Apakah Mungkin Bangka-Belitung Lepas dari Ketergantungan Timah?
Sejarah mencatat bahwa Bangka pernah dikenal karena lada, sedangkan Belitung mampu mengubah wajah menjadi daerah wisata.
Seusai kasus dugaan korupsi pengelolaan timah pada wilayah izin usaha pertambangan PT Timah 2015-2022 yang merugikan negara Rp 271 triliun terungkap, roda perekonomian Bangka-Belitung seketika lesu. Ini tak lain akibat perekonomian provinsi kepulauan tersebut masih sangat bergantung pada timah.
Lesunya perekonomian Bangka-Belitung salah satunya tampak dari aktivitas sejumlah pedagang di Pasar Besar Kota Pangkal Pinang, Pulau Bangka, Rabu (24/4/2024). Di lapak ayam potong milik Boy (28), misalnya, hingga lebih kurang pukul 15.00 WIB, delapan ayam yang sudah dibersihkan bulu dan bagian dalamnya masih belum laku. Itu belum ditambah beberapa ekor ayam beku yang masih disimpan di kotak pendingin di bawah meja lapaknya.
Baca juga: Korupsi Timah dan Momentum Menyelamatkan Keberlanjutan Hidup di Bangka-Belitung
”Sampai jam 15.00 ini, saya baru dapat uang Rp 650.000. Dengan harga jual Rp 35.000 per kilogram, artinya baru 18 kilogram ayam yang terjual. Padahal, sebelum kondisi ekonomi lesu seperti ini, saya pasti sudah mengantongi uang Rp 1 juta-Rp 1,5 juta di jam seperti ini,” ujar Boy.
Boy sehari-hari berjualan pukul 11.00-18.00 WIB. Sebelum kasus korupsi timah terungkap, stok dagangannya yang mencapai 50 kilogram per hari pasti selalu ludes, termasuk saat pandemi Covid-19. Bahkan, satu-dua jam sebelum pukul 18.00 WIB, dia sudah bisa pulang ke rumah karena semua dagangannya sudah laris manis.
Kini, sejak kasus korupsi timah terungkap, Boy sangat kesulitan menjual dagangnya. Setidaknya sejak kasus korupsi timah terungkap, terutama saat pengusaha timah asal Bangka Tengah, Tamron alias Aon, ditahan penyidik Kejaksaan Agung pada 6 Februari 2024, ayam potong dagangan Boy hanya terjual 20-30 kilogram saja setiap harinya. Itu pun menjualnya sampai Maghrib.
”Terlepas dari proses hukum yang sedang terjadi, keberadaan Tamron sangat membantu perputaran uang di masyarakat. Selama ini, Tamron yang menampung atau membeli hasil tambang timah dari masyarakat dan membayarnya secara langsung. Itu membuat perputaran uang berlangsung cepat sehingga daya beli masyarakat sehari-hari tinggi,” katanya.
Baca juga: Pro dan Kontra Tanggapi Rencana Pemerintah Kelola Smelter Sitaan Korupsi Timah
Peluang sektor lainnya
Lalu, apakah mungkin provinsi dengan moto ”Serumpun Sebalai” itu lepas dari timah yang dijuluki ”Si Emas Putih” tersebut? Peluang itu ada, tetapi butuh komitmen kuat dari sejumlah pihak karena butuh proses panjang untuk mengalihkan masyarakat ke sektor-sektor lain yang tak kalah potensial, seperti pertanian, perkebunan, kelautan, dan pariwisata.
Di Pangkal Pinang, misalnya, menurut data Kantor Pelayanan Pajak Pratama Pangkal Pinang yang dihimpun Kompas, peran sektor timah pada penerimaan pajak ibu kota Bangka-Belitung itu sebesar 40 persen, tetapi memengaruhi 60 persen sektor lainnya. Itu terjadi setidaknya selama 2018 hingga pertengahan Mei 2022.
Secara keseluruhan, Ketua Program Studi Magister Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Bangka-Belitung Reniati menuturkan, untuk jangka pendek, perekonomian Bangka-Belitung sulit untuk lepas dari ketergantungan timah. Sebagai gambaran, merujuk data Badan Pusat Statistik, pada triwulan pertama tahun ini terjadi deflasi di Pangkal Pinang dan Tanjung Pandan (Pulau Belitung).
Hal itu menandakan terjadi penurunan harga jual komoditas bahan pokok yang diakibatkan penurunan daya beli masyarakat. Kenapa demikian, salah satunya karena para pekerja di lima smelter atau fasilitas pengolahan hasil tambang timah tidak memiliki penghasilan sejak smelter-smelter itu disita sebagai barang bukti kasus korupsi timah oleh Kejaksaan Agung.
Peran sektor timah pada penerimaan pajak ibu kota Bangka-Belitung itu sebesar 40 persen, tetapi memengaruhi 60 persen sektor lainnya.
”Dampaknya terasa sekali saat bulan Ramadhan kemarin, nyaris tidak ada hiruk-pikuk masyarakat di pasar-pasar takjil seperti tahun-tahun sebelumnya. Saat Ramadhan kemarin, lebih banyak yang berjualan takjil ketimbang yang membeli,” tutur Reniati.
Indikator lainnya, dari sisi ekspor, belum ada komoditas yang dijual dari Bangka-Belitung ke luar negeri hingga Februari. Itu karena tidak ada timah yang bisa diekspor sehingga memengaruhi sektor-sektor lainnya. Sebelum kasus korupsi timah terungkap, 83 persen ekspor Bangka-Belitung berasal dari timah ataupun pengolahan timah.
Sisanya, 17 persen ekspor Bangka-Belitung berasal dari industri pengolahan sawit. ”Saya punya mahasiswa yang bekerja di pelabuhan, dia berkata bahwa aktivitas pelabuhan di sini menurun drastis hingga 50 persen dari biasanya,” kata Reniati.
Hingga akhir 2023, industri pengolahan timah berkontribusi 20,17 persen untuk struktur ekonomi Bangka-Belitung. Baru kemudian ada pertanian dengan kontribusi 19,53 persen dan perdagangan 16,4 persen.
”Jadi, saat smelter tidak beroperasi, banyak pekerjanya yang tidak punya mata pencarian. Padahal, pengeluaran rumah tangga masyarakat menjadi sumber terbesar pertumbuhan ekonomi Bangka-Belitung,” terangnya.
Baca juga: Pengungkapan Korupsi Timah Tidak Hentikan Penambangan Ilegal di Babel
Perkebunan
Meski data saat ini menunjukkan Bangka-Belitung masih sulit lepas dari ketergantungan timah, Reniati menyampaikan, di masa depan peluang provinsi yang mekar dari Sumatera Selatan per 4 Desember 2000 itu untuk lepas dari timah sangat terbuka. Banyak sektor lain yang bisa menjadi substitusi sumber perekonomian dengan potensi besar, seperti pertanian, perkebunan, kelautan, dan pariwisata.
Di sektor pertanian atau perkebunan, Bangka pernah dikenal sebagai salah satu penghasil lada atau sahang terbaik di Nusantara. Namun, karena booming timah, perlahan lada ditinggalkan. Berdasarkan data Dinas Pertanian Bangka-Belitung 2018-2022 dan makalah ”Pemberdayaan Petani dalam Penciptaan Nilai Tambah pada Komoditas Lada sebagai Upaya Peningkatan Kesejahteraan” oleh Henri dkk dari Fakultas Pertanian, Perikanan, dan Biologi, Universitas Bangka-Belitung, luas perkebunan lada Bangka-Belitung terus menyusut dalam 25 tahun terakhir.
Pada 1990-an, luas perkebunan di Bangka-Belitung masih mencapai 90.000 hektar. Memasuki 2002-2003, luas lahan itu menyusut menjadi sekitar 60.000 hektar. Pada 2008, luas lahan itu kembali menyusut menjadi lebih kurang 33.000 hektar. Sempat ada penambahan luas lahan menjadi 44.494,56 hektar pada 2012. Sepuluh tahun kemudian atau pada 2022, luas lahan hanya bertambah 53,44 hektar.
Menyusutnya luas perkebunan lada turut menyebabkan merosotnya jumlah produksi lada dari Bangka-Belitung. Padahal, lada masih menjadi komoditas seksi di pasaran internasional.
”Beberapa waktu lalu saya ke Turki dan melihat ada yang jual lada seharga Rp 800.000 per kilogram. Bisa dibayangkan, betapa besar keuntungan yang bisa kita petik kalau kembali fokus menjadi pengekspor lada,” tutur Reniati.
Selain membenahi produktivitas dan kualitas komoditas dari sektor-sektor lain, yang perlu diperhatikan semua pemangku kebijakan terkait kalau ingin lepas dari ketergantungan timah adalah menyiapkan aksesibiltas untuk kepastian distribusi penjualan komoditas-komoditas tersebut. Salah satunya memulihkan kedalaman laut di wilayah pelabuhan yang mengalami pendangkalan oleh sendimentasi hasil tambang dan faktor lainnya.
Beberapa waktu lalu saya ke Turki dan melihat ada yang jual lada seharga Rp 800.000 per kilogram. Bisa dibayangkan, betapa besar keuntungan yang bisa kita petik kalau kembali fokus menjadi pengekspor lada.
Di sisi lain, pemerintah daerah harus menangkap peluang mewujudkan rencana pembangunan jembatan yang menghubungkan Bangka dan Sumatera Selatan. ”Kalau aksesibilitas lancar, banyak pintu untuk menjual komoditas selain timah dari sini. Otomatis itu bisa menarik minat masyarakat yang butuh kepastian penjualan kalau harus beralih ke komoditas selain timah,” ujar Reniati.
Sejarah mendukung
Pemerhati sejarah Bangka-Belitung yang menerima Anugerah Kebudayaan Indonesia, Dato Akhmad Elvian, mengatakan, sejarah mendukung Bangka-Belitung untuk mewujudkan kemandirian ekonomi dari sektor selain timah. Contohnya sebelum eksplorasi dan eksploitasi timah secara besar-besaran pada abad ke-17, Bangka-Belitung adalah penghasil lada utama bagi Kesultanan Palembang Darussalam (abad XVII-XIX) yang menguasai daerah tersebut.
Setelah Kesultanan Palembang Darussalam dihapuskan Belanda pada 1823, Bangka-Belitung dikuasai pemerintahan kolonial yang sangat terobsesi dengan timah. Saat itulah, lada mulai kehilangan pamornya.
Akan tetapi, saat Belanda kembali memberikan warga kesempatan untuk mengelola lada di awal abad ke-20. Hasilnya, lada masih memberikan efek besar untuk menumbuhkan geliat perekonomian masyarakat.
Baca juga: Penyidik Kumpulkan Fakta Baru Dugaan Korupsi Timah di Bangka
Indikatornya, antara lain, meningkatnya jumlah jemaah haji asal Bangka-Belitung, yakni 600 orang pada 1926, 700 orang pada 1928, dan 800 orang pada 1929. Sampai-sampai orang-orang Belanda memunculkan istilah peperduur atau semahal lada untuk menilai sesuatu yang berharga di Bangka-Belitung saat itu.
”Bagi masyarakat Bangka-Belitung yang mayoritas Muslim, uang timah adalah duit panas sehingga jarang digunakan untuk berangkat haji. Mereka lebih memilih berangkat haji dari sumber pendapatan lain dan yang dinilai paling afdal dari uang hasil bumi, seperti lada,” kata Elvian.
Sektor lain yang tidak kalah potensial adalah pariwisata. Beberapa dekade terakhir, Belitung bisa bertransformasi menjadi daerah wisata dengan julukan ”Negeri Laskar Pelangi” karena menjadi lokasi cerita dari novel tetralogi terkenal berjudul sama karya Andrea Hirata.
Bangka-Belitung di kelilingi lautan biru dan pantai-pantai berpasir putih. Di sisi lain, pantai-pantainya memiliki karakter unik karena dihiasi formasi bebatuan granit raksasa. ”Kekhasan pesisir Bangka-Belitung adalah aset wisata yang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai sumber perekonomian baru dan berkelanjutan,” tutur Elvian yang pernah menjabat sebagai Kepala Dinas Pariwisata Pangkal Pinang.
Bagi masyarakat Bangka-Belitung yang mayoritas Muslim, uang timah adalah duit panas sehingga jarang digunakan untuk berangkat haji. Mereka lebih memilih berangkat haji dari sumber pendapatan lain dan yang dinilai paling afdal dari uang hasil bumi, seperti lada.
Sulit, tetapi diusahakan
Penjabat Gubernur Bangka-Belitung Safrizal ZA menuturkan, dalam waktu dekat atau jangka pendek, tidak mungkin menghentikan aktivitas pertambangan timah secara sporadis atau radikal. Itu karena masyarakat ataupun perekonomian Bangka-Belitung masih sangat bergantung pada timah.
Setidaknya, 500.000-600.000 warga dari total 1.521.723 jiwa penduduk Bangka-Belitung bekerja di sektor pertambangan timah. Itu artinya, ada 30-40 persen penduduk Bangka-Belitung yang menggantungkan nasibnya pada timah.
”Saya mau stop pertambangan timah, tetapi bagaimana dampaknya. Itu pasti akan berdampak sosial yang sangat besar kalau dilakukan serta-merta (tiba-tiba),” ujarnya.
Kendati demikian, lanjut Safrizal, pihaknya akan tetap merintis upaya mengalihkan ketergantungan timah pada sektor-sektor lainnya. Salah satunya di sektor pertanian dan perkebunan.
Saat ini, mereka sedang berupaya meningkatkan produktivitas tanaman hortikultura, seperti produksi cabai yang tahun-tahun kemarin hanya mampu memenuhi 50 persen kebutuhan lokal menjadi 100 persen dan bawang merah dari 20 persen menjadi 50 persen. Di samping itu, mereka terus membina komoditas lain, meliputi kopi dan durian.
”Pelan-pelan, kita harus mendorong masyarakat beralih dari sektor pertambangan ke sektor-sektor lain yang potensial, antara lain pertanian dan perkebunan. Kita semua harus menyadari bahwa hasil tambang pasti ada waktu habisnya. Jadi, untuk keberlanjutan hidup di Bangka-Belitung, kita harus mulai memikirkan sistem ekonomi hijau. Itu tidak mudah, tetapi saya yakin bisa terealisasi suatu hari nanti asal semua pihak terkait berkomitmen melakukan perubahan,” kata Safrizal.
Baca juga: Lima Smelter Terkait Dugaan Korupsi Timah Akan Dikelola Negara
Pada dasarnya, pertambangan timah bukan barang haram kalau dikelola dengan benar. Tambang timah juga bisa memberikan dampak optimal untuk kesejahteraan masyarakat dan negara. Walakin, harus ada kesimbangan antara pertambangan dan pelestarian lingkungan agar sektor-sektor lainnya bisa tetap berkembang demi kemakmuran Bangka-Belitung.