Ironi Petani Kalteng, Sudah Jatuh Tertimbun Beras
Harga gabah di Kalimantan Tengah anjlok meskipun panen raya berjalan dengan baik dan hasilnya memuaskan.
Tahun ini, seharusnya petani padi di Kalimantan Tengah mendapat berkah melimpah. Panen raya berjalan dengan baik. Hasilnya pun memuaskan. Keuntungan bisa berkali lipat karena terjadi sesaat sebelum Ramadhan. Sayangnya, harga gabah justru anjlok di tengah mahalnya harga beras.
Herianto (48), petani Desa Belanti Siam, 150 kilometer dari Palangkaraya, seperti mewakili perjuangan keras petani di Kalimantan Tengah. Kulitnya gelap. Puluhan tahun, sinar matahari di Pulau Borneo menyengatnya. Urat-urat tangannya yang menonjol memperlihatkan kerja berat yang ia kerjakan sepanjang hidupnya.
Tahun ini, sepak terjangnya seharusnya tidak sia-sia. Senin (8/4/2024), misalnya, ia kembali mengucap syukur.
Sore itu, Herianto mengendarai motor menuju Balai Desa Belanti Siam, Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng, untuk berbuka puasa bersama para petani lainnya. Setelah berbuka, semua berencana tarawih bersama.
Saat melihat sawahnya yang berisi jerami pascapanen berserakan di sana sini, Herianto menghentikan motornya. Dalam hati, ia berbisik mengucap syukur. Ia bahkan sujud syukur di pematang sawah atas hasil panen yang diberikan tahun ini.
Baca juga: Harga Beras di Kalteng Diprediksi Turun Saat Panen Raya Pertengahan Maret-April
Herianto tidak berlebihan. Sawah seluas 2 hektar miliknya itu mampu menghasilkan lebih kurang 10 ton gabah kering giling (GKG). Dari setiap hektarnya ia bisa mendapatkan 4 ton lebih GKG. Hasil itu hampir dua kali lipat panen normalnya selama ini.
Sampai di balai desa, sukacita tidak hanya milik Herianto. Petani-petani sesama anggota kelompok Tani Sido Mekar juga merasakan kegembiraan yang sama.
Semuanya punya cerita sukses panen yang luar biasa. Ada yang menghasilkan 5 ton per hektar, ada yang 5,5 ton per hektar, bahkan ada sawah yang dikunjungi para pejabat daerah untuk menjadi penanda kesuksesan mereka. Panen raya itu dihadiri Wakil Gubernur Kalteng Edy Pratowo, Senin (1/4/2024).
Akan tetapi, senyuman itu tidak benar-benar merekah. Hasil panen melimpah tidak sejalan dengan harga memuaskan. ”Sebenarnya kasihan petani, pas panen lagi bagus gini harga gabah malah anjlok,” ujar Herianto.
Harga gabah anjlok, bahkan dua kali. Pada pertengahan Maret, harga gabah kering turun dari Rp 8.500 per kilogram menjadi Rp 7.200 per kg. Kini, harga gabah tersungkur ke harga Rp 5.500 per kg.
Sudah mendekati Lebaran, lanjut Herianto, harga gabah itu tak kunjung merangkak naik. Bagi Herianto, hasil panen yang baik itu saja sudah cukup untuk menambah kegembiraan Ramadhan.
Ia tak pernah merayakan Ramadhan dengan berlebihan. Baginya, berkumpul di rumah di Belanti Siam bersama istri dan anak-anaknya sudah cukup.
”Meski harga anjlok, gabahnya, ya, tetap saya jual, mau gak mau. Berapa saja harganya, itu untuk kebutuhan hidup, sekolah, dan lain-lain,” kata Herianto.
Kalau belum rugi dan gagal panen, itu belum petani Indonesia.
Pujiaman dari Kelompok Sido Mekar juga demikian. Ia tak marah, apalagi mengeluh, saat harga gabah anjlok. Ia bahkan sudah bosan dengan keadaan itu. ”Pasti harganya enggak pernah stabil,” ujarnya.
Pujiaman bahkan mengatakan, ”Kalau belum rugi dan gagal panen, itu belum petani Indonesia.” Ironi di negeri agraris.
Bukan tanpa alasan, hasil tahun ini jauh lebih baik dari tiga atau empat tahun lalu saat program food estate awal-awal berlangsung. Herianto, misalnya, dari sawah 2 hektar pada 2021 hanya dihasilkan 2,8 ton.
Pujiaman juga demikian. Mereka gigit jari. Sudah gagal panen, kerugian juga tak bisa diganti negara lantaran syaratnya harus gagal total. Utang pun bertambah.
Ada Ramelan dari Kelompok Tani Karya Bakti yang saat ini gagal total. Setidaknya lahan 7 hektar tak menghasilkan sebutir beras pun saat itu. (Kompas, 5 April 2021).
Dengan pengalaman itu, harga gabah yang anjlok hanya membuat mereka menelan ludah dalam diam. Mereka pasrah saja.
Merugi
Baik Herianto maupun Pujiaman tak marah dengan kondisi itu. Mereka Ikhlas. Mereka hanya belum merasakan keadilan.
Tahun ini begitu sempurna dari sisi cuaca, menurut Herianto, masa tanam dan masa panen tak lewat dari masa Okmar (Oktober-Maret). Benih pun sudah mereka pilih dan pilah yang terbaik, yakni Inpari-42. Hasilnya pun luar biasa.
Dengan harga yang anjlok itu, kerugian tidak bisa dihindari. Apalagi, selama proses menanam padi, Herianto dan Pujiaman tidak mendapatkan jatah pupuk bersubsidi.
Baca juga: Sebagian Petani ”Food Estate” di Kalteng Gagal Panen
Mereka kehabisan, paling tidak itu alasan pemerintah daerah jika ditanya mengapa jatah pupuk bersubsidi nyaris tak pernah mencukupi kebutuhan petani di desa penghasil padi di Kalteng itu.
Para petani yang tidak kebagian harus mengeluarkan uang Rp 340.000 per 100 kg pupuk. Sementara untuk 1 hektar lahan ia membutuhkan 4-6 kali pemupukan dengan total 5-6 karung pupuk berukuran 100 kg tersebut. Ia menghabiskan Rp 10 juta hanya untuk pupuk, itu belum termasuk biaya lainnya.
”Obat-obatan, sewa alat untuk panen. Rokok sama makan enggak usah dihitung aja,” kata Herianto.
Herianto dan Pujiaman bahkan harus meminjam uang di bank untuk bisa menanam padi dan menyiapkan lahan, juga untuk membeli pupuk, obat-obatan, dan benih padi yang ia inginkan. ”Semoga bisa untuk nyaur utang dan nabung kuliah anak,” ungkap Pujiaman.
Ironisnya, saat harga gabah anjlok, harga beras justru mahal. Di Pulang Pisau sendiri beras dengan jenama Pangkoh dijual Rp 18.000 per liter dari yang sebelumnya Rp 13.000 per liter.
Lalu, jenama Mayang Super dengan harga Rp 22.000 per liter lalu naik pada awal Februari menjadi Rp 25.000 per liter sampai saat ini.
”Kok bisa, ya?” tanya Pujiaman bingung.
Baca juga: Beras di Lumbung Pangan Sumbang Inflasi Kalteng
Selama menjadi petani, baik Pujiaman maupun Herianto sudah biasa menjual padi mereka ke tengkulak asal Banjarmasin, Kalimantan Tengah. Apalagi, dari desa itu ke Banjarmasin hanya berjarak dua jam, kurang lebih sama waktu yang ditempuh ke Palangkaraya.
Bukan jarak yang jadi alasan mereka menjual ke tengkulak Banjarmasin, melainkan harga. Hanya tengkulak yang mau membeli dengan harga tinggi. Bulog nyaris tak pernah mampu membeli gabah mereka dengan harga yang diinginkan petani.
”Harga yang diinginkan petani itu Rp 8.500, itu baru dapat untung sedikit. Keinginan petani itu, kan, dihitung sama kebutuhannya, bukan asal nyebut,” ungkap Herianto.
Ditambah lagi, petani juga kerap ijon dengan tengkulak sehingga tak bisa menjual ke pihak lain. Desa Belanti Siam memang jadi rebutan tengkulak, bukan hanya karena kualitasnya dan rasanya yang enak, tetapi petani juga selalu mampu memenuhi kebutuhan dan permintaan tengkulak. Karena itu, Belanti Siam menjadi desa percontohan Food Estate pada tahun 2020.
Pabrik beras
Menanggapi keluhan petani soal harga gabah yang anjlok, pemerintah meresponsnya dengan rencana jangka panjang, yakni membangun unit penggilingan padi modern atau rice milling unit (RMU) dan rice to rice (RTR) di Desa Pantik, Kecamatan Pandih Batu, Kabupaten Pulang Pisau.
Peletakan batu pertamanya dilakukan pada Rabu (3/4/2024). Hadir dalam acara itu Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Andi Nur Alamsyah.
Wakil Gubernur Kaleng Edy Pratowo menjelaskan, tak hanya di Pulang Pisau, pabrik serupa juga dibangun di Kabupaten Kotawaringin Timur. Kedua infrastruktur pertanian itu berfungsi sebagai pabrik atau tempat produksi pengolahan gabah dan beras asalan menjadi beras medium dan premium.
”Insya Allah, pabrik beras Kalimantan Tengah ini menjadi cikal bakal food station atau sentra pangan sehingga nantinya dapat bersaing dengan produk beras dari luar Kalimantan Tengah,” kata Edy.
Keterpurukan petani yang berulang menunjukkan solusi yang ada selama ini tidak ampuh menyelesaikan masalah. Ujungnya, petani terus merugi dan menjadi bukti ketahanan pangan masih saja jadi persoalan di negeri ini.
Baca juga: Setelah ”Food Estate” Singkong, Kini Jagung Ditanam di Kalteng