Menapaki Kekayaan Warisan Kota Kuching
Berjalan kaki bersama pemandu lokal menjadi opsi menarik untuk menelusuri warisan kota Kuching secara lebih dekat.
Kawasan pertokoan dan bangunan tua senantiasa bertahan menjadi saksi sejarah di antara ikon-ikon megah dan modern yang terus dibangun di kota Kuching. Elemen masa lalu dan sekarang berpadu menciptakan harmoni.
Suasana Tahun Baru Imlek masih terasa di sebuah kuil di persimpangan Jalan Wayang dan Jalan Ewe Hai siang itu. Puluhan lampion merah berjejer membentang di halaman kuil. Wisatawan datang silih berganti mengabadikan momen di kuil yang dikelola Asosiasi Hokkien Kuching ini.
Begitulah suasana di Kuil Hong San Si di kota Kuching, Sarawak, Malaysia, Kamis (22/2/2024) pagi. Kuil dengan berbagai ukiran indah, termasuk ukiran naga, pada dinding dan pilar-pilarnya itu adalah salah satu cagar budaya di kawasan pecinan yang dikenal dengan Kuching Old Bazaar.
”Salah satu yang spesial dari kuil ini adalah teaternya berada tepat di seberang jalan. Kuil mengadakan pertunjukan saat musim festival khusus, seperti Tahun Baru Imlek, Festival Hantu Lapar, dan Festival Kue Bulan,” kata Kelvin Lu Wei Jian (26), pemandu wisata, kepada para jurnalis dalam kunjungan media yang diadakan Sarawak Tourism Board.
Meskipun tak diketahui pasti kapan Kuil Hong San Si dibangun, cikal bakalnya berupa kuil kecil diyakini sudah ada sejak tahun 1848. Prasasti di dalam kuil mencatat kuil dibangun kembali tahun 1897. Kuil mengalami renovasi besar-besaran tahun 1985 dan 2002. Keberadaan kuil ini bisa jadi penanda lokasi awal para perantau Hokkien menetap di Kuching.
Adapun Kuching Old Bazaar merupakan salah satu pusat perdagangan pertama di Sarawak. Kawasan pecinan yang berada di pusat Kkota Kuching ini didirikan pada abad ke-19 dan berkembang pesat pada masa Dinasti Brooke.
Berjalan kaki menelusuri Kuching Old Bazaar bisa menjadi pembuka hari yang menyenangkan saat berwisata di kota Kuching. Kawasan ini memiliki sekitar 200 toko tradisional. Berbagai macam usaha yang sebagian telah berganti generasi tetap berdiri dan bertahan hingga sekarang.
Salah satu yang spesial dari kuil ini adalah teaternya berada tepat di seberang jalan. Kuil mengadakan pertunjukan saat musim festival khusus, seperti Tahun Baru Imlek, Festival Hantu Lapar, dan Festival Kue Bulan.
Jalan Ewe Hai, Jalan Bishopsgate, Jalan Carpenter, dan Jalan Upper China adalah beberapa jalan yang bisa ditelusuri. Pengunjung bisa berjalan di emperan toko dan bahu jalan. Kendaraan tak terlalu ramai, jadi tak perlu khawatir. Pun pengendara akan sabar menunggu orang-orang menyeberang tanpa membunyikan klakson.
Kelvin menjelaskan, para imigran China datang ke Sarawak pada abad ke-19. Pada masa awal kedatangan, sebagian dari mereka bekerja sebagai kuli. ”Ketika sudah punya uang, mereka membuka usaha lain,” katanya.
Seusai berkunjung ke Kuil Hong San Si sebagai pembuka, rombongan jurnalis menyusuri Jalan Ewe Hai dengan puluhan ruko di kiri-kanannya. Ruko di sepanjang jalan ini dibangun kapitan pertama Sarawak, Ong Ewe Hai, tahun 1886.
Di pengujung jalan dapat dijumpai mural yang menggambarkan aktivitas di Kuching pada masa lampau, seperti pembuatan dan jual-beli bakiak di toko serta perdagangan produk lokal, termasuk sarang walet.
Bakiak merupakan alas kaki populer di masa lampau. Setidaknya, di Kuching Old Bazaar dulu ada empat-lima produsen bakiak, namun sekarang tak ada lagi. Setelah tahun 1980-an, bakiak mulai ditinggalkan seiring masuknya perkebunan karet dan diperkenalkannya sandal karet.
Baca juga: Santubong dan Jejak Industri Besi Purba di Sarawak
Di Jalan Bishopgate, yang memotong Jalan Ewe Hai dan Jalan Carpenter, terdapat toko tukang timah, Ho Nyen Foh, yang berusia sekitar seabad. Toko yang menghasilkan berbagai produk kaleng, seperti tong susu kedelai dan minyak literan, ini dijalankan oleh generasi ketiga, yaitu Ho Chin Hin dan istrinya.
Kamis pagi itu, Ho Chin Hin yang usianya tak lagi muda sedang mematri tong susu kedelai. Meskipun masih beroperasi, masa depan toko ini dibayangi ketidakpastian karena tidak ada lagi generasi penerus.
Bangunan ruko masih dominan ketika memasuki Jalan Carpenter. Kelvin bercerita, jalan ini dinamai carpenter atau tukang kayu merujuk pada sejarahnya di masa lampau yang merupakan pusat industri produk kayu.
Akan tetapi, pertengahan tahun 1990, tak ada lagi tukang kayu di lokasi itu dan sebagian beralih menjadi toko furnitur. ”Harga kayu mahal dan kebiasaan masyarakat berubah. Produk impor lebih diminati dibanding buatan sendiri,” kata Kelvin.
Permata tersembunyi
Perjalanan selanjutnya membawa kami ke Jalan Tun Haji Openg. Di jalan ini, bangunan kolonial masih berdiri perkasa dan sekarang menjadi Kantor Pos Umum Kuching. Bangunan yang didirikan tahun 1931 itu terlihat kontras dengan bangunan sekitarnya.
Pemandangan sekitar 2.000 kotak pos berwarna merah (PO box) menjadi permata tersembunyi di salah satu bagian gedung itu. Meskipun mulai berkurang, sebagian masyarakat masih menggunakannya, terutama warga yang alamatnya jauh dari pusat kota.
Beberapa warga datang untuk mengecek dan mengambil surat ataupun dokumen di kotak pos yang mereka sewa. ”Sudah 10 tahun saya menyewa. Bayarnya 50 ringgit setahun. Di kampung, kadang-kadang surat tidak sampai,” kata Che Ukoon (63), warga yang tinggal di pinggiran kota Kuching.
Baca juga: Malaysia Mengundang Turis Bertandang, dari Bukit Bintang hingga Petronas
Jalan India di pinggir kawasan Kuching Old Bazaar menjadi jejak sejarah kedatangan perantau dari negara di Asia Selatan itu. Nama jalan yang sekarang jadi pusat perdagangan tekstil ini berasal dari banyaknya toko India yang menempati jalan itu.
Tahun 1850-an, jalan itu disebut Jalan Kling (Keling), tetapi tahun 1928 diganti oleh Raja Putih Ketiga Sarawak Charles Vyner Brooke menjadi Jalan India. Tahun 1992, jalan ini ditutup dari lalu lintas kendaraan dan beralih fungsi menjadi mal pejalan kaki.
Mural besar bertajuk ”The Early Merces” akan menyambut pengunjung sebelum masuk ke Jalan India. Mural itu menampilkan Wee Aik Oh dan Sayed Ahmad, dua orang yang memulai perdagangan tekstil di Sarawak tahun 1930-an.
Jika teliti, pengunjung akan menemukan lorong menuju Masjid India tertua di Sarawak yang berada di Jalan Gambir. Akses ke masjid itu dari Jalan India disebut ”Lorong Sempit” dengan melewati toko-toko baju, rempah, dan barang kebutuhan harian.
Bangunan yang didirikan komunitas Muslim India pada abad ke-19 ini merupakan permata tersembunyi lain yang menjadi kekayaan sejarah Sarawak. Sayang, masjid tua itu tak lagi digunakan. Fungsinya digantikan bangunan baru, Masjid India Kuching, yang berdiri megah dan mengapung di pinggir Sungai Sarawak, di seberang Jalan Gambir.
Kuliner tradisional
Di sela-sela tur jalan kaki di Kuching Old Bazaar dan sekitarnya, pengunjung bisa beristirahat sembari menikmati makanan dan minuman tradisional.
Kedai bubur lek tau suan dapat dijumpai di Jalan Upper China, jalan sebelum menuju kantor pos. Bubur kacang hijau tanpa kulit dengan kuah kental bening dan manis ini sangat nikmat disantap saat hangat dengan potongan cakwe yang gurih.
Pilihan lain adalah siew pau di Lorong Kai Joo, yang diakses dari Jalan India. Roti panggang berisi ayam cincang ini rapuh di luar dan lembut di dalam. Porsinya cocok untuk pengganjal perut menjelang makan siang. Jika ingin yang pedas, pengunjung bisa menikmati curry puff.
Mereka perlu minum kopi mentega ini untuk melegakan tenggorokan.
Masih di Lorong Kai Joo, pengunjung dapat pula menikmati secangkir kopi opium hangat ditemani roti bakar di Hiap Yak Tea Shop. Tak perlu khawatir karena minuman ini hanyalah kopi hitam dengan sepotong mentega di atasnya, tak ada candu.
Tan Mui Kim (73), generasi kedua yang mengelola kedai itu, menjelaskan, kopi mentega ini ia namakan kopi opium terinspirasi dari kisah para pengisap opium masa lampau yang sering memesan kopi tersebut.
Warga keturuan China masa lampau mengisap opium di sela-sela pekerjaan berat mereka sebagai buruh. Namun, mengisap opium membuat tenggorokan menjadi kering. ”Mereka perlu minum kopi mentega ini untuk melegakan tenggorokan,” ujarnya.
Kuching Waterfront
Berjalan-jalan menyusuri tepian Sungai Sarawak di Kuching Waterfront bisa jadi pilihan untuk melepas penat. Lokasinya beberapa menit saja berjalan kaki dari kawasan pecinan Kuching Old Bazaar.
Di lokasi ini, pengunjung bisa menikmati pemandangan indah sungai dan lalu lintas kapal dan perahu serta bangunan di sekitarnya, baik yang modern maupun klasik. Ada baiknya berkunjung sore hari saat cahaya matahari tidak begitu menyengat.
Gedung Dewan Undangan Negeri Sarawak (DUNS) berdiri dengan megah dan indah dengan atap berkelir emas di seberang sungai. Pemandangan gedung itu semakin cantik tatkala di sebelahnya berkibar bendera Sarawak di atas tiang setinggi 99 meter yang diluncurkan awal 2024 di kawasan yang dinamakan Dataran Ibu Pertiwi.
Selain itu, dari kejauhan, terlihat pula bangunan klasik dan cantik Astana (istana/rumah dinas Yang di-Pertua Negeri Sarawak) dan Benteng Margherita, yang dilengkapi taman asri di sekitarnya.
Baca juga: Bertualang di Gurun Dubai
Keindahan Jembatan Darul Hana, yang dibuka tahun 2017, pun menjadi daya tarik. Tidak hanya indah dipandang, jembatan megah berbentuk S ini ramai dikunjungi, baik untuk menikmati pemandangan sekitar maupun untuk mengakses lokasi gedung DPR, Dataran Ibu Pertiwi, dan Benteng Margherita.
Benteng Margherita dibangun oleh Dinasti Brooke pada 1879 untuk melindungi Kuching dari serangan bajak laut. Benteng ini dinamakan berdasarkan nama Margaret Alice, istri Raja Putih Kedua Sarawak Charles Anthony Johnson Brooke.
Gedung itu dikelola oleh keturunan keluarga Brooke. Benteng sekarang berfungsi sebagai museum yang berisi galeri peninggalan dan informasi seputar Dinasti Brooke. Selain kunjungan ke museum, wisatawan bisa pula berjalan-jalan di taman benteng dan Dataran Ibu Pertiwi untuk mengamati pemandangan pusat kota Kuching.
Jika penat menyeberang jembatan, pengunjung bisa pergi dan kembali menumpang perahu tambang. Perahu tradisional dengan atap bermotif etnik Dayak ini merupakan transportasi umum warga dan wisatawan untuk menyeberangi Sungai Sarawak.
Pemandangan senja yang menakjubkan di Sungai Sarawak adalah momen yang tak boleh dilewatkan. Salah satu cara menikmatinya adalah mengarungi sungai dengan Kuching Royal Cruise. Dari dek atas kapal, penumpang dapat menyaksikan momen matahari terbenam.
Tur dengan kapal bertingkat itu berlangsung sekitar 1,5 jam hingga pukul 19.00. Puluhan penumpang dibawa ke arah hilir dan hulu sungai dari titik keberangkatan di dermaga Kuching Waterfront.
Selain Astana, Gedung DUNS, Benteng Margherita, Dataran Ibu Pertiwi, dan Jembatan Darul Hana, penumpang dapat pula menyaksikan bangunan ikonik atau bersejarah lain, seperti Brooke Dockyard, Masjid Pink, dan Masjid India Kuching.
Selama pelayaran, penumpang disuguhi tarian-tarian tradisional Dayak dan permainan musik sape yang menghibur, selain segelas sirup jeruk dan sepotong kecil kek lapis.
Suasana malam hari di Kuching Waterfront tak kalah menarik. Gedung DUNS, Jembatan Darul Hana, dan tiang bendera Ibu Pertiwi akan diterangi lampu-lampu sehingga menciptakan pemandangan yang menawan. Momen itu semakin sempurna dinikmati sembari menyantap segelas es krim gula apong.
Begitulah sepintas perjalanan di kota Kuching yang berhasil memadukan warisan masa lalu dan peradaban masa sekarang.