Ramuan Madura, Warisan Budaya yang Berkhasiat Menjaga Kebugaran (Tulisan 2)
Ramuan Madura, dilema antara warisan budaya dan aturan. Terkendala aturan, ramuan Madura akhirnya tak bisa berkembang.
Kenapa jalanan di Madura sempit-sempit? Karena terkena ramuan Madura. Ha-ha-ha
Demikian kelakar satir bagi sebagian orang yang mengeluhkan jalanan di Madura tak kunjung lebar meski sudah bertahun-tahun. Namun, dari kelakar itu harus diakui bahwa artinya, ramuan Madura memang diakui kasiatnya nyata.
Ramuan Madura memang seperti jamu pada umumnya, yaitu terbuat dari rempah-rempah. Namun, ramuan ini lebih lekat kasiatnya dengan urusan keharmonisan pasangan suami-istri.
Jenis ramuan pun beragam, antara lain, jamu awet muda, jamu rapet wangi, sehat lelaki dan wanita, jamu kemanten, jamu usai melahirkan, jamu empot-empot, jamu segar montok, jamu montok payudara, dan tongkat wasiat Madura. Jamu untuk kesehatan tubuh, seperti diabetes, kolesterol, dan kencing manis pun ada. Termasuk, jamu untuk menyuburkan kandungan bagi perempuan yang sulit memperoleh keturunan.
Produsen ramuan Madura tersebar di empat kabupaten di Pulau Madura, yaitu Bangkalan, Pamekasan, Sampang, dan Sumenep.
Baca juga: Herbal Lokal Andalan Perajin Jamu Madura
Semua ramuan Madura tersebut ada yang disajikan dengan diseduh langsung ataupun diminum di tempat. Ada juga berupa pil dan kapsul untuk diminum secara rutin. Namun, oleh karena disebut jamu, maka tidak boleh ada kandungan bahan kimia obat sama sekali di dalam ramuan.
”Jamu bagi orang Madura sudah jadi bagian hidup. Saya sejak kecil terbiasa minum jamu. Bahkan, setelah melahirkan pun, tetap minum jamu selama 40 hari agar kondisi tubuh kembali fit,” kata Sari Purwati, warga Pamekasan yang menjadi konsumen setia ramuan Madura.
Minum jamu untuk menjaga tubuh, menurut Sari, bukan hanya akan dinikmati oleh diri sendiri. Namun, juga oleh suami. ”Minum jamu mungkin memang dilakukan oleh perempuan. Namun, yang menikmati, akhirnya juga suami. Saya biasanya minum rapat wangi dan galian singset. Biar singset (langsing), rapat, dan wangi. Ha-ha..,” katanya.
Baca juga:Status Jamu sebagai Warisan Budaya Dunia Harus Berdampak
Mustofa Hasan, pengusaha ramuan Madura asal Pamekasan, mengaku menekuni usaha jamu sebagai warisan dari orangtuanya. Ia menggunakan tanaman herbal yang tumbuh di Madura (diambil dari petani lokal) ataupun membeli dari luar kota. Dari bahan dasar rempah, lalu kemudian dicuci beberapa kali (bisa 4 kali pencucian), digiling, lalu dijadikan bubuk.
Bahan jamu digunakan menurut Mustofa misalnya cabe jamu, ketumbar, kunyit, kencur, kayu secang, keningar, kapulaga, daun sambiloto, dan lainnya.
”Kami ini sudah memiliki pelanggan sejak lama. Namun kami kesulitan mengakomodasi aturan baru. Jadi, kami masih tetap memakai izin-izin lama kami, untuk memberikan jaminan pada pelanggan kami. Bahwa kami sebelumnya sudah memiliki izin BPOM dan izin lain yang sudah disyaratkan. Hanya memang, kami kesulitan mengurus izin sesuai aturan baru,” kata Mustofa.
Menurun
Meski ramuan ini sudah jadi warisan turun-temurun di masyarakat Madura, terutama diturunkan pada anak perempuan, tetapi eksistensi ramuan Madura belakangan ini semakin terimpit aturan.
Baca juga: Pahit dan Segar Jamu Menjadi Warisan Budaya Dunia
”Jumlah perajin jamu dan kapasitas produksi jamu di Pamekasan pada akhirnya memang terus menurun. Yang kelihatan di car free day, pengusaha ramuan Madura memang masih ada, tapi sudah tidak seperti dulu lagi. Tidak banyak. Memang ada aturan yang belum bisa dipenuhi oleh pengusaha ramuan Madura sehingga mereka yang menjual jamu ini hampir semuanya belum mengantongi izin resmi,” kata Fauzan Humaidi, Administrator Kesehatan Muda di bagian Kefarmasian Dinas Kesehatan Pamekasan.
Aturan dimaksud adalah Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 6 tahun 2012 tentang industri dan usaha obat tradisional. Dalam aturan itu, pengusaha jamu harus mengantongi izin berupa usaha kecil obat tradisional (UKOT) dan usaha mikro obat tradisional (UMOT). Dan untuk mengantongi perizinan itu, maka setiap pengusaha jamu/ramuan harus memiliki seorang apoteker sebagai penanggung jawab. Selain itu, juga ada persyaratan teknis lain seperti ruang usaha harus terpisah dari rumah.
Syarat itulah yang saat ini dinilai menjadi beban pengusaha ramuan Madura. Hal memberatkan dari aturan di atas adalah bahwa satu pengusaha harus memiliki satu penanggung jawab. Sayangnya, tidak dimungkinkan satu apoteker/penanggung jawab untuk seluruh pengusaha.
Baca juga: Empon-empon yang Mendadak Terkenal
”Kami ini pengusaha rumahan kecil, dengan modal tidak besar. Tentu hampir semuanya kesulitan dalam hal persyaratan itu. Tidak bisa membayar penanggung jawab yang harus digaji bulanan dengan nilai tertentu. Sebab, pendapatan dari jualan jamu juga tidak selalu bagus,” kata Ketua Paguyuban Kelompok Industri Jamu Tradisional Potre Madhura Imam Suhairi. Anggota paguyuban tersebut 22 pengusaha. Paguyuban dibentuk tahun 2010.
Dampak tidak bisa memenuhi aturan di atas, menurut Suhairi, pengusaha jamu/ramuan Madura tidak bisa mengemas dan memberi label jamu untuk bisa menjual jamu secara lebih luas. “Akhirnya jamu lebih banyak diseduh dan minum langsung di tempat. Kami tidak bisa mengirim dan menjual ke luar Pamekasan. Yang mungkin adalah pembeli membeli langsung dari kami dan membawa ke luar sendiri. Intinya, usaha ramuan Madura ya akan seperti ini kondisinya. Tidak bisa lebih berkembang,” kata Suhairi.
Jumlah perajin jamu dan kapasitas produksi jamu di Pamekasan pada akhirnya memang terus menurun.
Meski begitu, menurut Suhairi, pengusaha jamu Madura tetap berusaha memenuhi aturan teknis dimaksud pada peraturan di atas. Misalnya memisahkan antara tempat produksi usaha jamu dengan rumah tangga. ”Kami sudah berupaya mengikuti aturan dan saran, dengan memisahkan ruang kerja dengan keluarga. Artinya kami berniat mengikuti aturan, namun memang tidak seluruhnya. Bagaimana lagi, semua karena kendala biaya,” kata Suhairi.
Suhairi berharap, ke depan pengusaha jamu/ramuan Madura bisa selalu eksis, demi misi mereka untuk turut menyehatkan anak bangsa dengan jamu tradisional. ”Musuh kami adalah narkoba. Kenapa narkoba bisa cepat sekali diterima, sementara jamu yang menyehatkan tidak? Itulah misi kami, membangun generasi muda sehat dengan jamu,” katanya.
Baca juga:Racikan Jamu Kekinian dari Desa Bokoharjo
Kepala Dinas Kesehatan Pamekasan Saifudin mengatakan bahwa pada dasarnya dinas mendukung berkembangnya usaha jamu tradisional Madura. Bentuk dukungan mulai dari pembinaan rutin soal kemasan, higienitas, diingatkan tidak boleh menggunakan bahan kimia obat, dan lainnya.
Hanya, masalah utamanya adalah pengusaha rumahan itu tidak memiliki modal cukup untuk ‘membayar’ apoteker sebagai penanggung jawab. Untuk memberikan dukungan berupa ‘membayar’ honor apoteker bagi usaha jamu, jelas tidak diperbolehkan. Sebab, APBD tidak boleh digunakan untuk membiayai usaha yang hasilnya akan dinikmati oleh individu.
Dengan kondisi tadi, maka ramuan tradisional Madura akhirnya stagnan. Hidup segan mati tak mau. Terus bertahan karena warisan, tetapi tak juga bisa berkembang karena terganjal aturan.
Tujuan pemerintah membuat aturan memang bagus, menjaga keamanan masyarakat. Namun, sepertinya butuh solusi bersama agar warisan budaya ini tidak sirna.