Pelaku UMKM Berisiko Gulung Tikar Imbas Pelemahan Ekonomi Bangka-Belitung
Kalau perekonomian Bangka-Belitung tidak segera diselamatkan, masyarakat yang jadi korban utama akan semakin menderita.
PANGKAL PINANG, KOMPAS — Sebagai daerah yang sangat bergantung pada sektor pertambangan timah, perekonomian Bangka-Belitung mengalami kelesuan usai kasus dugaan korupsi pengelolaan timah pada izin usaha pertambangan PT Timah tahun 2015-2022. Kalau berlarut, hal itu bisa mengancam keberlajutan sejumlah usaha mikro, kecil, dan menengah di provinsi kepulauan tersebut.
Itu dirasakan betul oleh sejumlah pemilik warung kopi di Kota Pangkal Pinang, Pulau Bangka. Sebagaimana daerah-daerah lain di pesisir ataupun kepulauan Sumatera, warung kopi adalah jenis UMKM paling umum di Pangkal Pinang dan Bangka-Belitung.
Baca juga: Apakah Mungkin Bangka-Belitung Lepas dari Ketergantungan Timah?
Pemilik Warung Kopi Abang di kawasan Batin Tikal, Taman Sari, Pangkal Pinang, Dede (30), mengatakan, saat situasi normal atau sebelum kasus korupsi timah mencuat, terlebih sejak pengusaha timah asal Bangka Tengah, Tamron alias Aon ditahan penyidik Kejaksaan Agung pada 6 Februari 2024, warung kopi itu bisa menjual 40 kilogram kopi per bulan.
Saat kondisi normal, nilai omzet kotornya mencapai Rp 1 juta per hari atau Rp 30 juta per bulan. Dengan omzet seperti itu, Dede masih bisa menyimpan uang Rp 7 juta-Rp 8 juta per bulan. ”Pokoknya, warung yang berdaya tampung 30-50 orang ini nyaris selalu penuh sepanjang hari, dari awal buka pukul 06.00 sampai pukul 23.00/24.00 per hari,” ujar Dede saat ditemui, Kamis (25/4/2024).
Namun, seketika situasi berubah 180 derajat usai kasus korupsi timah dengan dugaan nilai kerugian negara Rp 271 triliun itu booming medio Februari 2024. Tiba-tiba, penjualan turun drastis menjadi sekitar 10 kilogram per bulan dengan nilai omzet kotor lebih kurang Rp 10 juta. Omzet itu hanya cukup untuk membayar gaji dua karyawan dan sewa rumah toko.
Sewa ruko dan bayar listrik mencapai Rp 6 juta per bulan. ”Februari menjadi periode yang paling sulit. Sempat usai Tamron dikabarkan ditahan, kami hanya dapat uang Rp 92.000 di satu hari karena nyaris tidak ada konsumen sama sekali di sini,” kata Dede yang membuka Warung Kopi Abang sejak 2020.
Sempat usai Tamron dikabarkan ditahan, kami hanya dapat uang Rp 92.000 di satu hari karena nyaris tidak ada konsumen sama sekali di sini.
Konsumen bergantung timah
Itu semua, Dede menuturkan, karena karakter konsumennya adalah pekerja lepas atau buru harian dan pekerja di perusahaan finansial alias leasing. Daya beli para konsumen itu sangat bergantung pada aktivitas pertambangan timah. Saat pertambangan tiarap usai kasus korupsi timah terungkap, otomatis para konsumen itu kehilangan sumber pendapatan utama yang ujungnya memukul daya beli mereka.
Di pagi hari, misalnya, konsumen Warung Kopi Abang adalah para pedagang pasar tradisional. Kini, penjualan para pedagang itu merosot drastis. Ujung-ujungnya, mereka yang biasa membeli kopi secara dibungkus tidak lagi membeli kopi.
Pada siang hari, konsumen mayoritas sopir ataupun pekerja di perusahaan finansial. Sekarang, perusahaan finansial itu banyak menghadapi kredit macet alias debitur tidak mampu bayar. Akhirnya, mereka yang biasa nongkrong di jam istirahat tidak lagi datang. ”Yah wajar, mereka pasti lebih mengutamakan kebutuhan dapurnya ketimbang membeli kopi,” tuturnya.
Hingga saat ini, kondisi penjualan Warung Kopi Abang belum sepenuhnya pulih. Tingkat penjualannya mulai beranjak tetapi masih 40 persen dari situasi normal. Namun, kalau tidak jua pulih sepenuhnya sampai empat bulan ke depan, Dede mengaku, usahanya bisa terancam. Bukan tidak mungkin, usaha itu gulung tikar.
Baca juga: Korupsi Timah dan Momentum Menyelamatkan Keberlanjutan Hidup di Bangka-Belitung
”Saat ini, omzet yang didapat nyaris tidak ada untungnya, malah harus nombok. Sejauh ini, hasil tabungan dulu-dulu yang digunakan untuk menutupi kekurangan biaya operasional. Itu hanya bisa bertahan mungkin hingga empat bulan ke depan. Lewat dari itu, bisa-bisa kami tutup,” ujar Dede.
Kredit macet melonjak
Doni (30an), pekerja di salah satu perusahaan finansial nasional yang tidak mau disebut nama perusahannya, menyampaikan, saat ini, dirinya sedang menangani sekitar 20 debitor jenis kendaraan mobil dan lebih kurang 30 debitor jenis kendaraan sepeda motor yang mengalami kredit macet. Nilai kerugiannya mencapai Rp 1 miliar dalam dua bulan terakhir.
Secara keseluruhan, ada enam penagih kredit dari perusahaan finansial bersangkutan. ”Kalau dihitung dari semua petugas leasing kami di Bangka, nilai kredit macetnya mencapai Rp 6 miliar dalam dua bulan terakhir,” kata Doni.
Menurut Doni, sejak dirinya terjun di dunia leasing di sejumlah perusahaan mulai 2008, ini adalah titik nadir perekonomian Bangka-Belitung. ”Bahkan, manajer kami dari Jakarta turun langsung untuk mengecek situasi di Bangka-Belitung. Itu karena fenomena yang terjadi tidak biasa. Sebelumnya, tingkat kepatuhan pembayaran kredit di sini selalu masuk sepuluh besar tertinggi nasional. Sekarang, justru berada di tiga terbawah,” tuturnya.
Baca juga: Pro dan Kontra Tanggapi Rencana Pemerintah Kelola Smelter Sitaan Korupsi Timah
Sama seperti yang diungkap Dede, itu akibat 60 persen debitor adalah pekerja timah, baik petambang timah rakyat, pekerja di smelter (fasilitas pengolahan hasil tambang), ataupun pekerja kontrak di PT Timah. Sisanya merupakan pekerja di sektor lain tetapi terpengaruh dengan hasil pertambangan timah, antara lain para pedagang di pasar.
”Kami berulang kali menghubungi para debitor dan di akhir bulan menemui mereka secara langsung, semuanya menjawab belum bisa bayar karena hasil timah tidak bisa dijual. Beruntung, ada yang rela mengembalikan kendaraan yang dikreditnya karena tidak tahu kapan hasil timah bisa kembali dijual,” ujar Doni.
Berharap segera tuntas
Dengan kondisi yang ada, baik Dede dan Doni berharap betul agar semuanya segera membaik demi kebangkitan roda perekonomian di Bangka-Belitung. Mereka berpendapat itu bisa terjadi kalau segera ada kepastian dalam proses penyidikan kasus korupsi timah yang sedang berlangsung.
Kalau proses hukumnya berlarut-larut, para pekerja di sektor pertambangan timah akan terus tiarap. Itu karena kolektor alias pembeli timah dan smelter belum berani beraktivitas normal.
”Sudah menjadi rahasia umum, para kolektor dan smelter belum berani beraktivitas karena pengusutan kasus korupsi timah masih berlangsung. Semuanya masih menunggu bagaimana keberlanjutan ataupun kepasitas hukum dari kasus tersebut,” kata Doni.
Baca juga: Pengungkapan Korupsi Timah Tidak Hentikan Penambangan Ilegal di Babel
Ketua Program Studi Magister Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Bangka-Belitung Reniati mengatakan, dari data Badan Pusat Statistik, kondisi perekonomian Bangka-Belitung sedang tidak baik-baik saja. Pada triwulan pertama tahun ini, terjadi deflasi di Pangkal Pinang dan Tanjung Pandan (Pulau Belitung). Itu menandakan terjadi penurunan harga jual komoditas bahan pokok yang diakibatkan penurunan daya beli masyarakat.
Dari sisi ekspor, belum ada komoditas yang diekspor dari Bangka-Belitung hingga Februari. Itu karena tidak ada timah yang bisa diekspor sehingga memengaruhi sektor-sektor lainnya. Sebelum kasus korupsi timah terungkap, 83 persen ekspor Bangka-Belitung berasal dari industri pengolahan timah.
”Jadi, saat smelter tidak beroperasi, banyak pekerjanya yang tidak punya mata pencarian. Padahal, pengeluaran rumah tangga mereka berkontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi Bangka-Belitung,” tutur Reniati.
Mencari solusi
Penjabat Gubernur Bangka-Belitung Safrizal ZA tidak menafikan pengungkapan kasus korupsi timah membuat aktivitas di sektor pertambangan timah menurun hingga 80 persen. Hal itu menyebabkan perekonomian Bangka-Belitung mengalami turbulensi.
Semua pemangku kepentingan terkait dari pemerintah daerah hingga pusat sedang berupaya mencari solusi untuk membangkitkan kembali geliat ekonomi di sini.
Apalagi sekitar 30 persen dari total kurang lebih 1,5 juta jiwa penduduk Bangka-Belitung yang menggantungkan nasib secara langsung dari sektor tersebut. ”Untuk itu, semua pemangku kepentingan terkait dari pemerintah daerah hingga pusat sedang berupaya mencari solusi untuk membangkitkan kembali geliat ekonomi di sini,” ujarnya.
Usai Rapat Koordinasi Lintas Sektor membahas ”Tindak Lanjut Penyitaan Lima Smelter Timah di Pulau Bangka” di kantor Gubernur Bangka-Belitung, Pangkal Pinang, Selasa (23/4/2024), Kepala Badan Pemulihan Aset Kejaksaan Agung Amir Yanto menuturkan, segenap instansi terkait sepakat untuk mengelola lima smelter sitaan kasus korupsi timah. Pengelolaan itu akan diserahkan kepada Kementerian Badan Usaha Milik Negara.
Tujuannya, untuk mengantisipasi penurunan nilai aset dan menyelamatkan para pekerja yang terlibat. ”Smelter-smelter itu memiliki nilai aset yang tinggi. Kalau dibiarkan tidak beroperasi, nilai aset itu akan turun drastis hingga menjadi sekumpulan besi tua. Kalau dibiarkan terbengkalai, itu akan berefek negatif lebih parah terhadap perekonomian Bangka-Belitung karena sekitar 30 persen mata pencarian masyarakatnya berasal dari timah,” ungkap Amir.