Kurikulum Merdeka Belajar haruslah memerdekakan, bukan sebaliknya membuat guru seakan terpenjara beban administrasi.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
Kurikulum Merdeka Belajar memberi ruang bagi hadirnya pembelajaran yang berpusat pada peserta didik. Guru merancang pembelajaran sesuai dengan kebutuhan setiap murid. Kurikulum ini menghadirkan kemerdekaan di kelas. Namun, kurikulum baru ini diikuti beban administrasi yang justru memenjarakan sang guru.
Kurang dari dua bulan setelah dilantik menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Anwar Makarim, 11 Desember 2019, mengeluarkan kebijakan pendidikan, yang dinamai ”Merdeka Belajar”.
Empat hal yang diatur adalah tahun 2020 ujian sekolah berstandar nasional (USBN) akan ditetapkan dengan ujian yang diadakan sekolah; dan pada 2021 ujian nasional (UN) ditiadakan, diganti asesmen kompetensi minimum dan survei karakter yang dilakukan saat siswa di tengah jenjang, yakni kelas IV, VIII, dan XI.
Kebijakan itu juga mengatur penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) disederhanakan agar guru memiliki lebih banyak waktu dalam proses pembelajaran dan penerimaan peserta didik baru berdasar zonasi lebih fleksibel (Kompas, 12-13/12/2019).
Pelaksanaan Kurikulum Merdeka Belajar kini mendapat catatan beragam dari guru di Nusa Tenggara Timur yang disampaikan dalam momentum Hari Pendidikan Nasional pada Rabu (2/5/2024).
Marsel Lewuk (37), guru salah satu SMA di Kabupaten Sikka, mengatakan, kurikulum tersebut sangat memerdekakan siswa.
Sebelum memulai pembelajaran suatu materi, guru melakukan asesmen diagnostik untuk mengetahui kebutuhan para murid. Caranya melalui angket atau wawancara langsung.
Dari situ, guru mendapat referensi tentang kemampuan muridnya sehingga ia dapat menyiapkan metode pendekatan yang tepat. Setiap siswa mendapat perlakuan berbeda sehingga tak bisa diseragamkan.
Dalam Kurikulum Merdeka Belajar ini, guru harus meninggalkan pola lama yang cenderung melangsungkan pembelajaran satu arah dengan metode ceramah. Suasana kelas harus lebih interaktif.
”Saya guru Sejarah. Ketika saya mengajar tentang sejarah perang atau konfrontasi, ada murid yang ingin lewat tampilan audio visual. Ada pula yang ingin perbanyak diskusi,” tuturnya.
Selain itu, guru bukan satu-satunya narasumber. Guru dapat berperan sebagai penjembatan untuk menghubungkan siswa dengan narasumber yang relevan dengan materi pelajaran. Contohnya mengajak siswa ke situs sejarah atau mendatangi narasumber dari luar yang paham tentang sejarah lokal. Marsel mengaku suka dengan kurikulum tersebut.
Banyak guru SD di kampung tidak bisa mengoperasikan komputer dan aplikasi online.
Namun, Marsel memberi catatan terkait beban administrasi yang ditanggung guru. Setiap guru harus memberi laporan harian dan bulanan secara daring kepada kementerian dan dinas pendidikan provinsi. Pembuatan laporan administrasi itu memakan waktu dan menghabiskan energi yang cukup besar.
Bagi banyak guru, tuntutan administrasi itu melelahkan. ”Kalau dibuat perbandingan, beban mengajar dan beban kerja administrasi ini hampir berimbang porsinya. Seandainya kalau beban administrasi dikurangi dan guru lebih fokus mengajar, maka hasil belajar akan lebih baik,” katanya.
Hendrik Ama (40), guru salah satu SD di Kabupaten Flores Timur, mengatakan, kelebihan dari Kurikulum Merdeka Belajar adalah memberi ruang pengembangan materi berbasis lokal lewat pelajaran muatan lokal. Contohnya pengolahan pangan lokal serta berbagai kegiatan budaya. Pembelajaran pun menjadi semakin kontekstual dengan lingkungan setempat.
Seperti yang dikeluhkan Marsel, Hendrik juga keberatan dengan beban administrasi yang menurut dia malah lebih besar ketimbang beban mengajar. Hal itu justru berdampak buruk pada hasil belajar murid karena energi guru sudah tersita mengurusi administrasi.
”Apalagi proses administrasi itu secara online. Ini repot. Banyak guru SD di kampung tidak bisa mengoperasikan komputer dan aplikasi online,” katanya.
Pada perayaan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2024, Nadiem dalam sambutan tertulis yang dibacakan oleh inspektur upacara di sejumlah kota mengatakan, selama memimpin dari gerakan Merdeka Belajar lima tahun terakhir, ia sadar akan tantangan dan kesempatan untuk memajukan pendidikan Indonesia.
”Bukan hal yang mudah untuk mentransformasi sebuah sistem yang sangat besar. Bukan tugas yang sederhana untuk mengubah perspektif tentang proses pembelajaran. Pada awal perjalanan, kita sadar bahwa membuat perubahan butuh perjuangan. Rasa tidak nyaman menyertai setiap langkah menuju perbaikan dan kemajuan,” katanya.
Menurut Nadiem, lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk menjalankan tugas memimpin gerakan Merdeka Belajar. Akan tetapi, lima tahun juga bukan waktu yang lama untuk membuat perubahan yang menyeluruh. Ia menyakini, pendidikan Indonesia sudah berjalan menuju arah yang benar, tetapi tugas itu belum selesai. Ia harap, gerakan yang sudah dijalankan harus diteruskan.
Kurikulum Merdeka Belajar yang mendapat masukan dari para guru harus disempurnakan dengan mengurangi beban administrasi yang malah lebih banyak menguras energi. Dengan begitu, Kurikulum Merdeka Belajar haruslah benar-benar memerdekakan, bukan sebaliknya membuat para guru seakan terpenjara oleh beban administrasi.