Budaya dan Kearifan Lokal Jadi Solusi Alternatif Permasalahan Air Global
Nilai budaya lokal dalam pengelolaan air menjadi solusi alternatif terkait isu air global. Revitalisasi dibutuhkan.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA M PUTRA, DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
NUSA DUA, KOMPAS — Budaya dan kearifan lokal bisa menjadi ”penawar” atau solusi alternatif untuk mengatasi persoalan air dan tantangan global selama pengetahuan lokal itu terlindungi. Sayangnya, mempertahankan kearifan lokal dan segala pengetahuan itu seperti jalan panjang nan berbatu.
Hal itu mengemuka dalam diskusi internasional bertajuk ”Subak dan Jalur Rempah, Kearifan Lokal Pengelolaan Air” dalam serangkaian kegiatan Forum Air Sedunia (World Water Forum/WWF) Ke-10 di Bali International Convention Center (BICC), Nusa Dua, Bali, Selasa (21/5/2024).
Hadir sebagai pembicara dalam diskusi itu ialah Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Hilmar Farid; dan pengamat budaya dari Universitas Udayana, Bali, yang juga pengurus Pura Ulun Danu Batur, I Ketut Eriadi Ariana. Diskusi itu turut dihadiri oleh Deputi Direktur Jenderal UNESCO Xing Qu dan sejumlah akademisi.
Indonesia sudah membuktikan bahwa kekayaan kearifan lokal dan pengetahuan tradisional selama ribuan tahun merupakan bukti pengelolaan air yang berkelanjutan, bahkan sampai saat ini. Salah satu contohnya ialah subak yang telah ditetapkan menjadi warisan dunia oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO). Subak tidak hanya menyangkut sistem irigasi, tetapi juga bertaut erat dengan filosofi kehidupan masyarakat Bali.
Sementara jalur rempah Nusantara juga tidak sekadar jalur pelayaran antarpulau, tetapi juga menghubungkan sistem perairan yang begitu kompleks. Dalam forum itu juga pemerintah mengenalkan jalur rempah kepada delegasi internasional dengan berbagai temuan bersejarah yang berasal dari periode 1.000 tahun, yakni dari abad ke-4 sampai abad ke-14.
Berangkaian dengan acara diskusi subak dan jalur rempah itu, Kemendikbudristek juga menggelar pameran bertemakan subak dan jalur rempah di Museum Pasifika, Nusa Dua.
Di Jawa Barat, Komunitas Adat Ciptagelar membagi kawasan hutannya menjadi tiga zona, dan salah satunya khusus untuk perlindungan atau konservasi air. Masyarakat Ciptagelar juga menerapkan sistem tata kelola air yang diatur secara khusus oleh lembaga dan struktur adat. Secara umum, penggunaan air dialokasikan pada tiga fungsi utama, yakni untuk irigasi sawah, kebutuhan rumah tangga, dan pembangkit listrik dari turbin mikrohidro.
Subak tidak hanya menyangkut sistem irigasi, tetapi juga bertaut erat dengan filosofi kehidupan masyarakat Bali.
Pengetahuan Nusantara itu hanya sebagian dari kekayaan pengetahuan atas kearifan lokal yang berkaitan dengan pengelolaan air di Indonesia. Dalam forum diskusi itu, Hilmar Farid bahkan menyebutnya sebagai perpustakaan peradaban dunia yang ada di Indonesia.
”Indonesia itu seperti perpustakaan peradaban dunia yang seharusnya masuk dalam percakapan global sehingga (budaya) tidak sekadar menjadi tradisi masa lalu. Seperti cara masyarakat kita bertahan di Nusantara selama ribuan tahun mengelola air sebagai sumber kehidupan yang patut dipelajari,” ucap Hilmar.
Tantangan
I Ketut Eriadi Ariana menyebut, segala kearifan lokal merupakan bukti harmonisasi manusia sejak dahulu dengan alam atau lingkungan. Jikalau alam mulai rusak, harmonisasi akan runtuh dan kehidupan manusia pun turut runtuh.
”Keruntuhan manusia di Bali itu bisa terjadi saat danau tercemar, hutan-hutannya hilang, dan laut tercemar. Begitu juga subak yang saat ini sudah menjadi warisan budaya untuk dunia, tetapi banyak lahannya dipakai untuk pembangunan vila, hotel, dan lain sebagainya. Harusnya (lahan subak) dijaga, tetapi malah dijadikan obyek wisata,” ucap Eriadi, yang juga bergelar Jero Penyarikan Duuran Pura Ulun Danu Batur.
Eriadi mengatakan, subak merupakan manifestasi dari filosofi atau konsep Tri Hita Karana. Tri Hita Karana berasal dari kata ”Tri” yang artinya tiga, ”Hita” yang berarti kebahagiaan atau kesejahteraan, dan ”Karana” yang artinya penyebab.
Dengan demikian, Tri Hita Karana berarti tiga penyebab terciptanya kebahagiaan dan kesejahteraan, yang meliputi parahyangan atau hubungan harmonis antara manusia dan Tuhan sebagai Sang Pencipta, pawongan atau hubungan harmonis antarsesama manusia, dan palemahan atau hubungan harmonis antara manusia dan alam lingkungan.
”Sejak ribuan tahun lalu sampai saat ini, mereka yang di hilir yang menanam padi di subak pada waktu tertentu saat upacara keagamaan digelar akan memberikan sesuatu kepada mereka yang tinggal di hulu. Nilai ini yang bisa hilang jika lahan terus beralih fungsi dan tidak menjadikan kearifan lokal sebagai pertimbangan untuk pembangunan berkelanjutan,” katanya.
Hilmar sepakat dengan hal itu. Sayangnya, masih ada perusahaan-perusahaan air atau bentuk aktivitas industri lainnya yang mengambil manfaat dari sistem pengairan dan berdampak terhadap kelestarian sumber-sumber air. Namun, perusahaan atau aktivitas industri tersebut tidak memberikan imbal balik untuk membantu masyarakat dalam memelihara kearifan lokal yang menciptakan sistem-sistem perlindungan air tersebut.
Subak merupakan manifestasi dari filosofi atau konsep Tri Hita Karana. Tri Hita Karana berasal dari kata ’Tri’ yang artinya tiga, ’Hita’ yang berarti kebahagiaan atau kesejahteraan, dan ’Karana’ yang artinya penyebab.
”Tapi sekarang sudah bukan saatnya saling menyalahkan, sudah bukan zamannya. Sekarang ini harus menyamakan persepsi, harus duduk bersama semua pihak,” ucap Hilmar.
Hal serupa disampaikan Xing Qu. Menurut dia, saat ini UNESCO berupaya untuk menjaga kekayaan masa lalu untuk untuk pembangunan masa depan lewat warisan-warisan budaya dunia.
Xing Qu menekankan, status warisan budaya dunia itu rutin dievaluasi sehingga keberadaan warisan budaya dunia harus terus dilindungi dan dilestarikan oleh semua pihak. ”Kekayaan budaya itu bukan hanya milik masa lalu, tetapi juga untuk hari ini dan hari esok,” ujarnya.