Anak Muda Susah Cari Kerja, Peluang Kerja Terbuka jika Pendidikan Merata
Peluang lapangan kerja semakin menyempit di Indonesia akibat investasi yang berpindah ke padat modal dan kemajuan teknologi yang semakin pesat. Diperlukan dukungan akses pendidikan tinggi terjangkau untuk semua.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·5 menit baca
Peluang lapangan kerja, tidak terkecuali bagi anak muda, semakin menyempit. Investasi yang berpindah dari sektor padat karya ke padat modal, hingga kemajuan teknologi yang semakin pesat, dituding jadi beberapa penyebabnya. Untuk mengantisipasinya, perlu dukungan akses pendidikan tinggi terjangkau untuk semua lapisan masyarakat.
Dicky (23), mahasiswa akhir Universitas Padjadjaran, mulai resah melihat sulitnya para seniornya mencari pekerjaan. Apalagi, dia melihat peluang kerja dengan latar belakang keilmuan sosial yang dimiliki semakin sempit.
”Ada senior saya yang sudah lulus beberapa tahun, tapi belum dapat kerja. Ada yang sampai sekarang mencari-cari lowongan, bahkan tidak sesuai dengan apa yang kami pelajari. Tapi semua itu mau tidak mau dilakukan karena tidak ada lagi (pekerjaan),” ujar Dicky di Bandung, Jawa Barat, Senin (20/5/2024).
Dengan teknologi kecerdasan buatan yang semakin berkembang, Dicky khawatir keahliannya dalam menulis tidak diperlukan dunia kerja. ChatGPT dan sejumlah program lainnya bisa menuliskan informasi dengan baik secara otomatis dan lebih cepat dibandingkan tulisan manusia.
”Saya suka menulis. Tetapi karena sekarang sudah ada AI (kecerdasan buatan), saya takut penyedia pekerjaan tidak butuh kami. Jadi, saya harus meningkatkan kemampuan menulis yang lebih baik agar tidak bisa disamakan dengan mesin,” kata Dicky.
Keresahan ini sejalan dengan temuan tim Jurnalisme Data Kompas yang menunjukkan perubahan sektor industri dari padat modal ke padat karya. Selama kurun 2019-2014, serapan pekerja sektor formal di Indonesia hanya sekitar 2 juta jiwa. Jumlah ini jauh lebih sedikit daripada kurun 2009-2014 yang mencapai 15,6 juta jiwa (Kompas, 20/5/2024).
Pekerja formal ini merujuk pada lapangan kerja yang memiliki perjanjian dengan perusahaan berbadan hukum. Kondisi ini memungkinkan pekerja mendapatkan kepastian penghasilan tetap serta mendapatkan hak-hak lainnya.
Peluang untuk mendapatkan pekerjaan pun semakin kecil meskipun telah lulus dari perguruan tinggi. Hasil olah data dari Kompas menunjukkan, peluang lulusan perguruan tinggi yang berhasil mendapatkan pekerjaan di sektor formal hanya 47,2 persen per Agustus 2022. Jumlah ini menurun dibandingkan tahun 2017 yang mencapai 55,5 persen.
Bahkan, durasi mendapatkan pekerjaan juga semakin bertambah. Rata-rata waktu tunggu mendapat pekerjaan per Agustus 2022 mencapai dua bulan, atau lebih lama dibandingkan Agustus 2017 yang hanya setengah bulan.
Rumpun Ilmu Komunikasi Massa dan Dokumentasi sebagai salah salah satu bidang ilmu yang terdampak, misalnya, memiliki rata-rata waktu tunggu mendapat pekerjaan mencapai 78 hari per Agustus 2022. Padahal, pada 2017, lulusan dari bidang ilmu ini hanya memiliki rata-rata waktu tunggu 18 hari.
Perekonomian mandek
Sulitnya mendapatkan pekerjaan ini bisa berdampak pada perputaran roda perekonomian yang mandek. Dosen ekonomi dari Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Setia Mulyawan berpendapat, penghasilan yang tidak menentu akibat sulitnya mencari pekerjaan ini berdampak pada melemahnya daya beli publik.
Jabar, misalnya, saat ini memiliki angka pengangguran yang tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, dari 7,86 juta penganggur di Indonesia per Agustus 2023, sebanyak 1,88 juta berasal dari Jabar. Tidak heran, karena penduduk Jabar menjadi yang tertinggi di negeri ini.
”Semakin banyak orang yang menganggur, maka beban pekerja akan semakin berat. Misalnya, dalam satu keluarga beranggotakan enam orang, hanya satu yang bekerja. Beban ini akan berdampak pada daya beli yang menurun,” ujarnya.
Bahkan, Setia khawatir masalah sosial akan bertambah di tengah kondisi perekonomian yang tidak menentu. Ketimpangan dan tekanan untuk memenuhi kebutuhan hidup bisa membuat seseorang berbuat nekat dan bahkan melanggar hukum.
”Memburuknya perekonomian masyarakat ini implikasinya tentu ke mana-mana, termasuk munculnya berbagai kerawanan hingga penyakit sosial,” ujarnya.
Jika akses pendidikan yang dimiliki terbatas, Indonesia akan kekurangan ahli dalam mengelola sumber daya alam. Jadi, tidak hanya reorientasi terhadap bidang-bidang ilmu yang lebih dekat dengan teknologi, pendidikan ini juga harus terjangkau untuk semua.
Di sisi lain, permintaan lapangan pekerjaan bergeser kepada sumber daya manusia yang bisa mengendalikan teknologi. Kondisi ini, lanjut Setia, terlihat dari investasi yang datang cenderung berupa padat modal dibandingkan padat karya.
”Jadi, pengangguran yang dilihat ini tidak hanya dari jumlah kuantitas, tetapi juga skill yang masih jomplang terhadap kebutuhan formasi pekerjaan. Kondisi ini membuat supply and demand (penawaran dan permintaan) menjadi tidak sesuai,” ujarnya.
Pendidikan merata
Kondisi ini, lanjut Setia, tidak bisa dibiarkan. Dia beranggapan, sektor pendidikan perlu memetakan lagi kebutuhan di dunia kerja dan harus terjangkau untuk semua. Karena itu, isu terkait perguruan tinggi hanya sebagai pendidikan tersier yang akhir-akhir ini muncul dianggap kontraproduktif.
Menurut Setia, pendidikan tinggi adalah hak primer dari setiap warga negara. Kapasitas keilmuan ini tidak hanya membuat setiap orang punya akses yang setara dalam mendapatkan pekerjaan, tetapi juga untuk menyelesaikan berbagai kompleksitas yang ada di masyarakat.
”Logikanya, kompleksitas persoalan yang ada itu membutuhkan pendidikan yang semakin tinggi. Jadi, akan menjadi kontraproduktif jika masih menganggap pendidikan tinggi ini bukanlah hal yang penting. Semua perlu mendapatkan hak yang sama,” ujarnya.
Karena itu, Setia berharap pemerintah memikirkan kembali pentingnya akses pendidikan tinggi terhadap semua anak bangsa. Apalagi, semangat untuk melakukan hilirisasi sumber daya alam tentu memerlukan SDM berkualitas dengan pendidikan tinggi.
”Jika akses pendidikan yang dimiliki terbatas, Indonesia akan kekurangan ahli dalam mengelola sumber daya alam. Jadi, tidak hanya reorientasi terhadap bidang-bidang ilmu yang lebih dekat dengan teknologi, pendidikan ini juga harus terjangkau untuk semua,” ujarnya.
Kualitas tenaga kerja yang tinggi akan membawa Indonesia menjadi negara yang berdaulat dan mandiri. Namun, jika tenaga kerja dan pendidikan yang ada tidak sesuai permintaan pasar, peluang kerja akan menyempit dan hidup bakal semakin sulit.