Antisipasi Banjir, Segera Normalisasi Jalur Air di Kaki Gunung Lewotobi Laki-laki
Banjir lahar hujan pernah menerjang permukiman penduduk dan tanaman warga. Pemerintah diharapkan responsif.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
LARANTUKA, KOMPAS — Erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, yang terjadi terus-menerus berpotensi menimbulkan banjir lahar hujan. Berkaca pada peristiwa sebelumnya, pemerintah diminta segera menormalisasi jalur air agar tidak terjadi lagi luapan yang menerjang permukiman penduduk seperti beberapa waktu lalu.
Kepala Pos Pemantauan Gunung Lewotobi Laki-laki Herman Yosef, pada Kamis (6/5/2024) dini hari, melaporkan, sepanjang 24 jam terakhir terjadi enam kali letusan dengan tinggi kolom abu 600-1.000 meter di atas puncak gunung. Abu berwarna putih hingga kelabu condong ke arah utara. Erupsi berlangsung 9 menit 30 detik.
Selain abu vulkanik, aliran lava juga terus bergerak semakin jauh ke arah timur laut. Jarak luncurkan lava kini mencapai 4.340 meter dari puncak gunung berketinggian 1.584 meter di atas permukaan laut itu. Di ujung luncuran lava itu terdapat permukiman penduduk di Desa Nurabele, Kecamatan Ile Bura.
Erupsi yang berlangsung selama hampir satu pekan terakhir ini memuntahkan banyak material yang sebagian menutupi jalur air di sejumlah kali dengan hulu di kaki gunung. Herman mengingatkan masyarakat untuk waspada dengan adanya potensi banjir lahar hujan.
Daerah berpotensi terdampak itu tersebar pada tujuh desa di dua kecamatan, yakni Wulanggitang dan Ile Bura. Hampir setiap hari wilayah itu diguyur abu vulkanik dan di setiap desa terdapat banyak jalur air. Banyak rumah penduduk berdiri di pinggir kaki dengan hulunya ke gunung.
Peringatan Herman itu sudah menjadi kecemasan masyarakat setempat. Alfons (40), warga Desa Dulipali, Kecamatan Ile Bura, menuturkan, banyak rumah di desa itu diterjang banjir lahar ketika hujan lebat pada Februari 2024 lalu. Saat itu, jalur air tertutup material vulkanik akibat erupsi yang terjadi sejak Desember 2023 lalu.
Kami sudah minta pemerintah mendatangkan ekskavator untuk keruk, tapi sampai hujan datang tidak dilakukan.
Erupsi besar terjadi mulai Desember hingga akhir Februari. Status keaktivan gunung sempat naik hingga level tertinggi, yakni Level IV atau Awas. Ribuan warga di kaki gunung itu mengungsi selama hampir satu bulan. Erupsi lalu mereda hingga status keaktifan gunung diturunkan hingga Level II atau Siaga seperti sekarang.
Kala itu, warga sudah menyampaikan usulan ke pemerintah untuk menormalisasi jalur air. ”Kami sudah minta pemerintah mendatangkan ekskavator untuk keruk, tapi sampai hujan datang tidak dilakukan. Kami harap jangan sampai kondisi ini terulang lagi seperti dulu. Pemerintah harus responsif,” kata Alfons.
Kekhawatiran serupa juga disampaikan Valens (34), warga Desa Klatanlo, Kecamatan Wulanggitang. Akibat banjir lahar hujan kala itu, banyak tanaman warga rusak. Tanaman umur panjang yang rusak itu menjadi komoditas produktif yang masih tersisa setelah banyak tanaman pangan mati akibat diguyur abu vulkanik.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Flores Timur Ahmad Duli belum merespons pertanyaan Kompas terkait harapan warga untuk normalisasi jalur air di kaki Gunung Lewotobi Laki-laki. Begitu pula pejabat di bawahnya seperti camat.
Kepala Desa Klatanlo Petrus Muda mengatakan, Ahmad sudah meninjau lokasi potensial banjir lahar hujan itu beberapa hari lalu. Pada kesempatan itu, Ahmad berjanji segera mendatangkan ekskavator untuk melakukan pengerukan di Desa Klatanlo dan Dulupali.
”Artinya, sudah ada sinyal positif untuk normalisasi jalur air. Mengenai kapan, ini yang belum pasti. Kami minta lebih cepat lebih baik karena khawatir terjadi hujan dalam waktu dekat,” kata Petrus.
Dalam catatan Kompas, erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki pertama kali tercatat dalam sejarah manusia terjadi pada tahun 1861. Gunung itu memiliki kembaran bernama Gunung Lewotobi Perempuan yang ketinggiannya 1.708 meter di atas permukaan laut.
Puncak kedua gunung itu terpisah jarak lebih kurang 2 kilometer. Pelana yang memisahkan kedua puncak itu berketinggian 1.232 meter di atas permukaan laut. Adapun erupsi Gunung Lewotobi Perempuan pertama kali tercatat pada tahun 1921.