Menyantap Mi Koba, Menikmati Keberagaman Bangka Belitung
Indahnya keberagaman di Bangka Belitung tak cuma sedap dipandang, tetapi bisa pula dinikmati dalam sepiring mi koba.
Bicara soal Bangka Belitung tak sekadar mengenai timah. Sebagai daerah kepulauan dengan masyarakat yang multietnis, Bangka Belitung menjelma sebagai daerah yang kaya dengan ragam kuliner. Salah satunya adalah mi koba yang turut menyimpan jejak harmoni keberagaman di provinsi dengan moto ”Serumpun Sebalai” alias ”Serumpun Seperjuangan” tersebut.
Aroma kaldu ikan menyeruak dari salah satu kedai sederhana yang berada di kawasan Batin Tikal, Kecamatan Taman Sari, Kota Pangkal Pinang, ibu kota Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Kamis (25/4/2024). Seketika, lidah bergejolak karena tak sabar untuk mengecap cita rasa kaldu yang begitu menggoda tersebut.
Seusai memesan, juru masak cekatan memanaskan mi telur atau mi basah berukuran tipis yang sudah disiapkan untuk takaran per porsi. Kemudian, mi panas dipindahkan ke piring yang sudah diisi taoge, lalu diguyur kuah kaldu ikan yang aromanya sangat memikat. Sebelum disajikan, mi ditaburi daun seledri dan bawang merah goreng.
Saat itu, juru masak menyiapkan enam porsi mi untuk enam konsumen yang berniat makan di tempat. Satu per satu mi disajikan di hadapan para konsumen yang sudah tidak sabar untuk memanjakan lidah dan perut mereka.
Sekilas, mi itu tidak terlihat istimewa karena hanya disajikan dengan taoge dan kuah. Mi itu tidak dilengkapi potongan daging ikan, ayam, ataupun sapi, sebagaimana mi pada umumnya. Yang spesial praktis hanya aroma kuat dari kuahnya.
Akan tetapi, keraguan terhadap mi itu langsung sirna saat mencoba menyeruput sesendok kuahnya. Seketika, tubuh langsung terdiam sejenak usai lidah mengecap kuah tersebut. Tubuh terhipnotis saat lidah mengirim sinyal ke otak bahwa rasa kuah itu sesedap aromanya.
Baca juga: Nikmat Kuliner Laut Bangka Belitung Terancam Pertambangan Timah
Tatkala mencoba menyantap mi dengan sedikit kuahnya, tubuh sontak terhipnotis kedua kali karena perpaduan antara mi dan kuah itu sangat pas. Tak terasa, sesendok demi sesendok mi dan kuah itu masuk ke perut. Kurang dari sepuluh menit, seporsi mi dan kuahnya ludes tak bersisa.
Itulah pengalaman Kompas saat untuk pertama kali mencoba mi koba. Sensasi pengalaman perdana memakan mi koba seperti itu dialami pula oleh salah satu konsumen, Andi Barata (35). Menurut pria asal Medan, Sumatera Utara, itu, mi koba sangat unik. Berbeda dengan mi lain, mi koba tidak menonjolkan topping daging, tapi kuahnya.
Kuah itu menjadikan mi koba sebagai kuliner yang tidak bisa ditemukan di daerah lain.
”Saya sangat suka makan mi. Tetapi, mi seperti ini tidak pernah saya temukan di tempat lain. Saya pernah mencoba mi kuah ikan di Pulau Belitung, tetapi saya rasa di sini lebih unik. Kaldu ikan mi koba beraroma lebih kuat dan punya cita rasa lebih menonjol,” tutur Andi yang baru pertama kali ke Pulau Bangka.
Andi mengetahui mi koba dari rekannya yang putra daerah Pangkal Pinang. Mi Koba disarankan sebagai salah satu kuliner khas Bangka selain kuliner lain yang sudah lebih tersohor, antara lain martabak bangka, otak-otak, dan lempah kuning.
”Kata teman saya, tidak sempurna berkunjung ke Pangkal Pinang kalau belum mencoba mi koba,” ucap Andi yang berkunjung ke Pangkal Pinang untuk keperluan dinas kerja.
Kaldu ikan mi koba beraroma lebih kuat dan punya cita rasa lebih menonjol.
Tersohor di Pangkal Pinang
Pemilik kedai mi koba yang bernama Mie Koba Iskandar tersebut, Atun (56), mengatakan, mi koba sejatinya berasal dari Koba, ibu kota Kabupaten Bangka Tengah, yang berjarak sekitar 60 kilometer atau kurang lebih 1 jam 30 menit perjalanan darat ke arah tenggara dari Pangkal Pinang. Mi itu diklaim murni hasil kreasi orangtuanya.
Semula, mi koba bernama mi kuah ikan dan dijual dengan gerobak di kawasan Koba. Karena cepat diterima dan disukai masyarakat luas, baik dari dalam maupun luar Koba, mi yang kuahnya berasal dari kaldu ikan tenggiri itu akhirnya dikenal sebagai mi koba.
”Orangtua saya merintis usaha berjualan mi ini sejak tahun 1950-an,” ucap Atun.
Medio awal 2000-an, keluarga Atun mengembangkan usahanya dengan membawa mi koba ke Pangkal Pinang. Ternyata, mi itu pun mendapatkan sambutan positif di Pangkal Pinang sehingga belakangan dianggap sebagai salah satu kuliner khas Bangka.
Konsumen mereka berasal dari semua kalangan, mulai dari masyarakat biasa untuk makan sehari-hari, wisatawan baik yang sering maupun yang baru pertama kali ke Bangka, hingga pejabat pemerintahan.
”Mi kami sering menjadi oleh-oleh wisatawan, sedangkan kantor-kantor pemerintah sering memesan untuk hidangan tamu mereka,” ujar Atun.
Baca juga: Babel dalam Semangkuk Lempah Kuning
Demi menjaga cita rasanya, lanjut Atun, mereka menjaga betul proses penyiapan bahan baku. Mi memang tidak lagi dibuat sendiri, tapi memanfaatkan rekanan. Kendati demikian, mereka tetap mengontrol kualitas mi yang diproduksi agar berukuran tipis dan bertekstur kenyal.
”Untuk kuahnya, kami masih membuatnya sendiri. Kami yang mencari sendiri ikan tenggiri segar dari nelayan langganan dan mencari bahan rempah untuk membuat bumbu rahasia,” katanya.
Jejak asimilasi
Pemerhati sejarah Bangka Belitung yang menerima Anugerah Kebudayaan Indonesia, Dato Akhmad Elvian, mengatakan, mi koba adalah salah satu dari jenis mi yang ada di Bangka Belitung. Secara holistik, mi mengandung makna besar dalam kehidupan sosial, budaya, dan sejarah di Bangka Belitung, terlebih antara warga keturunan China dan pribumi atau asli Bangka maupun Belitung.
”Mi adalah bagian dari kepingan puzzle yang bisa menceritakan betapa harmonisnya hubungan antara warga keturunan Tionghoa dan pribumi di Bangka,” ujarnya.
Keberadaan mi di Bangka ataupun Belitung, lanjut Elvian, tidak lepas dari kebijakan Kesultanan Palembang Darussalam yang menguasai Bangka Belitung saat mendatangkan banyak pekerja China untuk menambang timah, terutama di Bangka. Gelombang awal kedatangan para pekerja itu terjadi di era Sultan Mahmud Badaruddin I (berkuasa 1724-1757).
Para pekerja itu didatangkan dari Malaka, Siam, dan daratan China bagian selatan. Umumnya, mereka berasal dari suku Hakka dan Hokkian dari Provinsi Guangxi. Belakangan, tidak hanya berperan terhadap pembentukan perkampungan China di Bangka, para pekerja itu turut membawa tradisi, adat istiadat, dan budaya dari tempat asal mereka. Lambat laun, terjadilah proses asimilasi dan akulturasi antara budaya China dan pribumi Bangka.
Baca juga: Petualangan Lidah di Bangka Belitung
Jejak pembauran itu bisa dilihat dari beragam sendi kehidupan, termasuk kuliner. Produk makanan hasil asimilasi antara budaya China dan warga asli setempat itu sering disebut dengan istilah makanan peranakan. Di antara beragam jenis makanan yang dibagi berdasarkan bahan bakunya, mi yang terbuat dari tepung terigu atau mianfu dalam bahasa China setempat adalah makanan peranakan yang paling populer karena bisa menjadi pengganti nasi.
Dahulu, mi hanya dikenal di kalangan orang keturunan China. Biasanya, mi itu mengandung atau menggunakan kuah kaldu babi yang disebut mian. Karena interaksi yang intens, orang pribumi mengadaptasi budaya memakan mi. Sebagai penduduk yang mayoritas menganut Islam, orang pribumi memodifikasi kuah dengan menggunakan kaldu ikan atau udang.
Fenomena adaptasi budaya memakan mi oleh orang pribumi terjadi di delapan distrik tempat utama orang keturunan China di Bangka atau Pat Kong Mun, yakni Mentok (Buntu), Jebus (Nampong), Belinyu (Bli Jong), Sungai Liat (Liet Kong), Batu Rusa atau Merawang (Liuk Sak), Pangkal Pinang (Pin Kong), Koba (Komuk), dan Toboali (Sabang).
”Tetapi, mi koba lebih dikenal dibandingkan dari daerah lain karena mi koba dijual secara komersil kepada masyarakat umum. Sebaliknya, mi dari daerah lain cenderung hanya menjadi hidangan keluarga atau komunitas tertentu saja,” ujar Elvian.
Bukan hanya dalam mengonsumsi sehari-hari, Elvian menuturkan, orang pribumi pun mengikuti tradisi orang keturunan China yang menjadikan mi sebagai hidangan tak terpisahkan dalam kegiatan sakral. Bagi orang keturunan China, menyantap mi menjadi kegiatan wajib saat tahun baru China atau Imlek sebagai perlambang panjang umur.
Baca juga: Mantra Kuliner dari Belitung
Orang keturunan China juga menyajikan mi dalam sejumlah pesta perayaan, seperti pernikahan.
”Karena mi terkenal sebagai hidangan setengah berat yang praktis, orang pribumi mengadaptasi penggunaannya untuk berbagai sedekah (kenduri), antara lain peringatan kematian, sunatan (khitanan), dan pernikahan,” katanya.
Rukun berdampingan
Elvian menyampaikan, mi adalah satu dari banyak makanan peranakan yang sudah menjelma sebagai kuliner identitas Bangka. Selain itu, ada kue terang bulan atau martabak bangka atau hok lo pan (makanan orang Hoklo atau Hokkian) dan beberapa makanan maupun minuman yang terbuat dari kacang kedelai atau thew, seperti susu kedelai (thew fu sui) dan kembang tahu (thew fu fa).
Semua itu menunjukkan betapa harmonisnya interaksi sosial antara orang keturunan China dan pribumi di Bangka. Hubungan pernikahan antara orang keturunan China dan pribumi pun menjadi hal lumrah di sana hingga diatur khusus dalam hukum adat Bangka, Sindang Mardika. Salah satu pasal menyebutkan, apabila orang China atau Tionghoa menikahi perempuan pribumi, mereka harus membayar uang persembahan atau tetukun kepada kepala rakyat atau kampung setempat, selain uang emas kawin.
Perempuan pribumi yang dinikahi itu tidak boleh dibawa keluar. Maka itu, orang keturunan China memilih menetap di Bangka dan meninggalkan jejak generasi orang peranakan. Kondisi itu menjadi salah satu faktor yang meruntuhkan sekat antara orang keturunan China dan pribumi.
”Jejak pernikahan itu menimbulkan istilah darah lebih kental daripada air atau hubungan kekeluargaan lebih kuat daripada hubungan apa pun,” kata Elvian.
Di sini, kami menjunjung falsafah Tong Ngin Fan Ngin Jit Jong atau China Melayu Setara.
Tak heran, wajah atau perawakan muka antara orang China dan pribumi di Bangka sekilas tidak ada bedanya. Mereka bisa saling mengerti dan menguasai bahasa masing-masing. Nongkrong bersama di warung kopi menjadi kebiasaan sehari-hari.
Keunikan lainnya, Elvian mengungkapkan, satu rumah terdiri dari individu yang memeluk Khonghucu, Kristen, dan Islam bukan sesuatu yang langka di Bangka. Bahkan, saat pecah kerusukan pada tahun 1998, Bangka maupun Belitung adalah tempat yang aman untuk orang-orang keturunan China.
”Di sini, kami menjunjung falsafah Tong Ngin Fan Ngin Jit Jong atau China Melayu Setara,” kata Elvian.
Hingga kini, kehidupan harmonis antarsuku, ras, dan agama di Bangka Belitung terus terjaga. Indahnya kebersamaan itu bukan hanya sedap di pandang mata, tetapi juga bisa diresapi dalam nikmatnya sepiring mi koba.
Baca juga: ”Thew Fu Sui”, Minuman Buruh Tambang yang Jadi Ikon Kuliner Bangka