Ombudsman Minta Pemerintah Evaluasi PSN Rempang Eco City
Warga Rempang yang bersedia direlokasi untuk PSN ternyata hanya 11 persen. Pemerintah diminta evaluasi proyek itu.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Ombudsman RI menyatakan, warga yang bersedia direlokasi untuk Proyek Strategis Nasional atau PSN Rempang Eco City sangat kecil. Lembaga itu meminta Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian untuk mengevaluasi masa depan proyek besar di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, itu.
Anggota Ombudsman RI, Johanes Widijantoro, mengatakan, jumlah warga yang bersedia direlokasi untuk PSN Rempang Eco City hanya 11 persen dari total 855 keluarga. Data itu diperoleh dari Tim Terpadu Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Pembangunan dan Pengembangan Kawasan Rempang Eco City yang dibentuk Badan Pengusahaan (BP) Batam.
”Sampai hari ini yang sudah bersedia direlokasi 94 keluarga. Artinya, yang lain (761 keluarga) tidak setuju dan tidak mau (direlokasi),” kata Widijantoro saat memberikan keterangan pers di Kantor Ombudsman Perwakilan Kepri, di Batam, Rabu (22/5/2024).
Pada tahap I pengembangan PSN Rempang Eco City akan dibangun kawasan industri terintegrasi di lahan 2.300 hektar. Lima kampung tua yang terdampak pembangunan tahap I adalah Pasir Panjang, Belongkeng, Pasir Merah, Sembulang Tanjung, dan Sembulang Hulu.
Kepala Biro Humas, Promosi, dan Protokol BP Batam Ariastuty Sirait menyatakan, 94 keluarga itu merupakan yang sudah menempati hunian sementara, tetapi yang setuju direlokasi ada 383 keluarga.
Di sisi lain, Widijantoro mengatakan, BP Batam tidak transparan mengenai data warga yang bersedia direlokasi. Ombudsman sebenarnya ingin memverifikasi data berdasarakan nama dan alamat yang detail.
”Itu dia masalahnya, sampai hari ini kami tidak diberikan data (yang detail). Itu satu hal yang kami sudah lama minta,” ujar Widijantoro.
Menurut dia, rendahnya warga yang bersedia direlokasi salah satunya tecermin dengan langkah BP Batam menutup posko pendaftaran relokasi di Rempang. Posko ditiadakan karena tidak ada lagi warga yang datang untuk mendaftar.
Kalau memang sudah banyak warga yang setuju, mengapa sampai sekarang proyek masih tertunda?
Dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau Boy Even Sembiring mengatakan, data yang disampaikan BP Batam berubah-ubah.
”Kalau memang sudah banyak warga yang setuju, mengapa sampai sekarang proyek masih tertunda? Penghitungan kami sebelumnya menunjukkan warga yang mau direlokasi jumlahnya hanya 74 keluarga,” ucap Boy.
Salah satu warga Sembulang Hulu, Wadi (50), mengatakan, lebih dari 85 persen warga di lima kampung yang terdampak pembangunan tahap I PSN Rempang Eco City menolak relokasi. Menurut dia, petugas pemerintah di lapangan sering kali asal klaim data tanpa didukung bukti yang kuat.
”Pemerintah harus buka data warga lima kampung terdampak yang katanya ada ratusan itu secara detail. Saya curiga data pemerintah itu mencatut juga warga di luar lima kampung terdampak,” ujar Wadi.
Rekomendasi korektif
Widijantoro datang ke Batam untuk melakukan monitoring terhadap rekomendasi korektif berdasarkan hasil investigasi Ombudsman pada September 2023 hingga Januari 2024 terkait PSN Rempang Eco City. Rekomendasi korektif itu diberikan kepada sejumlah lembaga, di antaranya BP Batam, Pemerintah Kota Batam, Kementerian Agraria/Badan Pertanahan Nasional, dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Pemerintah harus buka data warga lima kampung terdampak yang katanya ada ratusan itu secara detail.
Ia menuturkan, Ombudsman meminta BP Batam menunda relokasi untuk warga yang tidak bersedia meninggalkan kampung. Pemerintah bisa membujuk warga untuk mau direlokasi dengan mengedepankan musyawarah.
Kepada Pemkot Batam, Ombudsman menyarankan agar menindaklanjuti Surat Keputusan Wali Kota Batam Nomor 105 Tahun 2024 tentang Penetapan Wilayah Kampung Tua. Surat keputusan itu bertujuan mengecualikan kampung tua atau kampung adat warga Melayu dari hak pengelolaan lahan (HPL) BP Batam. Sejumlah warga kampung tua di Pulau Batam telah mendapat sertifikat hak milik.
”Dulu sudah ada kebijakan menyertifikasi kampung-kampung tua, tetapi tidak tuntas. Menurut Pemkot Batam, sertifikasi kampung tua tidak mungkin dilanjutkan karena ada kebijakan pusat (terkait PSN) di Rempang,” kata Widijantoro.
Ombudsman juga memberikan rekomendasi korektif kepada Kementerian ATR/BPN terkait pengajuan HPL dari BP Batam untuk PSN Rempang Eco City. Menurut Widijantoro, lahan harus clean and clear atau tidak ditempati pihak lain sebelum sertifikat HPL diberikan kepada pemohon.
Ombudsman meminta BP Batam menunda relokasi untuk warga yang tidak bersedia meninggalkan kampung. Pemerintah bisa membujuk warga untuk mau direlokasi dengan mengedepankan musyawarah.
Saat ini, Kementerian ATR/BPN baru memberikan HPL di atas lahan seluas 126 hektar kepada BP Batam untuk lokasi relokasi warga. Untuk tahap I pembangunan kawasan industri terintegrasi dibutuhkan lahan 2.300 hektar.
Adapun kepada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Ombudsman mengusulkan evaluasi penetapan Pulau Rempang menjadi lokasi pembangunan PSN Rempang Eco City. Widijantoro mengatakan, kecilnya angka warga yang bersedia direlokasi seharusnya menjadi bahan refleksi bagi pemerintah terkait masa depan PSN Rempang Eco City.