Setidaknya dua sungai, Oetun dan Oepura, di Kota Kupang makin kecil debit airnya. Sawah di sekitarnya terancam puso.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Debit air Sungai Oetun di Kampung Sokon, Kelurahan Fatukoa, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, menurun drastis. Sawah belasan hektar milik petani setempat terancam gagal panen. Lahan itu dikerjakan di sejumlah titik, sesuai arah aliran sungai. Warga mengandalkan tanaman lokal lain. Pemkot Kupang belum mendapatkan laporan tentang kesulitan petani tersebut.
Yonatan Boinbalan (45), petani Kampung Sokon, pada Kamis (9/5/2024) menghubungi Kompas. Ia menginformasikan debit Oetun yang turun drastis. Kejadian ini sudah disampaikan ke Kelurahan Fatukoa, diharapkan dapat ditindaklanjuti ke instansi terkait di Kota Kupang.
”Pekan lalu saya sampaikan masalah ini, tetapi belum ditindaklanjuti. Debit air Sungai Oetun menurun sejak pertengahan April 2024. Memasuki awal Mei ini kondisi semakin parah. Tidak ada air lagi mengalir ke sawah ini. Padahal, padi sudah mulai bunting (menuju fase menguning) dan sebagian sudah mulai menguning,” kata Yonatan.
Pria yang tidak pernah duduk di sekolah dasar ini mengaku tidak punya biaya mengadakan sumur bor. Pernah ada jasa pembuatan sumur bor datang, tetapi dana yang dibutuhkan Rp 80 juta per titik karena tingkat kesulitan di kawasan tersebut yang berupa perbukitan dan bebatuan. Yonatan menyerah, tidak mampu membayarnya.
Uang tunai di tangan juga menipis. Akibatnya, rencana membeli air tangki pun terganjal.
Satu unit mobil tangki berisi 5.000 liter air membutuhkan biaya Rp 150.000. Di Kota Kupang, biaya per tangki Rp 70.000. Namun, di kampung Yonatan berjarak sekitar 40 km arah utara Kota Kupang, melewati ruas jalan yang sangat buruk, berada di perbukitan, ongkos pengiriman air pun membengkak.
Lahan seluas 3.000 meter persegi itu membutuhkan sekitar 7-10 tangki. ”Kalau ada uang, saya mau beli air tangki, selamatkan padi yang sedang menguning dan sedang proses bunting ini saja. Lain-lain biar jadi puso,” tutur Yonatan.
Pria tiga anak ini mengaku, masih punya lahan padi tadah hujan seluas 4.000 meter persegi di dataran. Padi itu sudah dipanen dan sedang dijemur untuk penggilingan. Jumlahnya 300 kg gabah kering. Bisa menghasilkan 100-200 kg beras. Tidak cukup untuk kebutuhan satu tahun bagi lima anggota keluarga. Belum termasuk anggota keluarga yang datang.
Agustinus Nitbani (50), petani lain yang mengandalkan Sungai Oetun, mengalami nasib serupa. Ia memiliki sawah seluas 2.000 meter persegi yang kini terancam gagal panen. Lahannya berada di dataran yang masih menyimpan sisa-sisa air hujan. Kondisi padi sedang bunting.
”Padi ini pun butuh air. Jika tidak, akan puso atau gagal panen. Hampir semua lahan yang mengandalkan air Sungai Oetun mengalami nasib serupa. Petugas penyuluh sudah datang juga, tetapi mereka bisa apa,” kata Nitbani.
Ketua RT 022 RW 007 Kampung Sokon, Kelurahan Fatukoa, Polce Amnahas (43), mengatakan, hampir semua lahan pertanian yang mengandalkan air Sungai Oetun di kampong itu terancam gagal panen karena kekeringan. Biasanya sampai pertengahan Mei debit air masih cukup tersedia untuk mengalirkan lahan-lahan milik warga.
Akan tetapi, tahun ini debit air sungai lebih awal mengering. Sudah dilaporkan ke kelurahan setempat. Kelurahan yang akan melanjutkan ke instansi terkait.
Ia mengatakan, lahan yang bergantung dari Sungai Oetun berada di sejumlah titik, sesuai arah aliran sungai. Luasnya pun berkisar 1.000–5.000 meter persegi. Total ada sekitar 13 hektar. Milik lebih dari 10 petani. Debit air Sungai Oetun pada musim hujan sampai 200 liter per detik. Memasuki bulan April turun menjadi 100 liter per detik. Namun, periode April tahun ini debit air sudah mengering.
Saat ini, ketika debit sungai menipis dan sawah terancam puso, warga masih bisa bertahan karena memiliki makanan cadangan. Pisang, kelapa, ubi-ubian, dan kacang-kacangan masih cukup tersedia. Warga yang berjumlah sekitar 120 kepala keluarga di kampung itu tidak mengalami kelaparan.
Kampung Sokon berada di ketinggian sekitar 1.200 meter dari permukaan laut. Kondisi tanah lembap. Cuaca dingin dan lembap di pagi dan sore hari, kecuali siang hari panas menyengat.
Selain Oetun, Sungai Oepura yang mengairi sekitar 10 hektar sawah di Kelurahan Oepura juga mengering. Lahan sawah di sekitar Oepura pun terancam gagal panen.
Sekretaris Dinas Pertanian Kota Kupang Rita Lay mengatakan, belum mendapat laporan dari lapangan, khususnya penyuluh lapangan atau koordinator penyuluh. Jika ada laporan, tentu akan dibahas bersama untuk memberikan solusi terbaik bagi petani setempat.
”Saya akan cek dulu dari penyuluh yang ada. Karena belum ada laporan sama sekali ke kami, termasuk laporan dari Kelurahan Fatukoa pun belum sampai ke kami,” katanya.