Beragam Masalah akibat Limbah Tambak Udang di Karimunjawa
Limbah tambak udang di Karimunjawa, Jepara, disebut berdampak negatif pada kondisi lingkungan dan kesehatan warga.
Limbah tambak udang vaname di Kepulauan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, disebut membawa beragam dampak negatif. Menurut sejumlah warga, limbah itu memicu masalah lingkungan dan kesehatan. Hubungan sosial warga turut terdampak.
Surokim (46), warga Desa Kemujan, Kecamatan Karimunjawa, Jepara, masih tak habis pikir, hubungannya dengan ayah kandungnya rusak karena berselisih paham soal aktivitas tambak udang. Awalnya, Surokim dan ayahnya yang merupakan nelayan sama-sama merasa terganggu dengan keberadaan tambak udang di lingkungannya.
Hal ini karena aktivitas tambak udang diduga memicu munculnya tumbuhan lumut sutra. ”Setelah ada tambak udang, lumut sutra yang semula tidak ada jadi memenuhi bibir-bibir pantai, bahkan menghampar ke tengah hingga sekitar 70 meter dari bibir pantai. Saya jadi kesusahan setiap kali berjalan menuju kapal,” kata Surokim, Rabu (17/4/2024).
Lumut sutra yang marak sejak tahun 2019 itu tidak hanya menghambat pergerakan Surokim ke kapal, tetapi juga turut menyelimuti kapal miliknya. Kondisi itu membuat kapal Surokim menjadi lebih cepat kotor sehingga dia harus lebih sering membersihkan kapalnya.
Surokim juga merasa terganggu dengan limbah cair dari aktivitas tambak yang dibuang ke laut. Dia menyebut, limbah cair itu berwarna seperti santan dan berbau busuk. Jika mengenai kulit, limbah itu menyebabkan gatal-gatal yang luar biasa hingga membuat kulit melepuh.
Menurut Surokim, akibat lingkungan laut yang tercemar, hasil tangkapan cumi-cuminya menurun dari rata-rata 50 kilogram per hari menjadi kurang dari 10 kg per hari. Dia pun harus melaut lebih jauh, dari awalnya 2 mil laut menjadi 6 mil laut, untuk mendapat cumi-cumi. Surokim menduga, hal itu terjadi karena cumi-cumi menjauhi perairan yang tercemar limbah.
Baca juga: Pencemaran Limbah Tambak Udang di Karimunjawa, Empat Orang Jadi Tersangka
”Karena tidak tahan dengan itu semua, pada September 2020 saya mendatangi petambak di sekitar lingkungan saya bersama sejumlah warga, termasuk bapak saya. Kepada kami, petambak itu mengaku bersalah dan berjanji akan membersihkan limbah-limbah tersebut,” ujar Surokim.
Saat itu, juga dibuat perjanjian antara petambak dan warga. Sejumlah pihak, mulai dari petambak, Surokim, ayah Surokim, kamituwo atau kepala dusun, hingga petugas Balai Taman Nasional Karimunjawa, turut membubuhkan tanda tangan sebagai saksi.
Dalam surat perjanjian itu, petambak juga sepakat menghentikan operasional tambak selama empat bulan serta berjanji membuat instalasi pengolahan air limbah (IPAL) sebelum tambaknya kembali beroperasi.
Beberapa saat setelah perjanjian itu, petambak tersebut sering mendatangi rumah Surokim. Menurut Surokim, petambak itu menawarkan sejumlah uang untuk ditukar dengan surat perjanjian tersebut. Sang petambak juga menawarkan pekerjaan di tambak udang serta menawarkan untuk membantu Surokim membuka usaha tambak udang. Namun, Surokim menolak tawaran-tawaran itu.
Baca juga: Limbah Tambak Udang di Karimunjawa Disebut Cemari Lingkungan
Dari rentetan peristiwa itu, musibah di keluarga Surokim bermula. Tanpa sepengetahuan Surokim, ayahnya yang putus asa dengan hasil melaut mendatangi petambak. Ayah Surokim menyatakan menerima tawaran petambak untuk dibantu memulai usaha tambak udang.
”Waktu tahu itu saya kecewa minta ampun. Ayah saya yang sejak awal berjuang bersama saya menentang tambak akhirnya tergiur untuk menambak juga. Sejak saat itulah hubungan kami merenggang,” tutur Surokim. Bahkan, sejak tahun 2021, ayah dan ibu Surokim tidak mau lagi berbicara dengan Surokim beserta istri dan anak-anaknya.
Penyakit kulit
Limbah tambak udang juga turut membawa masalah bagi warga yang bekerja di tambak. S (50), warga Desa Kemujan, mengaku mengalami sakit kulit setelah bekerja di tambak udang di desanya. Saat ditemui pada Senin (15/4/2024), S menunjukkan koreng di sekitar punggung kaki dan pergelangan kakinya.
Kendati luka-luka itu sudah mengering, gatal masih belum juga reda. Tak terbilang lagi jumlah salep gatal yang dioleskan untuk meredakan keluhan itu. Menurut S, penyakit gatal-gatal umum diderita oleh para pekerja yang bersentuhan langsung dengan air tambak. ”Bohong kalau setelah kena air tambak tidak gatal-gatal,” ucap S.
S mengaku pertama kali mengalami gatal-gatal hebat setelah ikut memanen udang di salah satu tambak di desanya pada tahun 2021. Seusai memanen udang, seluruh pekerja tambak diminta masuk ke dalam kolam tambak untuk menguras air dan kotoran.
”Di dalam kolam itu airnya hijau, terus di bagian bawahnya ada endapan seperti lumpur, berwarna coklat muda, baunya busuk. Lumpur yang ketebalannya sekitar 10 sentimeter ini berasal dari sisa pakan, kotoran udang, dan kulit udang,” katanya.
Baca juga: Daniel Tangkilisan, Aktivis Karimunjawa yang Dikriminalisasi
Berbagai dampak negatif itulah yang membuat sejumlah warga Karimunjawa memprotes keberadaan tambak udang. Sejumlah pihak, termasuk Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), pun turut mengecek tambak di Karimunjawa.
Dalam kunjungannya ke Karimunjawa pada April 2023, Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan kala itu, Adin Nurawaluddin, menyebut, tambak udang di wilayah itu tidak memenuhi dan tidak memiliki dokumen Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB).
”Air limbah tambak ini masih mengeluarkan aroma bau dan warna air yang sudah tampak tercemar. Dengan kualitas air limbah yang tidak layak tersebut mengakibatkan adanya indikasi pencemaran sumber daya ikan dan lingkungannya,” tutur Adin dalam keterangan tertulis.
Setelah ada tambak udang, lumut sutra yang semula tidak ada jadi memenuhi bibir-bibir pantai, bahkan menghampar ke tengah hingga sekitar 70 meter dari bibir pantai.
Tak standar
Suroto (43), petambak udang di Desa Kemujan, mengaku keberatan jika usahanya disebut mencemari lingkungan. Ia mengklaim, limbah dari tambak udang miliknya sudah diolah sebelum dibuang ke laut. Pengolahan itu dilakukan menggunakan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) yang dibuatnya secara sederhana dengan petunjuk dari internet.
”Saya yakin, limbah yang telah diolah dari tambak saya itu ramah lingkungan. Di kolam IPAL itu, saya memelihara ikan bulan dan ikan mujair. Ikan itu tergolong sebagai bioindikator, kalau ikan bisa hidup, artinya air itu baik,” ucap Suroto.
Kepala Balai Taman Nasional Karimunjawa Widyastuti mengatakan, pihaknya telah berulang kali mengecek kondisi tambak-tambak udang di Karimunjawa. Berdasarkan hasil pemeriksaan, sejumlah pengelola tambak udang membuang limbah sisa produksi berupa sisa pakan dan kotoran udang secara langsung ke laut, tanpa diolah di IPAL.
”Mereka bilang punya IPAL, tapi IPAL-nya itu tidak terstandardisasi. Setelah kami koordinasi dengan dinas lingkungan hidup, standarnya tidak seperti itu. Bahkan, ada yang malah langsung dibuang (ke laut),” kata Widyastuti saat ditemui, Senin (22/4/2024).
Pakar Akuakultur Universitas Diponegoro, Semarang, Sri Rejeki, mengatakan, pada umumnya, aktivitas tambak udang intensif menghasilkan limbah organik yang berasal dari sisa pakan dan feses udang. Jika dibuang langsung ke laut tanpa diolah, limbah yang mengandung nitrat, nitrit, dan amonia itu bisa memicu pertumbuhan plankton yang berlebihan.
”Pertumbuhan plankton yang berlebih, apalagi jika yang tumbuh plankton toksik, bukan tidak mungkin bisa menyebabkan warga atau wisatawan gatal-gatal setelah terkena air laut,” ujar Sri.
Sri menambahkan, plankton yang berlebihan di suatu wilayah perairan juga bisa membuat ikan menjauh untuk mencari perairan yang lebih aman. Kondisi itu berpotensi membuat ikan yang dulunya bisa ditemukan dalam jarak dekat berpindah ke lokasi yang lebih jauh, seperti yang dikeluhkan sebagian nelayan di Karimunjawa.
Sri juga menyebut, lumut sutra yang muncul karena limbah tambak udang bisa membahayakan biota laut yang membutuhkan oksigen untuk hidup. Sebab, hamparan lumut sutra dapat menghalangi masuknya oksigen sehingga berpotensi membuat biota laut di bawahnya mati.
Kepala Bidang Penataan dan Penaatan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Dinas Lingkungan Hidup Jepara Hermawan Oktavianto mengatakan, wilayah yang tercemar tambak udang di Karimunjawa bakal dilakukan pemulihan. Namun, dia mengaku belum tahu bagaimana bentuk pemulihan itu.
”Biasanya akan ada perhitungan kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh dinas lingkungan hidup kabupaten dan provinsi bersama dengan pemerhati lingkungan ataupun masyarakat. Hasil perhitungan itu menjadi dasar untuk menuntut ganti rugi kepada perusahaan atau pelaku usaha yang terbukti melanggar,” ujarnya, Jumat (19/4/2024).