Hasil Timah Hanya Nikmat Sesaat bagi Warga
Pertambangan timah sejatinya tidak haram jika dikelola sesuai aturan berlaku demi memberikan manfaat besar untuk warga.
Hasil tambang timah memang menggiurkan karena bisa menghasilkan uang jutaan rupiah dalam sehari. Namun, tidak semua masyarakat setempat bisa menikmati kesejahteraan dari tambang timah. Sebaliknya, tidak sedikit yang justru menanggung ekses dari tambang ilegal, salah satunya kerusakan lingkungan.
Tintin (53), nelayan di kawasan Pangkal Arang, Kecamatan Pangkal Balam, Kota Pangkal Pinang, Pulau Bangka, Provinsi Bangka Belitung, Rabu (24/4/2024), tampak sedang merapikan kapal penangkap ikan berukuran sekitar 30 gross ton (GT). Kapal itu baru dibuatnya dalam enam bulan terakhir saat ia ingin kembali menjadi nelayan.
Pilihan kembali ke laut diambil setelah ia gagal menjadi penambang timah. Sebelumnya, Tintin telah menangkap ikan sejak usia sembilan-sepuluh tahun atau sejak tahun 1980. Setelah puluhan tahun menjadi nelayan, ia tergiur menjadi penambang timah karena ada rekan yang mengajaknya.
”Kata teman, sampai kapan mau menjadi nelayan dengan hasil begini-begini saja. Dari situ, saya penasaran untuk coba beralih menjadi penambang timah,” ujarnya.
Untuk menjadi penambang timah, Tintin nekat menjual kapalnya pada 2017. Dengan modal sekitar Rp 80 juta dari hasil menjual kapal, dia kemudian membuat kapal ponton kayu dan membeli sejumlah perlengkapan menambang, antara lain, mesin penyedot air dan selang puluhan meter untuk menyedot timah dari kedalaman air.
Baca juga: Tambang Timah Ilegal Masih Beraktivitas karena ”Kolektor” Berkeliaran
Tintin bersama enam anggotanya pun memulai aktivitas menambang timah di perairan yang tak jauh dari tempat tinggalnya. Awalnya, hasil menambang itu sangat menggiurkan. Mereka bisa mendapatkan 70-80 kilogram timah dalam sehari.
Dengan harga timah Rp 100.000-Rp 200.000 per kilogram saat itu, artinya, mereka bisa mendapatkan uang Rp 7 juta-Rp 16 juta per hari. Hasil itu dibagi tujuh orang sehingga omzet mereka bisa mencapai Rp 1 juta-Rp 2 juta per orang per hari.
”Hasil tambang itu pasti laku terjual karena ada penampung (kolektor) yang setiap hari datang ke tempat kami,” kata Tintin.
Baca juga: Pelaku UMKM Berisiko Gulung Tikar Imbas Pelemahan Ekonomi Bangka-Belitung
Setelah dua tahun atau sampai 2019, Tintin tergiur dengan ajakan keponakannya yang mengatakan ada potensi tambang timah lebih besar di kawasan Desa Bemban, Kabupaten Bangka Tengah. Konon, lokasi itu berada di area pengelolaan pengusaha timah Bangka Tengah Tamron alias Aon. Tamron belakangan ditahan karena menjadi salah satu tersangka kasus korupsi pengelolaan timah pada izin usaha pertambangan PT Timah periode 2015-2022 yang ditangani oleh Kejaksaan Agung.
”Istilahnya, lokasi itu adalah tempat A1 atau pasti punya hasil timah yang berlimpah, setidaknya dibandingkan lokasi sebelumnya. Layaknya manusia biasa, saya punya perasaan tidak pernah puas. Jadi, saya ingin mencoba untuk pindah ke lokasi tersebut,” tutur Tintin.
Untuk berpindah ke Desa Bemban, Tintin meninggalkan kapal ponton kayu yang lama. Dia hanya mengambil mesin penyedot air dan selang dari tempat yang lama. Lalu, ia mengeluarkan kocek Rp 100 juta dari tabungannya untuk membuat kapal ponton kayu yang baru agar bisa menambang di lokasi baru tersebut.
”Sebenarnya, biaya memindahkan kapal ponton itu tidak besar, tetapi mengurusnya yang repot (bisa terpantau aparat),” ujarnya.
Ternyata, setelah berbulan-bulan beraktivitas, Tintin dan rekan-rekannya tidak mendapatkan timah sama sekali. Bisa dikatakan, lokasi itu zonk alias hampa, kosong atau tidak sesuai dengan harapan. Karena tidak mau rugi lebih besar, Tintin akhirnya memutuskan berhenti sama sekali.
”Karena tidak ada tanda-tanda positif, belum setahun beraktivitas, saya memutuskan berhenti menambang di sana,” katanya.
Kegagalan menambang di Desa Bemban membuat Tintin jera untuk kembali ke dunia penambangan timah. Apalagi, jika dihitung-hitung, Tintin tidak mendapatkan apa-apa dari penambangan tersebut. Keuntungan yang didapat dari lokasi menambang di kawasan Pangkal Arang nyaris tidak bersisa karena menutupi kerugian menambang di Desa Bemban.
Kareba itu, Tintin memutuskan untuk kembali ke profesi aslinya, yakni menjadi nelayan. Bahkan, dia harus memulai semuanya dari nol.
Bagi masyarakat biasa, seperti saya, hasil tambang itu hanya pas-pasan untuk makan sehari-hari saja. Keuntungannya tidak sebanding dengan risiko dikejar-kejar aparat dan berkonflik dengan preman setempat.
Sejak 2020, dirinya harus mengumpulkan uang terlebih dahulu dengan ikut menjadi nelayan di kapal orang lain. Uang yang terkumpul itu pelan-pelan ditabung untuk membuat kapal sendiri yang ditargetkan bisa beroperasi dalam satu bulan ke depan atau pada Mei mendatang.
”Pelajaran yang saya petik, kita harus banyak-banyak bersyukur. Jangan mudah tergiur dengan profesi lain yang bukan keahlian kita. Bagi masyarakat biasa, seperti saya, hasil tambang itu hanya pas-pasan untuk makan sehari-hari saja. Keuntungannya tidak sebanding dengan risiko dikejar-kejar aparat dan berkonflik dengan preman setempat. Yang untung besar itu hanya para pemodal besar saja. Mereka tidak perlu kerja keras 24 jam di lapangan, tetapi cukup tidur nyenyak dan tertawa di rumah sambil menunggu keuntungan datang,” ungkap Tintin.
Potensi lain
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bangka Belitung Ahmad Subhan Hafiz menuturkan, Bangka Belitung sejatinya sangat mampu untuk melepas ketergantungan ekonomi dari timah. Banyak sektor lain yang potensial digarap warga, antara lain, pertanian, perkebunan, dan kelautan.
Baca juga: Apakah Mungkin Bangka-Belitung Lepas dari Ketergantungan Timah?
Pada sektor kelautan, misalnya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2021, produksi perikanan tangkap di laut menurut komoditas utama di Bangka Belitung mencapai 244.938 ton atau tertinggi ketiga di Sumatera dan tertinggi ke-12 secara nasional.
Di Sumatera, produksi perikanan tangkap di laut Bangka-Belitung hanya kalah dari Sumatera Utara dengan 354.797 ton dan Kepulauan Riau dengan 303.194 ton. Adapun Sumatera Utara berada di urutan kelima nasional, sedangkan Kepulauan Riau di urutan kedelapan. Provinsi dengan produksi perikanan tangkap di laut terbesar nasional adalah Maluku yang mencapai 547.463 ton dari total produksi Indonesia 6.767.572 ton.
Hanya saja, potensi hasil laut Bangka Belitung mengalami tantangan besar oleh pencemaran yang ditimbulkan oleh pertambangan timah ilegal. Terbukti, merujuk data BPS pada 2021, jumlah desa tepi laut di Bangka Belitung yang mengalami pencemaran air sebanyak 38 desa, pencemaran tanah 13 desa, dan pencemaran udara 13 desa.
Pencemaran tanah di desa-desa tepi laut Bangka Belitung menjadi tertinggi di Sumatera. Pencemaran airnya menjadi tertinggi kedua di Sumatera setelah Sumatera Utara dengan 49. Adapun pencemaran udaranya tertinggi keenam di Sumatera setelah Aceh dengan 22 desa, Sumatera Utara 19 desa, Riau dan Kepulauan Riau sama-sama 16 desa, serta Lampung 14 desa.
”Saat ini, beban lingkungan Bangka Belitung mencapai 70 persen. Selain karena faktor penambangan timah ilegal, faktor lain yang turut memicu kerusakan lingkungan adalah industri ekstraktif, seperti perkebunan monokultur berskala besar dan hutan tanaman industri (HTI). Hal itu membuat ruang hidup masyarakat semakin terimpit untuk melanjutkan peradabannya, terutama untuk para petani dan nelayan,” tutur Hafiz.
Bisa berkembang bersama
Pemuka agama Islam Bangka Belitung sekaligus Rektor Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung Fadillah Sabri menyampaikan, pertambangan timah bisa berkembang bersama dengan sektor-sektor lainnya, seperti pertanian, perkebunan, kelautan, hingga pariwisata. Akan tetapi, karena tata kelola yang buruk, penambangan timah hanya memberikan keuntungan bagi segelintir pihak dan membuat kerusakan lingkungan masif sehingga sektor-sektor lain terbenam.
Untuk itu, Fadillah berharap pengungkapan kasus korupsi timah bisa menjadi momentum perbaikan tata kelola pertambangan timah agar bisa memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat dan menciptakan keseimbangan alam untuk sektor-sektor lainnya.
Sejauh ini, sejak Oktober 2023 hingga 26 April 2024, Kejaksaan Agung telah menetapkan 21 tersangka terkait kasus yang merugikan negara Rp 271 triliun tersebut. Para tersangka itu meliputi mantan pejabat PT Timah, pengusaha atau pemilik smelter alias fasilitas pengolahan tambang timah, pihak yang coba menghalangi penyidikan, dan bekas ataupun pejabat pemerintah Bangka Belitung.
”Pertambangan timah bukan sesuatu yang haram kalau dikelola sesuai aturan berlaku. Tetapi, karena praktik-praktik mafia yang ada, hasil pertambangan itu hanya menguntungkan segelintir pihak dan menyisakan kerugian besar untuk masyarakat, khususnya karena kerusakan lingkungan yang menghancurkan sektor-sektor lainnya,” terang Fadillah.
Baca juga: Korupsi Timah dan Momentum Menyelamatkan Keberlanjutan Hidup di Bangka-Belitung
Pemerhati sejarah Bangka Belitung yang menerima Anugerah Kebudayaan Indonesia, Dato Akhmad Elvian, mengatakan, sejak era Kesultanan Palembang Darussalam yang dipimpin Sultan Mahmud Badaruddin I (berkuasa 1724-1757), Bangka Belitung telah mengenal batasan atau aturan dalam penambangan timah sebagaimana tertuang dalam hukum adat Kitab Sindang Mardika. Isinya, tidak boleh menambang timah di tujuh lokasi sakral.
Lokasinya meliputi wilayah cadangan ladang atau kebun untuk sumber cadangan pangan, cadangan kampung untuk perluasan kampung, serta hutan konservasi untuk sumber bahan baku pembuatan rumah, perahu, dan obat-obatan tradisional.
Saat ini beban lingkungan Bangka Belitung mencapai 70 persen. Selain karena faktor penambangan timah ilegal, faktor lain yang turut memicu kerusakan lingkungan adalah industri ekstraktif, seperti perkebunan monokultur berskala besar dan hutan tanaman industri (HTI).
Lokasi lainnya, hutan adat yang menjadi sumber kehidupan sehari-hari, serta wilayah pesisir untuk mencegah bencana dan sumber pangan laut. Penambangan juga tidak diperbolehkan di sempadan sungai karena menjadi sumber air bersih. Begitu pula dengan bukit dan gunung yang menjadi sumber mata air dan habitat satwa liar sebagai bagian rantai kehidupan manusia.
Kearifan lokal diabaikan
Namun, sejak era reformasi, kearifan lokal yang terjaga sejak lama itu diabaikan demi keuntungan sesaat. Itu menjadi awal malapetaka yang memicu kerusakan lingkungan masif.
”Tidak heran, bagi sebagian masyarakat Bangka Belitung yang mayoritas Muslim, uang timah adalah duit panas sehingga jarang digunakan untuk berangkat haji. Mereka lebih memilih berangkat haji dari sumber pendapatan lain dan yang dinilai paling afdal dari uang hasil bumi, seperti lada,” ujarnya.
Baca juga: Pro dan Kontra Tanggapi Rencana Pemerintah Kelola Smelter Sitaan Korupsi Timah
Penjabat Gubernur Bangka Belitung Safrizal ZA menuturkan, tidak mudah mengalihkan profesi masyarakat dari sektor pertambangan timah ke sektor lainnya. Itu karena 30-40 persen warga atau 500.000-600.000 orang dari total 1,521 juta jiwa penduduk Bangka Belitung masih menggantungkan nasib dari timah.
Akan tetapi, untuk mencegah kerusakan lingkungan lebih parah, Safrizal akan mendorong semua instansi terkait untuk memfasilitasi perkembangan sektor-sektor lainnya. Tujuannya agar warga yang dahulu petani kembali menjadi petani dan warga yang dahulu nelayan kembali menjadi nelayan.
Sejarah mencatat, Bangka Belitung pernah mandiri ekonomi dari lada atau sahang. Bangka Belitung juga dikelilingi lautan yang kaya dengan potensinya. Semoga niat transformasi itu tidak menjadi angin surga semata agar masyarakat biasa, seperti Tintin tidak kembali tertipu oleh nikmat sesaat timah.