Penyidik Kumpulkan Fakta Baru Dugaan Korupsi Timah di Bangka
Kejagung terus mengumpulkan fakta baru terkait dugaan korupsi lima smelter timah yang dikelola PT Timah.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·3 menit baca
PANGKAL PINANG, KOMPAS — Penyidik Kejaksaan Agung RI terus mengumpulkan fakta-fakta baru untuk mengembangkan kasus dugaan korupsi pengelolaan timah pada wilayah izin usaha pertambangan PT Timah 2015-2022 yang merugikan negara Rp 271 triliun. Penyidik menetapkan 16 tersangka, memeriksa 148 saksi, dan menyita aset lima smelter timah terkait kasus tersebut.
”Saat ini, penyidik masih mengumpulkan fakta-fakta (baru) terkait perkembangan kasus ini,” ujar Sekretaris Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Andi Herman menjawab pertanyaan awak media seusai konferensi pers terkait hasil Rapat Koordinasi Lintas Sektor terkait ”Tindak Lanjut Penyitaan Lima Smelter Timah di Pulau Bangka” di Kantor Gubernur Bangka-Belitung, Pangkal Pinang, Pulau Bangka, Selasa (23/4/2024).
Hadir dalam rapat itu perwakilan Kejaksaan Agung, Kementerian BUMN, Direktur Utama PT Timah, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Ada pula jajaran Forum Koordinasi Pimpinan Daerah Bangka-Belitung, seperti Penjabat Gubernur Bangka-Belitung, Kepala Kepolisian Daerah Bangka-Belitung, dan pejabat TNI AD, AL, serta AU di Bangka-Belitung.
Andi mengatakan, penyidik Kejaksaan Agung telah menetapkan 15 tersangka yang terkait langsung dengan tindak pidana kasus dugaan korupsi pengelolaan timah serta satu tersangka yang coba menghalang-halangi penyidik. Semua tersangka ditetapkan secara bertahap sejak Oktober 2023.
Sejumlah tersangka adalah orang ternama. Mereka antara lain pengusaha timah Bangka Tengah Tamron alias Aon, perempuan berjuluk crazy rich Pantai Indah Kapuk Helena Lim, dan suami artis Sandra Dewi, Harvey Moeis. ”Selain itu, kami telah memeriksa 148 saksi terkait dengan perkara tersebut,” kata Andi.
Ia berharap semua pihak dalam penanganan kasus itu untuk bersikap kooperatif agar semuanya berjalan lancar, termasuk yang tidak terlibat langsung. Kalau tidak, mereka berisiko mendapatkan sanksi pidana. Hal itu tecermin dari satu orang yang tidak terlibat langsung akhirnya ditetapkan sebagai tersangka.
Suatu pihak bisa terancam pidana kalau menghalang-halangi proses penyidikan suatu perkara. Jadi, yang rugi dia sendiri.
Menurut pemberitaan Kompas.id, 6 Februari 2024, tersangka yang diduga menghalangi penyidikan kasus itu adalah Toni Tamsil. Dia menghalangi penyidikan dengan menutup dan menggembok pintu obyek yang akan digeledah serta menyembunyikan beberapa dokumen yang dibutuhkan. Selain itu, ia sengaja tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar sebagai saksi. Ia pun diduga kuat menghilangkan barang bukti elektronik.
”Walau tidak terkait langsung dengan tindak pidana, sesuai undang-undang yang berlaku, suatu pihak bisa terancam pidana kalau menghalang-halangi proses penyidikan suatu perkara. Jadi, yang rugi dia sendiri. Padahal, dia tidak terlibat langsung dengan tindak pidana bersangkutan,” ujar Andi.
Lima smelter disita
Di samping itu, Andi menyampaikan, pihaknya telah menyita aset dari lima smelter atau fasilitas pengolahan hasil tambang terkait dengan kasus tersebut. Dari rapat koordinasi lintas sektor, lima smelter itu akan dikelola negara melalui Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). ”Semua pihak sudah bersepakat sehingga tinggal mematangkan mekanisme selanjutnya dengan beberapa pihak terkait,” ujarnya.
Berdasarkan data yang dihimpun Kompas, lima smelter itu adalah CV VIP berupa sebidang tanah seluas 10.500 meter persegi, PT SIP berupa beberapa tanah dengan total luas 85.863 meter persegi, PT TI berupa beberapa tanah (84.660 meter persegi), dan PT SBS berupa beberapa tanah (57.825 meter persegi). Empat smelter itu berada di Pangkal Pinang. Terakhir, PT RBT berupa sebidang tanah serta beberapa alat berat di Kabupaten Bangka.
Kepala Badan Pemulihan Aset Kejaksaan Agung Amir Yanto mengatakan, tujuan pengelolaan lima smelter itu untuk mengantisipasi penurunan nilai aset dan menyelamatkan para pekerja yang terlibat. Smelter-smelter itu memiliki nilai aset yang tinggi. Kalau dibiarkan tidak beroperasi, nilai aset itu akan turun drastis hingga menjadi sekumpulan besi tua.
”Nanti, smelter-smelter ini akan tetap dikelola sehingga tidak rusak dan tetap memberikan suatu peluang usaha atau kerja untuk masyarakat Bangka Belitung yang 30 persen mata pencariannya berasal dari timah. Tentu saja, kegiatan ini harus bersifat legal (resmi),” katanya.
Penjabat Gubernur Bangka-Belitung Safrizal ZA menuturkan, pengungkapan kasus dugaan korupsi pengelolaan timah itu harus menjadi momentum perbaikan tata kelola pertambangan timah ataupun bisnis timah di Bangka-Belitung. Selain menyelamatkan lima smelter yang menjadi lapangan pekerjaan banyak warga, pihaknya pun berharap pemerintah pusat segera memastikan status izin pertambangan rakyat (IPR).
IPR dinilai menjadi salah satu solusi dalam pengelolaan timah secara legal di Bangka-Belitung. Sejauh ini, Pemerintah Provinsi Bangka-Belitung masih menunggu arahan ataupun instruksi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk menerbitkan petunjuk teknis (juknis) IPR.
”Setelah juknis keluar, kami akan membentuk tim untuk menerbitkan IPR sesuai dengan kriteria atau indikator yang kita bangun. Tentunya, kita akan meminta pendapat hukum serta asistensi dari Kejaksaan Agung supaya sejak awal upaya ini benar-benar sesuai dengan prosedur yang berlaku,” ujar Safrizal.