Hutan Adat Mukim Krueng di Bireuen Jadi Sasaran Pembalakan Liar
Pembalakan liar hutan adat milik masyarakat Mukim Krueng, Kabupaten Bireuen, Aceh, diduga melibatkan pemodal besar.
Oleh
ZULKARNAINI
·4 menit baca
BIREUEN, KOMPAS — Hutan adat milik masyarakat Mukim Krueng, Kecamatan Peudada, Kabupaten Bireuen, Aceh, menjadi sasaran pembalakan liar. Aktivitas pembalakan liar tersebut harus dihentikan karena hutan adat itu memiliki fungsi penting bagi masyarakat setempat.
Kepala Mukim Krueng Hasbi Abdullah menuturkan, pembalakan liar itu terdeteksi oleh tim patroli pengawasan hutan adat. Titik lokasi pembalakan liar berada jauh dari permukiman penduduk.
”Setelah kami kirimkan tim ke sana, kami menemukan kayu hasil pembalakan liar,” kata Hasbi saat dihubungi dari Banda Aceh, Kamis (30/5/2024).
Kayu hasil pembalakan liar itu merupakan kayu kelas utama, seperti meranti, semantok, dan kayu keras lain. Kayu yang telah diolah menjadi balok dan papan ditumpuk di tepi jalan yang sengaja dibuka untuk membawa kayu ke luar hutan.
Hasbi menduga pembalakan liar itu telah berlangsung berbulan-bulan, tetapi baru terdeteksi oleh tim pengawasan. Tim patroli juga menemukan adanya pengerahan alat berat dan truk.
Oleh karena itu, perusakan hutan adat itu diduga melibatkan cukong atau pemodal. ”Kami tidak punya kekuatan berhadapan dengan mereka (cukong). Kami berharap aparat penegak hukum bertindak,” ujar Hasbi.
Mukim Krueng memiliki hutan adat seluas 4.045 hektar. Surat penetapan dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada September 2023.
Selain Mukim Krueng, terdapat tujuh mukim lain yang mendapatkan hak kelola hutan adat. Adapun luas hutan adat di Aceh yang telah ditetapkan adalah 22.549 hektar.
Hasbi mengatakan, hutan adat Mukim Krueng harus diselamatkan agar kelestarian alam tetap terjaga. Sebab, hutan adat itu menjadi sumber air untuk para petani dan sumber pendapatan warga dari hasil hutan bukan kayu, seperti madu dan jernang.
Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh Afifuddin Acal mengatakan, perambahan hutan adat itu diduga dilakukan pemilik modal besar, bukan oleh individu atau masyarakat biasa. Hal ini tampak dari adanya bekas aktivitas alat berat di lokasi tersebut.
”Ada bekas aktivitas alat berat yang ditemukan di lokasi pada 22 Mei 2024. Jadi, bisa dipastikan ini dilakukan pemilik modal besar,” ujar Afifuddin.
Afifuddin menambahkan, indikasi soal keterlibatan pemodal itu adalah pembukaan akses jalan dari Gampong Ara Bungong dan Gampong Garot menuju lokasi perambahan untuk mempermudah pengangkutan kayu menggunakan truk.
”Ini semakin membuktikan bahwa pelaku sudah merencanakan praktik haram ini untuk mengambil kayu dalam kawasan hutan di Mukim Krueng. Ini sudah masuk unsur pidana lingkungan hidup, apalagi proses pengangkutan sangat terbuka,” ungkap Afifuddin.
Afifuddin menuturkan, berdasarkan informasi dari masyarakat setempat, pelaku perambah kawasan hutan di Mukim Krueng masuk melalui wilayah Mukim Batee Kureng, Kecamatan Peudada. Pelaku membuka jalan agar truk dapat masuk ke titik lokasi perambahan. Kayu hasil perambahan kemudian dikumpulkan di pinggir jalan perbatasan antara Mukim Krueng dan Mukim Batee Kureng.
”Mukim Batee Kureng berbatasan langsung dengan hutan di Mukim Krueng. Mereka masuk lewat mukim itu karena aksesnya lumayan dekat,” paparnya.
Dia menambahkan, selama ini, tutupan hutan di kawasan hutan Mukim Krueng masih sangat lebat. Hutan itu juga berfungsi sebagai sumber air bagi masyarakat Kecamatan Peudada.
”Situasi ini sangat merugikan masyarakat di Mukim Krueng dan masyarakat Peudada, mengingat hutan di wilayah ini menjadi hutan terakhir dan sumber ekonomi masyarakat,” kata Afifuddin.
Menurut Afifuddin, tokoh masyarakat dan pemangku adat Mukim Krueng telah berupaya mencegah perambahan tersebut. Namun, hingga kini, perambahan masih terjadi sehingga membutuhkan penanganan serius dari pihak berwenang.
Oleh karena itu, Walhi Aceh meminta aparat penegak hukum segera menindak tegas pelaku perambahan agar kawasan hutan di Mukim Krueng terselamatkan. ”Aparat harus segera menyeret dan menangkap pelaku illegal logging tersebut agar menjadi pelajaran bagi semua pihak agar tidak merambah hutan,” ujar Afifuddin.
Dia menyebut, jika tindakan ini terus dibiarkan, banyak dampak buruk yang akan terjadi di masa depan. Selain perambahan yang terus berlangsung, bencana ekologi, seperti banjir bandang dan tanah longsor, dapat mengancam wilayah tersebut.
Ada bekas aktivitas alat berat yang ditemukan di lokasi pada 22 Mei 2024. Jadi, bisa dipastikan ini dilakukan pemilik modal besar.
Sementara itu, Pelaksana Harian Kepala Dinas Lingkungan dan Kehutanan Aceh Muhammad Daud mengaku telah mengirim tim ke lokasi untuk melakukan pengecekan atas laporan pembalakan liar tersebut.
”Tim kami sedang mengumpulkan informasi dan fakta-fakta di lapangan. Setelah ada informasi detail, baru kami menentukan kebijakan,” kata Daud.
Daud menyatakan, pembalakan liar di kawasan hutan merupakan pelanggaran hukum. Dia pun mengingatkan semua pihak agar sama-sama menjaga kawasan hutan Aceh.