KLB Diare di Pesisir Selatan, Sumber Air Warga Tinggi Kandungan ”E coli”
Warga masih dibolehkan mengambil air dari sumber tercemar bakteri ”E coli” dengan syarat harus dimasak sebelum diminum.
Oleh
YOLA SASTRA
·3 menit baca
PADANG, KOMPAS — Sumber-sumber air yang digunakan pasien kejadian luar biasa atau KLB diare di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, terkonfirmasi tinggi kandungan bakteri Escherichia coli (E coli). Warga masih diperbolehkan mengambil air dari sumber-sumber itu, tetapi harus memasaknya hingga mendidih sebelum dikonsumsi.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kesehatan Pesisir Selatan Intan Novia Fatma Nanda, Kamis (9/5/2024), mengatakan, dinas sudah menerima hasil penelitian dari Laboratorium Universitas Andalas. Pemeriksaan terhadap feses pasien diare positif mengandung bakteri E coli, begitu pula dengan sumber air warga.
”Hasil pengujian sampel air yang digunakan masyarakat di mata air Pincuran Langit dan beberapa depot air galon isi ulang menunjukkan keseluruhannya tinggi E coli. Di Pincuran Langit, tingkat E coli-nya 6.300 per 250 ml air. Di depot-depot air galon, 400 per 250 ml air,” kata Intan.
Berdasarkan aturan pemerintah, air minum harus bebas bakteri E coli. Hal itu disebutkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2 Tahun 2023 bahwa kadar maksimum bakteri E coli yang diperbolehkan adalah 0 per 100 ml air.
Intan melanjutkan, tingginya kandungan bakteri E coli dan kebiasaan mengonsumsi air tanpa dimasak membuat warga rentan terkena diare. Dinas kesehatan bersama pemangku kebijakan lainnya berupaya mengedukasi masyarakat agar memasak air sebelum dikonsumsi.
Menurut Intan, hingga 8 Mei 2024, jumlah kasus diare dalam KLB ini mencapai 238 kasus dengan 62 persen di antaranya dialami anak usia 0-5 tahun (balita). Sebanyak 5 orang (balita) meninggal, 152 orang sembuh, 65 orang masih dirawat di fasilitas kesehatan, dan sisanya rawat jalan dengan pantauan petugas.
Gejala yang dialami pasien-pasien itu adalah diare berlendir dan encer, kemudian ada yang disertai muntah, demam, dan mulas. Kasus diare terbanyak ditemukan di Kecamatan Sutera, antara lain di kampung Lansano, Taratak, Pasa Surantiah, dan Gunung Malelo.
”Tingginya angka kematian karena warga enggan berobat ketika sudah diare. Sebagian masyarakat baru berobat setelah dua hari mengalami dehidrasi setelah di-sweeping petugas kesehatan,” ujarnya.
Intan menambahkan, petugas masih melakukan sweeping dua hari terakhir dan masih banyak kasus ditemukan. Masyarakat enggan berobat ke fasilitas kesehatan meskipun sudah mengalami gejala diare.
Secara terpisah, Kepala Dinas Kominfo Pesisir Selatan Wendi mengatakan, berdasarkan pertemuan pemda dengan tokoh masyarakat setempat, warga tetap boleh menggunakan air dari sumber-sumber tersebut meskipun kandungan bakteri E coli-nya tinggi.
”Warga tetap boleh mengambil air itu dengan syarat harus dimasak hingga mendidih 10-15 menit agar bakteri E coli-nya mati,” katanya.
Imbauan juga dipasang di sumber-sumber mata air agar masyarakat memasak air sebelum mengonsumsi, termasuk di Pincuran Langit.
Menurut Wendi, selama ini warga langsung mengonsumsi air dari Pincuran Langit. Air itu dijual Rp 5.000 per jeriken isi 35 liter. Tiba di rumah, air itu langsung dimasukkan ke teko dan dikonsumsi tanpa dimasak karena jernih dan dianggap bersih.
”Tercemarnya sumber-sumber air itu diduga akibat banjir dan longsor 7-8 Maret lalu. Banyak ternak dan hewan lainnya mati. Bisa jadi bakteri dari bangkai hewan yang tidak dikuburkan itu menyebar. Penelitian lebih lanjut tengah dilakukan apakah karena banjir atau ada faktor lainnya,” katanya.
Selain dijual per jeriken, mata air itu juga menjadi sumber air bagi sejumlah depot air galon isi ulang di Kecamatan Sutera. Masalahnya, sebagian besar depot air tersebut tidak memiliki izin dari dinas kesehatan setempat sehingga tidak ada pengujian kualitas air secara berkala.
Wendi melanjutkan, terkait depot-depot air galon isi ulang, pemda menurunkan tim ke lapangan yang terdiri dari dinas perizinan, satpol PP, pemerintah kecamatan, pemerintah nagari, dan lainnya. ”Ditemukan ada 34 depot air galon isi ulang tidak berizin,” katanya.
Atas temuan itu, kata Wendi, tim mengimbau dan meminta pemilik depot mengurus izin dengan difasilitasi pemerintah kecamatan dan dinas perizinan. ”Supaya standar depot bisa dipatuhi,” ujarnya.
Kawasan itu barusan mengalami banjir (7-8 Maret lalu). Bisa jadi sumber airnya tercemar.
Kepala Balai Besar POM Padang Abdul Rahim mengatakan, pemeriksaan sampel air yang dicurigai menjadi sumber wabah diare masih berproses sejak Senin (6/5/2024). Pemeriksaan berlangsung sepekan.
Rahim menyoroti maraknya depot-depot air galon isi ulang tak berizin dari dinas kesehatan yang digunakan sebagian pasien KLB diare ini. Karena tak berizin, depot-depot itu tidak mengujikan kualitas airnya secara rutin.
”Harusnya mereka menguji kualitas air di laboratorium secara rutin, per tiga bulan, per enam bulan, seperti itu. Jadi, mungkin, salah satunya (penyebab) itu,” kata Rahim.
Kemudian, kata Rahim, kebiasaan higienitasi masyarakat di sekitar lokasi juga relatif buruk. Ada sumber air yang langsung diambil dari gunung/bukit, ditampung di galon, kemudian ada yang langsung dijual ke masyarakat, dan beberapa galonnya pun sudah berlumut.
”Artinya, praktik-praktik higienitas yang jelek, sementara kawasan itu barusan mengalami banjir (7-8 Maret lalu). Bisa jadi sumber airnya tercemar. Banjir itu kadang kala ada binatang mati sehingga itu berpotensi terkontaminasi bakteri. Kalau diminum anak-anak, kemungkinan akan menjadi diare, lalu dehidrasi, hingga kematian,” ujarnya.