Mudik Gratis, Balik Kembang Kempis
Setelah menikmati program mudik gratis, sejumlah warga kembang kempis karena tak dapat program balik gratis.
Bertemu sanak famili, menikmati suasana kampung, dan hiatus dari sumpeknya kota adalah berkah yang didapat sejumlah warga berkat program mudik gratis. Namun, beberapa dari mereka “kedodoran” saat ingin kembali ke perantauan. Balik gratis tak dapat, ongkos sosial habis disikat.
Hal itu yang dialami Anis Julaicha (39), pemudik di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Semula, ia ikut program mudik gratis dari salah satu perusahaan otomotif. Pada 5 April 2024, Anis bersama suami dan dua anaknya berangkat dari Bekasi menuju Brebes.
Baca juga: Reinterpretasi Keluarga dari ”Dua Hati Biru”
Program mudik gratis ini bikin ia dan keluarganya keranjingan. Sebab, perusahaan otomotif itu memberi bingkisan baju kaus, makanan, dan fasilitas kendaraan yang prima. Suspensi bus nyaman, pendingin udara pas, ruang duduk luas, dan selimut untuk tidur pulas. Bahkan, setiap pemudik diberi uang saku Rp 250.000.
“Total, keluarga saya dapat Rp 1 juta,” kata Anis melalui telepon, Sabtu (13/4/2024).
Setelah menikmati liburan dan Lebaran di kampung halaman, Anis dan keluarga belum sempat menyiapkan cara mereka akan kembali ke perantauan. Sebab, program mudik gratis perusahaan otomotif yang keluarganya ikuti tak menyediakan program balik gratis.
Sementara ini menunggu tiketnya murah. Tau sendiri kalau pulang kampung, entek-entekan (habis-habisan mengeluarkan uang)
Semula, ia berpikir untuk mencari program balik gratis dari kampung halamannya. Dalam beberapa hari belakangan, ia memang rutin membuka Facebook dan mencari informasi di grup Mudik Gratis 2024. Namun, selama itu pula ia tak mendapat informasi mengenai slot balik gratis.
Ia memang menemukan beberapa program balik gratis, tetapi titik keberangkatan tak ada yang dari kampung halamannya di Bumiayu, Kabupaten Brebes. Semua di luar kabupaten, seperti di Banyumas dan Kebumen yang berjarak 40 kilometer sampai 70 kilometer dari kampung halamannya.
Baca juga: Dari Nasi Bungkus hingga Snorkeling Laris Manis di Gili Trawangan
Ia pun mengecek tiket bus Bumiayu-Bekasi. Tiket yang semula Rp 170.000 per orang di hari biasa, saat arus balik Lebaran ini melonjak menjadi Rp 380.000-Rp 400.000 per orang. Untuk empat orang anggota keluarganya, setidaknya ia mesti menyiapkan Rp 1,5 juta untuk ongkos balik.
Jika dibanding uang saku yang ia dapat dari mudik gratis, setidaknya ia harus “nombok” Rp 500.000 untuk ongkos balik ke Bekasi.
“Sementara ini menunggu tiketnya murah. Tau sendiri kalau pulang kampung, entek-entekan (habis-habisan mengeluarkan uang),” kata dia terbahak.
Anis punya target balik ke Bekasi sebelum anaknya masuk sekolah pada 22 April 2024. Untuk itu, ia masih mencari informasi tiket bus yang lebih terjangkau. Hal itu mesti ia lakukan agar ada uang simpanan saat kembali ke Bekasi.
Sebab, pada mudik kali ini, ia sudah keluar uang banyak untuk liburan di kampung halaman, membagi “salam tempel” kepada kemenakan, membeli kebutuhan makanan Lebaran, hingga memberi uang kepada orangtua.
Pinjam uang orangtua
Kisah serupa diceritakan Irwan Tri Hartanto (26) yang mudik ke Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Sebelumnya, ia mendapat kesempatan mudik gratis bersama Keluarga Besar Brimob. Kebetulan kerabatnya yang merupakan petugas kebersihan mendapat jatah mudik gratis di sana dan mengajaknya.
Tanggal 6 April 2024, ia berangkat naik bus dari Depok bersama ratusan pemudik lainnya menuju Surakarta. Sesampai di sana, ia melanjutkan perjalanan dengan bus antarkota ke Sragen dengan tarif Rp 30.000.
Baca juga: Saling Jaga Jakarta Saat Ditinggal Mudik
Kesempatan mudik gratis itu ia syukuri di tengah kebutuhan hidup yang meningkat di perantauan. Kesempatan mudik, bagi Irwan, adalah momen berharga untuk menjenguk ibundanya yang tinggal seorang diri di kampung halaman.
Namun, setelah Lebaran usai, ia baru sadar belum mendaftar balik gratis. Keluarga Besar Brimob sudah memulangkan pemudik beberapa hari yang lewat. Ia juga sudah mencoba mendaftar program balik gratis Pemprov Jateng, tetapi telat.
Di sisi lain, jatah libur dari kantornya sudah habis. Irwan sebenarnya ingin segera kembali dengan biaya pribadi, tetapi tabungan Irwan sudah terkikis untuk membantu ibu dan kerabat di kampung.
Sementara itu, harga tiket bus melambung. Di hari biasa, harganya Rp 250.000 per orang. Kini, tiket bus Sragen-Jakarta Rp 400.000 per orang.
“Kalau enggak dapat (balik gratis), terpaksa nanti pinjam uang orangtua. Mau ke siapa lagi?” kata pria yang bekerja sebagai sales penyedia layanan internet itu.
Rajin mengulik informasi
Sebenarnya program mudik dan balik gratis banyak disediakan oleh pemerintah, perusahaan swasta, hingga badan usaha milik negara. Beberapa instansi membuka pendaftaran dengan aplikasi. Bermodal sedikit ketekunan, sejumlah warga yang tak akrab dengan aplikasi akhirnya berhasil mendapat tiket mudik dan balik gratis.
Feri Nur Indriyanto (31), misalnya, sempat frustrasi karena gagal mendaftar mudik gratis yang disediakan Kementerian Perhubungan. Namun, ia membaca sejumlah berita di situs terpercaya dan mencari informasi di media sosial.
Dari sana, ia jadi tahu istilah ticket war. Artinya, ia hanya perlu mencoba daftar berkali-kali di masa pendaftaran mudik gratis. Sebab, kegagalan mendaftar adalah keniscayaan di kala banyak orang yang juga mengakses aplikasi MitraDarat Kemenhub.
Setelah mencoba berulang-ulang, Feri berhasil mendapat tiket mudik gratis di hari ketiga untuk ia, istri, dan anaknya. Setelah membaca berbagai berita dan informasi di situs resmi Kemenhub, ia jadi tahu bahwa ada juga program balik gratis.
Berdasarkan publikasi Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub, bagi warga yang akan mengikuti mudik-balik (pergi-pulang), pendaftaran balik gratis dilakukan secara bersamaan pada saat mendaftar arus mudik.
Asal kota balik harus sama dengan kota tujuan mudik yang dipilih. Program mudik gratis 2024 Kementerian Perhubungan tidak melayani pendaftaran hanya untuk arus balik.
Baca juga: GPS Pesawat Tiba-Tiba Hilang, Kisah Menegangkan TNI AU Kirim Bantuan ke Jalur Gaza
“Setelah tahu itu, saya langsung daftar untuk balik gratis. Alhamdulillah dapat juga,” kata dia.
Kegigihan Feri dalam memburu mudik dan balik gratis itu didasari oleh kemampuan ekonominya yang terbatas. Sudah tujuh tahun merantau, ia belum bisa mudik sama sekali.
Bagi Feri yang seorang pedagang kopi keliling, tiket bus untuk mudik dan balik di masa Lebaran sangat tak masuk akal, yakni Rp 450.000 per orang. Untuk itu, ia tak ingin menyiakan kesempatan mudik dan balik gratis itu.
“Kalau enggak punya duit, harus rutin mantengin dan utak-atik hape buat daftar mudik dan balik gratis,” katanya tertawa.
Baca juga: Balik ke Jakarta atau menetap di Kampung Halaman?
Polemik mudik dan rantau
Lika-liku perantau di Jakarta dan wilayah aglomerasinya memang merupakan persoalan yang pelik. Kebingungan para pemudik mencari moda untuk kembali ke tanah rantau bisa jadi akibat tak terpusatnya mudik gratis di satu pintu. Hal ini juga membuat tak adanya standar pelayanan mudik gratis.
Di sisi lain, Peneliti Sosiologi Perkotaan Badan Riset dan Inovasi Nasional Rusydan Fathy melihat fenomena ini muncul seiring kapitalisme dalam masyarakat modern. Mudik yang semula tindakan sosial dan tradisi, dalam banyak hal, bergeser.
Banyak orang, kata Rusydan, akhirnya ingin terlihat sukses di perantauan saat mudik. Hal itu dilakukan, misalnya, dengan menunjukkan penanda sosial, seperti membagi amplop saat mudik. Itu tak sepenuhnya menjadi kesalahan para pemudik itu. Mereka bisa saja dipaksa keadaan.
“Pemaksaan kondisi itu justru difasilitasi di era modern saat ini, misalnya mudahnya ambil kredit mobil atau pinjol (pinjaman online). Sistem kapitalisme modern mendukung dan menumbuhkan perilaku konsumtif masyarakat,” kata dia.
Padahal, menurut dia, salam tempel untuk keluarga dan kerabat sebenarnya punya nilai guna yang esensial secara sosial. Itu sejatinya bisa membantu keluarga yang membutuhkan atau memberi semangat kepada anak-anak untuk menjalankan ibadah puasa.
Di sisi lain, fenomena itu menyiratkan Jabodetabek masih menjadi magnet untuk meningkatkan taraf ekonomi orang-orang dari luar daerah. Mereka merantau untuk turut mencoba peruntungan supaya sukses secara karier dan ekonomi seperti saudara atau tetangga di kampung yang sudah merantau lebih dulu.
Hal itu juga didukung Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik 2022 bahwa 20 persen rumah tangga paling sejahtera di kota-kota besar adalah keluarga perantau (Kompas.id, 13 April 2024).
Selain itu, banyaknya perantau ke Jabodetabek juga menyiratkan belum adanya pemerataan kesempatan kerja di berbagai daerah. Akibatnya, jutaan orang perlu merantau untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik, alih-alih bekerja di sekitar kampung halamannya sendiri.
Fenomena “kedodoran” usai Lebaran itu juga bisa jadi akibat orang ingin terlihat sukses di perantauan, meskipun sebenarnya hidup pas-pasan. Padahal, banyaknya kesempatan kerja di Ibu Kota tak menjamin kehidupan lebih baik lantaran tak adanya jaminan apa pun dari pemerintah dan pemberi kerja.
Baca juga: Tergiur Melihat Kilau Sukses Perantau, Mendominasi 20 Persen Keluarga Terkaya di Jabodetabek