Eksotisme Subak di Tengah Impitan Perubahan
Pengakuan UNESCO terhadap subak di Bali harus dijaga. Subak di Bali berkaitan erat dengan filosofi Tri Hita Karana.
Keberadaan subak di Bali sudah mendapat pengakuan khalayak dunia. Hamparan sawah berundak-undak itu juga memikat para turis yang berkunjung ke Bali, selain pantai.
Subak tidak sekadar lanskap sawah dengan sistem pembagian pengairan, yang sudah bertahan berabad-abad. Pengamat budaya dari Universitas Udayana, Bali, yang juga pengurus Pura Ulun Danu Batur, Bangli, I Ketut Eriadi Ariana, mengungkapkan, subak dapat bertahan karena bertautan erat dengan filosofi kehidupan masyarakat Bali.
Perihal itu diungkapkan Eriadi dalam diskusi internasional bertajuk ”Subak dan Jalur Rempah, Kearifan Lokal Pengelolaan Air”, yang digelar Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) di Bali International Convention Center (BICC), Nusa Dua, Badung, Selasa (21/5/2024), serangkaian konferensi internasional Forum Air Sedunia (World Water Forum) Ke-10 di Bali.
Lebih lanjut Eriadi mengatakan, subak merupakan manifestasi dari konsep Tri Hita Karana atau tiga hal penyebab kebahagiaan bagi manusia Bali. Subak, menurut Eriadi, juga cerminan sistem manajemen dan tata kelola air berkelanjutan, yang didasari prinsip solidaritas dan konektivitas.
Baca juga: Kearifan Lokal Bali Jadi Referensi Dunia Mengelola Sumber Daya Air
Secara filosofi, Tri Hita Karana adalah konsep dalam kehidupan manusia Bali untuk menjaga keseimbangan, keselarasan, dan keharmonisan hubungan dengan Tuhan sebagai Sang Pencipta (parhyangan), hubungan dengan sesama manusia (pawongan), dan hubungan dengan alam lingkungan (palemahan).
Wujud dari penerapan filosofi Tri Hita Karana masih bertahan dalam pengelolaan subak di Bali. Salah satunya di Subak Sembung, kawasan subak yang berada di wilayah Kelurahan Peguyangan, Kecamatan Denpasar Utara, Kota Denpasar.
Anggota atau krama Subak Sembung masih menjalankan aktivitas pertanian hingga upacara ritualnya meskipun subak itu berada di kawasan Kota Denpasar, yang dinamis perkembangannya.
Ketua atau pekaseh Subak Sembung, I Made Darayasa (58), menuturkan, mereka dapat mempertahankan keberadaan subak karena seluruh krama subak di Subak Sembung terikat aturan, yang disepakati bersama sebagai sukerta tata pasubakan atau hak dan kewajiban subak, di antaranya wajib mempertahankan keberadaan lahan sawah meskipun lahan sawah itu dijual atau dialihkan kepemilikannya.
”Sampai saat ini, luas lahan sawah di Subak Sembung masih 103 hektar dengan delapan munduk (wilayah subak), misalnya subak mundukkaja (bagian utara) dan subak munduk kelod (bagian selatan),” kata Darayasa di Subak Sembung, Peguyangan, Kamis (23/5/2024). Subak Sembung dikelola komunitas petani berjumlah 170 orang sebagai krama subak.
Pekaseh Subak Sembung itu menambahkan, subak mereka juga sudah dikembangkan sebagai kawasan ekowisata di Kota Denpasar sejak 2014. Pengembangan kawasan subak sebagai ekowisata, menurut Darayasa, juga berdampak positif terhadap upaya menjaga keberadaan subak dan bagi para krama subak tersebut di tengah perkembangan kawasan kota.
Perihal itu diakui Ketua Ekowisata Subak Sembung I Wayan Suwirya. Suwirya mengungkapkan, kawasan subak ditata sehingga pengunjung dapat menikmati pemandangan hamparan sawah dan dilengkapi jalur trekking agar pengunjung dapat berjalan-jalan dengan nyaman di kawasan subak.
”Petani di subak kami dapat menjual hasil pertanian, misalnya sayur-sayuran, ketela, dan lainnya, langsung ke pengunjung subak,” kata Suwirya di Subak Sembung, Kamis (23/5/2024).
Baca juga: Kawasan Wisata Warisan Budaya Dunia Jatiluwih di Bali Sambut Delegasi Forum Air Sedunia
Adapun Manajer Operasional Daya Tarik Wisata (DTW) Jatiluwih, Tabanan, I Ketut Purna yang dihubungi secara terpisah mengungkapkan, tetamu dari kalangan delegasi Forum Air Sedunia Ke-10, antara lain dari China, Perancis, Jepang, Korea Selatan, India, dan Amerika Serikat, menyatakan kagum dan terpesona dengan pemandangan hamparan sawah berundak-undak di Jatiluwih, yang termasuk lanskap Subak Catur Angga Batukaru.
Menurut Purna, sejumlah tamu dari delegasi Forum Air Sedunia juga mengungkapkan keinginannya mendukung keberadaan Subak Jatiluwih. ”Mereka berharap agar warisan dari leluhur di Jatiluwih ini dipertahankan,” katanya, Kamis (23/5).
Dalam diskusi internasional bertajuk ”Subak dan Jalur Rempah, Kearifan Lokal Pengelolaan Air” di BICC Nusa Dua, Badung, Selasa (21/5/2024), Deputi Direktur Jenderal UNESCO Xing Qu menyatakan subak di Bali mampu bertahan ribuan tahun dan menjadi fondasi dalam sistem budidaya padi di Bali. Di luar aspek kegunaannya itu, menurut Xing Qu, subak juga menjadi pendorong kohesi sosial dan pelestarian lingkungan.
”(Subak) sebuah sistem yang menggambarkan saling ketergantungan antara manusia dan lingkungannya,” kata Xing Qu. Deputi Dirjen UNESCO itu mengungkapkan, keberadaan subak di Bali mengajak semua pihak untuk kembali memikirkan hubungan antara umat manusia dan planet bumi, termasuk air. ”Khususnya pada saat ini dengan dampak perubahan iklim yang dirasakan di seluruh dunia,” ujarnya.
Masyarakat Bali, termasuk Indonesia, berbangga ketika UNESCO dalam Sidang Komite Warisan Dunia di St Petersburg, Rusia, tahun 2012 menetapkan subak sebagai bagian dari warisan budaya dunia. Pengakuan UNESCO itu merefleksikan pengakuan dunia terhadap nilai luar biasa dan universal subak sehingga dunia ikut melindunginya sekaligus mengakui subak sebagai budaya asli Indonesia.
Baca juga: Hadapi Beragam Tantangan, Pelestarian Subak di Bali Perlu Dukungan Bersama
Lanskap subak di Bali, yang diakui sebagai warisan dunia, berada di empat kabupaten, yakni Bangli, Gianyar, Badung, dan Tabanan, dengan kawasan situsnya, antara lain, Batur di Bali, Daerah Aliran Sungai (DAS) Pakerisan di Gianyar, Pura Taman Ayun Mengwi di Badung, dan Subak Catur Angga Batukaru di Tabanan.
Kawasan Pura Taman Ayung Mengwi di Badung dan kawasan Subak Jatiluwih, yang termasuk Subak Catur Angga Batukaru, di Tabanan masuk daftar tempat yang dikunjungi tetamu dan delegasi Forum Air Sedunia Ke-10.
Sains dan teknologi modern saja tidak cukup untuk menjawab berbagai masalah itu.
Dalam diskusi di BICC Nusa Dua, Eriadi, yang juga pengurus Pura Ulun Danu Batur dengan gelar Jero Penyarikan Duuran, mengungkapkan kegelisahan dan kekhawatirannya atas eksploitasi lahan di Bali, termasuk dengan terjadinya alih fungsi lahan sawah dan penggunaan kawasan subak dengan alasan demi pariwisata.
”Subak saat ini sudah menjadi warisan budaya untuk dunia, tetapi banyak lahannya dipakai untuk pembangunan vila, hotel, dan sebagainya,” kata Eriadi.”Harusnya (lahan subak) dijaga, tetapi malah dijadikan obyek wisata,” ujar Eriadi kelesah.
Kekhawatiran Eriadi beralasan. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bali menyebutkan terdapat 98 wilayah subak di wilayah Badung hingga Jembrana terancam akibat rencana pembangunan Jalan Tol Mengwi-Gilimanuk sepanjang 96,21 kilometer. Proyek jalan tol itu diperkirakan akan menerabas sekitar 480,54 hektar lahan sawah. Direktur Walhi Bali Made Krisna Dinata menyatakan banyak pembangunan infrastruktur di Bali yang mendegradasi, bahkan menghilangkan keberadaan subak di Bali.
Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid mengungkapkan, Indonesia memiliki kekayaan biodiversitas dan masyarakat Nusantara memiliki warisan pengetahuan lokal, yang berpijak pada pelestarian dan keberlanjutan. Pernyataan Hilmar tersebut senada dengan penyampaian Xing Qu perihal pentingnya menjaga, merevitalisasi, dan menyebarkan warisan pengetahuan dan kearifan lokal serta mendorong kohesi sosial dalam menjawab permasalahan global, termasuk krisis air.
”Sains dan teknologi modern saja tidak cukup untuk menjawab berbagai masalah (terkait krisis air) itu. Justru, sebagian masalahnya timbul karena sains dan teknologi modern digunakan secara tidak bijak,” kata Hilmar di BICC, Nusa Dua, Selasa (21/5/2024). ”Kita memiliki khazanah pengetahuan lokal, yang berpijak pada kelestarian dan keberlanjutan, yang jika dikombinasikan dengan sains dan teknologi modern bisa memberikan solusi yang konkret,” tambah Hilmar.
Ajang Forum Air Sedunia Ke-10 di Bali, yang dihadiri sejumlah kepala negara, perwakilan pemerintah, praktisi dan akademisi, serta pemangku kebijakan lainnya terkait kepentingan air di dunia, dapat menjadi momentum mengingatkan kembali kearifan lokal dalam mengelola dan menggunakan air. Hal itu demi kemakmuran dan kesejahteraan umat.
Kesetaraan dan solidaritas yang diterapkan subak di Bali sejak berabad-abad lalu adalah fondasi untuk menapak masa depan kehidupan yang lebih berkeadilan dalam menghadapi krisis air.