur, dan akan menjadi masa depan anak-cucu kami,” kata Fredrik.
Pengakuan itu patut diapresiasi. Namun, masih banyak masyarakat adat di sejumlah daerah lain butuh perlakuan yang sama.
Salah satunya dialami Masyarakat Punan Batu, pemburu dan peramu satu-satunya di Kalimantan. Hutan tempat mereka tinggal mulai rusak akibat penebangan dan perambahan untuk perkebunan sawit. Peraih Kalpataru 2024 ini meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menetapkan hutan di Benau Sajau, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, sebagai hutan adat.
”Tolong bantu kami mempertahankan hutan. Jangan lagi ada perusahaan yang menebang kayu dan orang-orang membuka kebun sawit. Bukan kami tidak bisa jaga. Tetapi, perusahaan dan orang-orang itu selalu mengatakan hutan ini milik negara dan kami tidak punya hak melarang penebangan hutan,” kata Samsul.
Makrup mengatakan, hutan merupakan tempat hidup mereka sejak dulu. Namun, kerusakan hutan akibat penebangan dan perambahan untuk perkebunan membuat kehidupan semakin susah.
”Cari ubi susah. Binatang buruan juga susah. Sungai keruh, airnya tidak bisa diminum. Bantu kami lindungi tempat hidup kami dan anak-anak kami. Apalagi, kami sudah sampai Jakarta. Kalau tidak penting, kami tidak akan sampai di sini, hanya karena ingin menyelamatkan hutan kami,” tutur Makrup.
Hutan yang dihuni suku Punan Batu hingga saat ini masih berstatus sebagai konsesi hak pengusahaan hutan (HPH) Inhutani. Dalam surat permohonan Punan Batu tertanggal 23 Mei 2024 dan diterima Biro Umum Setjen KLHK pada Selasa (4/6/2024), mereka menjelaskan bahwa kehidupan mereka sangat bergantung pada keberadaan hutan. Di dalam hutan itulah mereka mencari makan, binatang buruan, dan kebutuhan hidup lain.
Bupati Bulungan Syarwani mengatakan, setelah penetapan MHA Punan Batu dan penghargaan Kalpataru, upaya berikutnya untuk melindungi Punan Batu adalah penetapan hutan adat, selain usulan untuk menjadikan kawasan Benau Sajau.
”Kami berharap wilayah yang ditempati Punan Batu yang masih jadi konsesi HPH ini bisa dilihat kembali. Kalau hutan yang jadi ruang hidup mengecil, budaya Punan Batu ini juga akan hilang,” katanya.
Baca juga: Punan Batu, Sempat Tidak Diakui Keberadaannya, Kini Mendapat Kalpataru
Masih di Pulau Kalimantan, untuk keempat kalinya, masyarakat adat Laman Kinipan di Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, mengajukan usulan hutan adat pada akhir Maret 2024. Mereka berharap kali ini mendapat titik terang.
Komunitas ini menjadi perbincangan pada 2020 saat Ketua Masyarakat Adat Laman Kinipan Effendi Buhing ditangkap dan diseret dari rumahnya oleh aparat Polda Kalteng. Tidak hanya Buhing, empat warga lebih dulu masuk penjara. Mereka dituduh merusak fasilitas perusahaan perkebunan sawit dan melakukan pencurian (Kompas, 26 Agustus 2020).
Kepala Desa Kinipan Willem Hengki, Selasa (30/4/2024), mengungkapkan, pihaknya sudah empat kali menyerahkan usulan hutan adat dan pengakuan MHA ke pemerintah kabupaten untuk ditindaklanjuti. Dengan harapan, kali ini ada titik terang untuk usulan tersebut.
”Selama ini, menurut pemerintah kabupaten, usulan itu tidak lengkap lantaran ada masalah dengan tapal batas,” kata Willem.
Penjabat Bupati Lamandau Lilis Suryani mengatakan, dirinya bersama pemerintah daerah berkomitmen menyelesaikan persoalan di Kinipan, terutama soal batas wilayah. Ia mengungkapkan sudah beberapa kali berjumpa dengan masyarakat adat Kinipan untuk membahas tentang persoalan mereka.
”Kami memang berencana memanggil semua pihak yang berkepentingan agar bisa mencari solusi,” kata Lilis.
Baca juga: Setelah Empat Kali Diusulkan, Hutan Adat Kinipan Mulai Temukan Titik Terang