Kepala SMK di Nias Selatan Jadi Tersangka Penganiayaan Siswa hingga Tewas
Kepala SMK di Nias Selatan ditetapkan sebagai tersangka penganiayaan yang menyebabkan siswanya meninggal.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
NIAS SELATAN, KOMPAS — Kepala SMK Sidua’ori, Kabupaten Nias Selatan, Sumatera Utara, Safrin Zebua (37), ditetapkan menjadi tersangka kasus penganiayaan yang menyebabkan siswanya meninggal. Dia menghukum siswanya, Yaredi Ndruru (17), dengan memukul di bagian kening. Pukulan itu diduga menyebabkan pendarahan di kepala hingga membuat Yaredi meninggal.
”Berdasarkan alat bukti yang cukup yang dipaparkan saat gelar perkara, Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Nias Selatan menetapkan status tersangka kepada Kepala SMK Sidua’ori,” kata Kepala Polres Nias Selatan Ajun Komisaris Besar Boney Wahyu Wicaksono, Kamis (25/4/2024).
Meski telah ditetapkan sebagai tersangka, Safrin belum ditahan oleh polisi. Polres Nias Selatan juga belum memaparkan penyebab kematian korban berdasarkan hasil otopsi yang telah dilakukan oleh dokter forensik dari Polda Sumut pekan lalu.
”Polisi sudah menetapkan SZ sebagai tersangka dan proses penyidikan masih terus berjalan. Kita bersabar, semuanya masih berproses,” kata Boney.
Boney menjelaskan, berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan Polres Nias Selatan, kasus tersebut bermula dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Safrin terhadap beberapa muridnya, termasuk Yaredi, Sabtu (16/3/2024).
Dia memberikan hukuman karena mendapat laporan bahwa beberapa muridnya sulit disuruh saat praktik kerja lapangan di Kantor Camat Sidua’ori. ”Korban bersama enam siswa lainnya dibariskan oleh kepala sekolah. Korban dipukul sebanyak lima kali di bagian kepala,” ujar Boney.
Setelah pulang ke rumah, Yaredi tidak langsung menceritakan kasus itu kepada orangtuanya. Korban hanya mengeluh sakit kepala kepada ibunya yang baru pulang dari ladang. Sang ibu lalu memberi obat pereda nyeri.
Berselang sepekan, sakit kepala yang dialami Yaredi ternyata tidak kunjung sembuh dan semakin parah. Yaredi pun izin tidak bisa masuk sekolah karena sakit kepalanya semakin tidak tertahankan. Dia kemudian mengalami demam tinggi pada Jumat (29/3/2024).
Setelah demam tinggi, Yaredi mengaku kepada orangtuanya bahwa dia dipukul oleh kepala sekolahnya. Ibunya lalu menanyai teman-teman Yaredi. Temannya itu juga menceritakan bahwa mereka dihukum kepala sekolah sepekan sebelumnya. Karena kondisinya semakin parah, Yaredi akhirnya dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah Dr Thomsen, Gunung Sitoli, Sumut, Selasa (9/4/2024).
Meskipun mendapat perawatan di rumah sakit, kondisi Yaredi tidak kunjung membaik. Hasil foto rontgen kepala dan pemeriksaan fisik oleh dokter menyebut ada indikasi Yaredi mengalami pendarahan atau penggumpalan darah di bagian kepala. Nyawa Yaredi tidak tertolong hingga akhirnya meninggal pada Senin (15/4/2024).
Sebelum Yaredi meninggal, keluarga sudah melaporkan kasus penganiayaan ke Polres Nias Selatan. ”Untuk selanjutnya, Polres Nias Selatan akan melengkapi berkas penyidikan dan akan berkoordinasi dengan kejaksaan demi terangnya kasus ini,” kata Boney.
Sökhizatulö Ndruru (40), ayah Yaredi, mengucapkan terima kasih atas proses hukum yang dilakukan terkait kematian anaknya. ”Kami hanya ingin proses hukum terus berjalan. Kami sangat sedih kehilangan anak kami tersayang,” katanya.
Sökhizatulö menyebut, keluarga belum mendapat pemberitahuan resmi tentang penetapan tersangka itu. Keluarga juga belum diberitahukan tentang hasil otopsi terhadap Yaredi. Pihak keluarga berpegang pada pemeriksaan di rumah sakit yang menyebut Yaredi mengalami pendarahan dan penggumpalan darah setelah dipukul oleh kepala sekolah di kening.
Menurut Sökhizatulö, anaknya bersama siswa lain dihukum oleh kepala sekolah karena sulit disuruh saat kerja lapangan di kantor camat. Mereka disuruh wakil camat untuk menggeser genset.
Kami hanya ingin proses hukum terus berjalan. Kami sangat sedih kehilangan anak kami tersayang.
Para siswa itu awalnya tidak mau memindahkan barang itu karena sangat berat. Namun, mereka akhirnya memindahkan genset tersebut. Setelah kejadian itu, kata Sökhizatulö, wakil camat mengadu kepada kepala sekolah.
Berdasarkan penuturan teman sekolahnya, Sökhizatulö menyebut Yaredi dipukul oleh kepala sekolah dengan sangat keras. Sang kepala sekolah disebut memukuli Yaredi pertama kali, baru memukul murid lain. ”Kami hanya ingin menuntut keadilan atas kematian anak kami,” tuturnya.