Uang ”Sirih Pinang” Pintu Masuk Calo Merekrut Pekerja Migran Ilegal di NTT
Ribuan pekerja migran dari NTT direkrut secara ilegal dengan membujuk keluarganya. Sebagian lalu berakhir di peti mati.
Kasus-kasus perdagangan orang di Nusa Tenggara terus terjadi tak luput dari peran keluarga, baik orangtua maupun anggota keluarga lain. Para calo kemudian memanfaatkan ketidaktahuan dan keinginan kuat agar anggota keluarga mereka segera mendapat pekerjaan.
Para calo memberikan uang ”sirih pinang”, menawarkan pekerjaan di luar negeri yang terlihat sangat menjanjikan. Sayangnya semua hanya tipu-tipu. Yang terjadi adalah eksploitasi atas para pekerja migran ilegal tersebut. Tepat di Hari Buruh 1 Mei ini, cerita sedih dan membuat geram ini layak disimak untuk mendesak lagi agar kasus pekerja migran ilegal ditangani dan diatasi lebih serius.
Ketua Dewan Pembina Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (Padma) Indonesia Gabriel Goa di Kupang, Selasa (30/4/2024), mengatakan, Nusa Tenggara Timur sudah masuk kategori darurat perdagangan orang. Sampai hari ini, belum ada aksi konkret dari pemerintah daerah setempat menangani kasus ini. Kebijakan pemda masih sebatas imbauan saat diskusi atau ditanya media massa.
Akar masalah tindak pidana perdagangan orang adalah kemiskinan. Meski demikian, kata ”kemiskinan” ini sering ditepis pemda, dengan alasan daerah ini memiliki sumber daya alam luar biasa. Fakta di lapangan, orang miskin berbondong-bondong mencari kerja di luar negeri atau di provinsi lain melalui calo. Ada pula yang berangkat sendirian atau bersama teman.
”Keluarga sebagai pintu masuk para calo merekrut calon pekerja migran. Bermodalkan uang sirih pinang, Rp 100.000–Rp 500.000 per kepala keluarga, para calo berhasil meluluhkan hati anggota keluarga. Melepaskan anak, keponakan, cucu, dan anak menantu ke luar negeri atau provinsi lain kepada calo bersangkutan untuk diberangkatkan,” kata Gabriel.
Baca juga: Triliun Rupiah Mengalir, Kemiskinan di NTT Hanya Turun Tipis
Tidak hanya keluarga,aparatur desa seperti kepala desa serta ketua RT mendapatkan bagian dari uang sirih pinang itu. Jumlahnya Rp 500.000–Rp 1 juta per orang agar bisa mengeluarkan surat perjalanan kepada calon pekerja migran ilegal itu. Keterangan di dalam surat itu sering ditulis bahwa yang bersangkutan ke luar negeri untuk menemui anggota keluarga.
Setelah tiba di Kota Kupang atau Kabupaten Kupang, calo menginapkan mereka di lokasi tertentu. Lokasi ini tidak mudah terpantau aparat keamanan atau warga setempat. Mereka kemudian dibuatkan kartu identitas palsu. Mengganti nama, umur, dan alamat domisili.
Data Pemprov NTT, sepanjang 2023 terdapat 185 warga NTT menjadi korban tindak pidana perdagangan orang, terdiri dari 39 perempuan dan 146 pria. Sebanyak 20 anak laki-laki masih di bawah umur, yakni 14-19 tahun.
Data Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) NTT menyebutkan, sejak 2017 hingga 2022 ada 2.689 pekerja migran Indonesia dari provinsi ini. Dari jumlah ini, 120 pekerja diberangkatkan sesuai prosedur. Sebanyak 2.569 orang diberangkatkan secara ilegal. Data ini belum termasuk mereka yang diberangkatkan atau berangkat mandiri di luar pengetahuan BP3MI NTT.
Baca juga: Elegi Akhir Tahun, Kematian Pekerja Migran NTT yang Tiada Henti
”Masih ada ribuan pekerja migran ilegal diberangkatkan oleh calo atau secara perorangan, swadaya. Melalui calo, biasanya dari Kupang, mereka diberangkatkan ke kota tertentu, seperti Surabaya, Jakarta, Medan, Batam, dan Nunukan. Pekerja migran ilegal ini diberangkatkan ke luar negeri, bekerja sama dengan calo dari warga negara tujuan, yakni Malaysia,” kata Gabriel.
Mereka yang berangkat secara perorangan biasanya bekerja sama dengan anggota keluarga yang sudah ada di Malaysia melalui ponsel. Pekerja migran ilegal di Malaysia mentransfer sejumlah uang kepada calon pekerja migran untuk membeli tiket kapal laut. Terkadang mereka berangkat rombongan. Biasanya satu keluarga atau hubungan keluarga.
Tak heran jika provinsi ini dikenal sebagai ”the coffin death”, korban berakhir dalam peti mati.
Jalur perjalanan sudah diatur secara tertutup, mulai dari kampung asal di NTT sampai ke tujuan tempat pekerja migran ilegal tinggal dan bekerja. Pekerja migran ilegal di luar negeri juga menghubungi calo yang sudah siap di Nunukan atau Batam. Membangun komunikasi dan kerja sama dengan calo warga asli Malaysia untuk menyambut pekerja migran ilegal tersebut, di titik awal kedatangan di Malaysia, melalui ”jalur tikus”. Jika tidak, calo Indonesia sendiri membangun komunikasi dengan calo di Malaysia.
Ketua Koalisi Lawan Kejahatan Terorganisir dan Perdagangan Orang (The Coalition) yang juga Direktur Eksekutif Woman Working Group, Nukila Evanty, mengatakan, korban di NTT kebanyakan warga miskin yang direkrut oleh jaringan sindikat kejahatan melalui kedok perusahaan untuk bekerja di luar negeri tanpa dokumen resmi.
Baca juga: Perlu Aturan Tegas bagi Kapal Pengangkut Pekerja Migran Indonesia secara Ilegal
”Malah banyak terjadi circle of victims. Pelaku perekrut masih anggota keluarga, antara lain paman, tante, dan sepupu. Mereka tidak sadar bahwa mereka sendiri juga korban yang disewa oleh sindikat sebagai perekrut lapangan,” katanya.
Jaringan sindikat kejahatan begitu kuat dengan model rantai terputus, dengan pelaku berbeda, pada saat merekrut dan memindahkan korban. Malah mereka sudah memiliki target korban, yang difasilitasi oknum-oknum, mulai dari desa sampai tingkat provinsi.
Menurut Gabriel Goa, jumlah pekerja migran ilegal asal NTT lebih sedikit dibandingkan perekrutan pekerja migran ilegal dari Jawa atau Kalimantan. Namun, jumlah korban terbanyak yang mengalami serangkaian penyiksaan dan meninggal berasal dari NTT. Tak heran jika provinsi ini dikenal sebagai the coffin death, korban berakhir dalam peti mati.
Jumlah korban sudah begitu meresahkan. Setiap tahun korban pulang dalam kondisi peti mati rata-rata 150 orang. Dalam lima tahun terakhir, jumlah korban sebanyak 750 orang. Mereka meninggal secara sia-sia di luar negeri. Hanya karena ingin mencari ”sesuap nasi”.
Baca juga: Ratusan Pekerja Migran Ilegal NTT Setiap Tahun Meninggal di Luar Negeri
Putra Ngada ini mengatakan, perjuangan mereka ke luar negeri bukan menjadi kaya, melainkan sekadar memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun, upaya itu jarang terpenuhi. Hanya tahun pertama mereka sempat mengirim sedikit uang bagi anggota keluarga di NTT. Tahun kedua dan ketiga mulai berhenti dan kabar berikut adalah kematian. Pulang dalam kondisi peti mati.
”Penanganan kasus ini harus secara extraordinary di NTT. Namun, hal itu tidak dilakukan dan mungkin tidak akan pernah terjadi selama tidak ada kemauan semua pihak melakukan dengan tulus dan jujur serta mau berkorban. Apalagi di tahun politik sekarang, orang lebih sibuk mengurus pemilu ketimbang pekerja migran ilegal,” kata Gabriel.
Kepala Bidang Tenaga Kerja dan Transmigrasi NTT Thomas Suban Hoda mengatakan, kepedulian Pemerintah Provinsi NTT terhadap pekerja migran ilegal terus dibangun. Pemprov bekerja sama dengan BP3MI NTT, Kepolisian Daerah NTT, TNI AL, TNI AU, dan pihak terkait.
Polda NTT, misalnya, sejak Januari hingga Agustus 2023 membatalkan keberangkatan 256 warga NTT yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang. Sebanyak 52 perekrut menjadi tersangka dan sudah diproses di pengadilan.
Baca juga: Diabaikan di Negeri Jauh, Pekerja Migran NTT Peduli Saat Pemda Terbebani