Rancangan Perpres Otorita Food Estate Lebih Memihak Pengusaha ketimbang Petani
Perpres Badan Otorita Food Estate lebih banyak mengakomodasi kepentingan badan usaha untuk menguasai lahan.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Setelah food estateKabupaten Humbang Hasundutan tak berjalan, pemerintah akan membentuk Badan Otorita Pengelola Kawasan Food Estate Sumatera Utara melalui peraturan presiden. Masyarakat menolak perpres karena bisa menimbulkan konflik agraria, sangat sentralistis, tidak berpihak pada petani kecil dan masyarakat adat, tidak partisipatif, serta mengancam lingkungan.
”Dalam Rancangan Perpres Badan Otorita Pengelola Kawasan Food Estate Sumut terlihat jelas program itu tidak untuk petani kecil. Food estate disiapkan untuk memberi akses bagi perusahaan besar menguasai lahan dan industri pangan,” kata Direktur Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat Delima Silalahi, di Medan, Rabu (22/5/2024).
Delima menyebut, pasal di perpres lebih banyak mengakomodasi kepentingan badan usaha. Rancangan perpres disiapkan pemerintah tanpa ada partisipasi dan sosialisasi bermakna kepada masyarakat dan pemerintah daerah. ”Badan otorita mau langsung beroperasi tanpa perlu bersosialisasi serta menyerap aspirasi dan kebutuhan petani,” lanjutnya.
Rancangan Perpres Badan Otorita Food Estate Sumut dibuat setelah pengelolaan food estate (lumbung pangan) di Humbang Hasundutan yang sudah dimulai sejak 2020 tak berjalan sesuai harapan. Hingga kini, hasil dari 215 hektar area food estate yang berfokus pada tanaman bawang merah, bawang putih, dan kentang itu jauh dari target.
Tanaman bawang merah yang ditargetkan bisa menghasilkan 20 ton per hektar hasilnya tak sampai 1 ton. Saat ini, petani mulai menyewakan lahannya dengan harga murah kepada orang lain atau ke perusahaan yang seharusnya menjadi penampung hasil panen (off taker).
Setelah gagal mengelola food estate, kata Delima, pemerintah akan membentuk Badan Otorita Food Estate Sumut. Pemerintah sudah melakukan konsultasi publik perpres itu pada 22 April 2024 di Jakarta. Di rancangan perpres sesuai konsultasi publik itu disebutkan, kawasan food estate Sumut mencakup 11.759 hektar yang terpisah di empat kabupaten, yakni Humbang Hasundutan, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Pakpak Bharat.
Disebutkan, area food estate berasal dari pelepasan kawasan hutan negara, perhutanan sosial, dan tanah hak. Peta indikatif cakupan wilayah food estate Sumut sudah dilampirkan dalam rancangan perpres. Badan otorita berfungsi sebagai regulator pengembangan, pembangunan, penyelenggara layanan pertanian, serta fasilitator kerja sama antara petani dan badan usaha.
Badan otorita akan dipimpin Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi sebagai Ketua Dewan Pengarah serta Menteri Pertanian sebagai Ketua Pelaksana Dewan Pengarah. Sejumlah menteri, kepala lembaga terkait, dan Gubernur Sumut sebagai anggota dewan pengarah. Namun, bupati hanya disebut dapat dilibatkan dalam dewan pengarah.
Selanjutnya akan dibentuk Badan Pelaksana Otorita Food Estate Sumut yang akan melaksanakan tugas sebagai badan layanan umum. Badan pelaksana melakukan pekerjaan teknis, yakni penyediaan air, pemeliharaan jalan, mekanisasi, dan teknologi pertanian.
Badan pelaksana ini juga melaksanakan pelatihan, penyuluhan, pendampingan; memfasilitasi kemitraan petani dengan badan usaha; serta pelayanan medik veteriner. Badan usaha dapat memungut biaya atas jasa layanan yang diberikan.
Sampai sekarang, sebagian besar masyarakat, bahkan juga aparat pemerintah kabupaten di bidang pertanian, belum tahu tentang rencana pembentukan Badan Otorita Food Estate Sumut.
Delima menyebut, program food estate sangat bersifat top-down dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat. Food estate juga bertentangan dengan semangat otonomi daerah. Peran pemerintah daerah bahkan dikesampingkan karena bupati tidak harus terlibat di organisasi badan otorita itu.
”Sampai sekarang, sebagian besar masyarakat, bahkan juga aparat pemerintah kabupaten di bidang pertanian, belum tahu tentang rencana pembentukan Badan Otorita Food Estate Sumut. Padahal, badan itu akan mengambil sebagian besar fungsi dinas pertanian di kabupaten,” kata Delima.
Pembentukan badan otorita yang terkesan diam-diam, menurut Delima, juga berpotensi menyebabkan konflik agraria yang semakin luas di empat kabupaten yang merupakan kawasan Danau Toba itu. Di food estate Humbang Hasundutan saja sudah muncul konflik agraria dengan masyarakat adat di Desa Siria-ria, Kecamatan Pollung. Di daerah lainnya juga sangat besar potensi munculnya konflik agraria.
Kewenangan pemerintah daerah diambil alih oleh pemerintah pusat. Perpres ini tidak partisipatif dan pendekatannya sangat teknokrat.
Badan otorita diberi hak untuk mengelola dan mendistribusikan area food estate. Sementara di area itu ada banyak kelompok masyarakat adat yang sampai saat ini masih berjuang mendapatkan hak atas tanah adatnya.
Direktur Eksekutif Perhimbunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu) Tongam Panggabean mengatakan, pembentukan badan otorita menunjukkan kembali wajah sentralistis pemerintahan Presiden Joko Widodo. ”Kewenangan pemerintah daerah diambil alih oleh pemerintah pusat. Perpres ini tidak partisipatif dan pendekatannya sangat teknokrat,” kata Tongam.
Tongam menyebut, pendekatan seperti ini sudah terjadi dalam pembentukan Badan Otorita Danau Toba yang sejak awal tidak melibatkan masyarakat. Hampir sepuluh tahun berjalan, badan itu hanya melepas kawasan hutan menjadi kawasan otorita. Pembangunan dan investasi yang diharapkan tidak ada sampai dan hanya menimbulkan konflik agraria baru.
“Hal serupa juga akan terjadi di food estate Sumut. Konflik agraria baru akan muncul, tetapi program lumbung pangannya tidak berjalan,” kata Tongam.
Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Katolik Santo Thomas Medan Posman Sibuea mengatakan, pemerintah seharusnya mengevaluasi dulu secara menyeluruh program food estate yang sudah berjalan di Humbang Hasundutan dalam empat tahun terakhir. “Hasil dari food estate jauh dari yang diharapkan karena para petani masih mengalami krisis pupuk, benih, dan rantai pasok,” kata Posman.
Posman menyebut, sangat aneh jika di rancangan perpres pemerintah kabupaten tidak dilibatkan dalam food estate. Padahal, masalah di food estate Humbang Hasundutan adalah penyuluhan petani yang masih minim. Mereka adalah petani kopi, kemenyan, dan tanaman keras lainnya, tetapi diminta bertanam bawang dan kentang tanpa pengalaman dan pengetahuan.
Pemerintah kabupaten yang punya struktur penyuluh pertanian sampai ke tingkat dusun dan kelompok tani justru dikesampingkan perannya. Wewenang pemerintah kabupaten dalam mengelola pertaniannya malah dibatasi.
Rancangan perpres itu justru memperkuat kaki pemerintah pusat dengan mewajibkan 14 kementerian dan lembaga wajib ikut dalam dewan pengarah badan otorita. Menurut Posman, rancangan perpres tersebut menunjukkan pemerintah pusat tidak tahu persoalan yang terjadi di lapangan yang menyebabkan food estate tidak jalan.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Pemprov Sumut Rajali belum merespons permintaan wawancara Kompas terkait rancangan perpres itu.