Berisiko Tinggi Polio, Cakupan Imunisasi di Papua Ditingkatkan
Pada tahun ini, temuan kasus polio dilaporkan beberapa daerah di Papua, yakni Nduga, Mimika, Nabire, dan Asmat.
Oleh
NASRUN KATINGKA
·4 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Semua wilayah di Papua dinyatakan masuk kategori risiko tinggi penularan polio. Awal tahun ini sejumlah kasus ditemukan di beberapa daerah di Papua. Cakupan imunisasi diharapkan bisa maksimal saat pelaksanaan pekan imunisasi nasional polio.
”Sinergi antarperangkat daerah di Tanah Papua diperlukan. Papua induk dan daerah otonom baru saling bersinergi dengan mitra pemerintah dalam meningkatkan capaian imunisasi ini,” kata Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Papua Arinius Weya. Weya ditemui seusai acara sosialisasi pelaksanaan Pekan Imunisasi Nasional (PIN) Polio 2024 di Jayapura, Papua, Selasa (14/5/2024).
Sosialisasi selama tiga hari yang dipusatkan di Jayapura tersebut sebagai persiapan pelaksanaan PIN polio selama dua pekan, dimulai pada 27 Mei 2024. Pelaksanaan secara serentak dilaksanakan di seluruh provinsi di ”Bumi Cenderawasih”, yakni Papua, Papua Selatan, Papua Pegunungan, Papua Tengah, Papua Barat, dan Papua Barat Daya.
Adapun berdasarkan data Kementerian Kesehatan per 29 Februari 2024, enam provinsi di Papua termasuk dalam 32 provinsi di Indonesia berkategori berisiko tinggi penularan virus. Virus ini umumnya masuk melalui mulut akibat tertelannya makanan atau air yang terkontaminasi polio.
Kemenkes melaporkan satu kasus VDPV2-n (virus polio yang diturunkan dari vaksin polio tipe 2) ditemukan di Kabupaten Nduga, Papua Pegunungan, pada anak laki-laki berusia enam tahun pada 20 Februari 2024. Selain itu, kasus lain juga dilaporkan ditemukan di Asmat, Papua Selatan, serta di Mimika dan Nabire, Papua Tengah.
Sementara itu, cakupan vaksin imunisasi dasar lengkap masih tergolong rendah di Papua. Untuk Provinsi Papua, misalnya, dari target cakupan imunisasi dasar lengkap sebesar 25 persen untuk Maret 2024, baru tercapai 11,6 persen pada periode tersebut.
”Papua dan DOB memiliki masalah yang kompleks dalam pemenuhan imunisasi ini. Sinergi berbagai pihak diperlukan sehingga jangkauan semakin maksimal,” ujar Arinus.
Adapun dalam pelaksanaan sosialisasi di Papua, pemerintah turut menggandeng Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef). Sebagai mitra pemerintah, Unicef memberikan sejumlah advokasi dalam memaksimalkan peningkatan cakupan PIN polio ini.
Kepala Unicef Perwakilan Papua Aminuddin M Ramdan mengungkapkan, selama bertahun-tahun Unicef berfokus memonitor dan mengadvokasi pemenuhan cakupan imunisasi dasar bagi anak Papua. Ia pun mengingatkan pentingnya peningkatan cakupan imunisasi ini, apalagi jika melihat kejadian luar biasa (KLB) sejumlah penyakit dalam beberapa tahun ini terakhir di Papua.
”KLB polio tercatat di Yahukimo pada 2019, lalu pada 2021 ada KLB rubella di Yahukimo juga. Begitu pun pada 2023 ditemukan campak di Papua, Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Selatan. Ini menunjukkan cakupan imunisasi dasar masih rendah,” ujar Aminuddin.
Aminuddin menyebut, dalam sosialisasi PIN polio, Unicef tidak hanya memberikan pendampingan secara teknis. Unicef juga mengadvokasi pemda-pemda di Papua menjalankan kebijakan yang bisa memaksimalkan upaya intervensi pada berbagai masalah kesehatan di Papua.
Pola hidup bersih
Selain itu, Aminuddin juga mendorong unit-unit yang terlibat mampu memberikan intervensi yang menyeluruh, seperti pola hidup bersih. Ia mengingatkan, pola hidup bersih, seperti buang air besar (BAB) sembarangan, masih menjadi tantangan di banyak daerah di Papua.
”Jadi, saat pelaksanaan PIN nanti, para pegawai puskesmas juga mendekati tokoh agama, tokoh masyarakat, tentang intervensi yang menyeluruh termasuk mengingatkan pola hidup bersih,” tutur Aminuddin.
Apalagi, berdasarkan data Unicef yang dihimpun dari pemda-pemda di Papua, mayoritas daerah memiliki persentase rendah dalam stop BAB sembarang. Hanya Biak Numfor yang telah dideklarasikan sebagai daerah 100 persen stop BAB sembarangan. Indikatornya, persentase kelurahan/kampung bebas BAB sembarangan.
Sementara itu, yang mendekati adalah Kota Jayapura dengan persentase 84 persen. Adapun di Kabupaten Jayapura, pencapaiannya masih 56,25 persen, Sarmi 32,98 persen, Keerom 28,57 persen, Waropen 25 persen, Mamberamo Raya 20 persen, Kepulauan Yapen 10,30 persen, dan Supiori 7,89 persen.
Bahkan, beberapa daerah lain di pedalaman dan pegunungan hanya memiliki persentase di bawah 1 persen. Beberapa di antaranya Kabupaten Jayawijaya sebesar 0,90 persen, Tolikara (0,90 persen), Asmat (0,90 persen), hingga Lanny Jaya (0,85 persen).
Papua dan DOB memiliki masalah yang kompleks dalam pemenuhan imunisasi ini. Sinergi berbagai pihak diperlukan sehingga jangkauan semakin maksimal.
Staf Spesialis Air, Sanitasi, dan Kebersihan di Unicef Perwakilan Papua Reza Hendrawan menyebut, komitmen pemerintah dalam bentuk regulasi sangat berperan dalam mengintervensi berbagai masalah kesehatan di Papua. Dia mencontohkan, advokasi kepada Pemkab Biak, misalnya, sejak 2021, membuat daerah tersebut menjadi daerah pertama di Tanah Papua yang 100 persen stop BAB sembarangan.
Pendampingan itu membuat Pemkab Biak Numfor mengeluarkan Peraturan Bupati Nomor 35 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat yang Bersetaraan Jender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial. ”Lahirnya aturan itu menunjukkan komitmen pemerintah, terutama memastikan anggaran, khususnya dari DAK (Dana Alokasi Khusus), Otsus (Otonomi Khusus), hingga Dana Desa,” kata Reza.