Uang ”Sirih Pinang” Pilkada di NTT, Peluang bagi Warga atau Jerat Jahat Korupsi Politik?
Politik uang dalam Pilkada 2024 di NTT diprediksi tetap terjadi. Pengalaman Pilpres dan Pileg menjadi tolok ukuran.
Sekalipun politik uang dilarang, tetapi praktik itu menjadi cara termudah meraih kekuasaan. Di Nusa Tenggara Timur, ada istilah khusus soal politik uang itu, yakni uang sirih pinang. Ironisnya, masyarakat sudah telanjur terbiasa dengan ”uang sirih pinang” sehingga sebagian dari mereka justru menunggu pembagian uang tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Bagi sebagian masyarakat NTT, hadirnya uang sirih pinang itu dianggap rezeki yang ditunggu untuk meringankan beban ekonomi keluarga. Terlebih lagi, saat ini harga berbagai bahan kebutuhan pokok yang mencekik. Situasi ini ironis, tetapi menjadi tak terhindarkan selama praktik politik uang itu terus berkelindan dalam momen pemilihan umum (pemilu) ataupun pilkada.
Situasi itu seperti diakui Martha Lobo (54) dan Agustina Mangu (55), keduanya adalah pedagang sayur di Pasar Penfui, Kota Kupang, NTT, Senin (8/4/2024). Sembari menunggu pembeli ke lapaknya, mereka menceritakan uang pinang sirih yang mereka terima saat pilpres dan pileg, 14 Februari 2024.
Bagi pedagang kecil dan ibu rumah tangga, uang sirih pinang itu cukup membantu meringankan beban hidup keluarga. Mereka pun berharap pada pilkada 27 November 2024, pembagian uang dari pasangan calon bupati-wakil bupati dan wali kota-wakil wali kota dapat mereka peroleh lagi.
“Zaman sekarang apa yang gratis. Mereka yang jadi gubernur, bupati, wali kota itu, kan, nanti juga korupsi. Sekarang, mereka beri Rp 200.000 ke kita, nanti ambilnya miliaran, bahkan triliunan, rupiah dari uang rakyat. Bohong kalau mereka bilang tidak korupsi. Namanya penguasa, keluarkan atau tidak keluarkan uang untuk pilkada, tetap korupsi. Mereka pemilik uang, makanya banyak orang berebut jadi penguasa,” kata Martha.
Martha yang lulusan diploma tiga manajemenekonomi pembangunan ini mengatakan, korupsi dilarang undang-undang, tetapi juga sudah menjadi “gaya hidup”. Aparat penegak hukum sulit mendeteksi perbuatan itu.
Kalaupun tindakan itu dapat diungkap, kerap kali pelakunya dapat bebas dengan alasan tanpa bukti cukup. Beberapa dari koruptor hanya dihukum ringan, dan masih mendapat potongan hukum setiap hari besar keagamaan.
Baca juga: Pedagang di Pasar Tradisional Kota Kupang Siasati Harga Bahan Pokok
Sementara itu, hidup cukup berat harus dihadapi oleh kebanyakan masyarakat NTT. Martha mengatakan, keuntungan dari jualan sayur dan bumbu dapur rata-rata Rp 100.000 per hari.
Dalam kunjungan ke Pasar Penfui, Maret 2022, sayuran Martha pernah dibeli oleh Presiden Joko Widodo. Ada staf Presiden Jokowi yang membagi-bagi sembako kepada para pedagang, termasuk Martha. Apa yang dilakukan Presiden Jokowi selama kunjungan ke pasar-pasar di Kota Kupang seakan mengikat hubungan emosional yang kuat dengan masyarakat.
“Awalnya, kami tidak percaya bahwa Jokowi akan mendorong anaknya menjadi wakil presiden, ternyata itu serius dilakukan. Saya pilih anaknya dalam pilpres kemarin, tetapi kemudian menyesal dan kecewa, setelah semua harga barang naik pasca-pilpres dan pileg,” kata Martha.
Sambil memerciki sayurannya dengan air agar tidak layu, Martha mengatakan tidak akan memberikan suara cuma-cuma dalam pemilihan gubernur-wakil gubernur NTT dan wali kota-wakil wali kota Kupang, 27 November 2024. Tidak ada calon yang tidak memiliki uang ketika berniat menjadi penguasa. Jika hanya memiliki modal nekat, sangat mustahil. Partai politik pendukung pun tidak mungkin mendukung bakal calon yang tidak memberi mahar politik.
Mahar parpol bagi setiap bakal calon minimal Rp 500 juta, dan maksimal Rp 2 miliar per parpol. Saat ini, lebih dari 20 bakal calon ingin maju menjadi kepala daerah, baik gubernur, bupati, maupun wali kota. Namun, pada akhirnya hanya 3-5 pasangan mendaftar. Mereka ini pemilik uang, atau didukung penguasa dan elite politik penguasa uang.
“Calon itu, tentu bayar elite politik dan parpol yang sudah banyak uanguntuk mendaftar. Kenapa masyarakat miskin yang memilih mereka langsung tidak dibayar. Kalau saya tidak dibayar, tidak ikut memilih, atau memilih tetapi surat suara itu sengaja saya rusakkan. Kalau calon itu mau meraih kemenangan, harus menguntungkan rakyat juga,” katanya.
Baca juga: Harga Beras dan Bumbu Dapur di Kota Kupang Merangkak Naik
Menjelang Pilkada 2024, harga berbagai bahan kebutuhan pokok berpotensi naik. Saat ini, misalnya, harga beras paling murah Rp 15.500 per kg. Apalagi saat puncak kemarau, yakni pada Agustus-September, harga beras berpotensi naik lagi sampai akhir tahun.
Agustina Mangu (55) menambahkan, pilkada tahun ini menjadi kesempatan memilih pemimpin yang bisa memberi uang sirih pinang. Pemilihan kepala desa saja, sang calon kades bisa memberi uang sirih pinang, apalagi gubernur, bupati atau wali kota.
“Kalau cuma beri Rp 50.000-Rp 100.000 per orang, sebaiknya tidak usah maju. Tetapi punya uang banyak, mampu membayar minimal Rp 500.000, setimpal 20 kg beras, itukami satu keluarga perhitungkan. Tetapi kalau ada calon yang membayar lebih dari itu, lebih bagus lagi,” kata perempuan Timor ini.
Ibu lima anak ini mengatakan, meski mengeluarkan uang bagi pemilih, tetapi setelah terpilih, orang itu akan mendapatkan keuntungan jauh lebih besar, dari yang dikeluarkan saat pemilu. Sudah terbukti. Sejak pemilu langsung oleh rakyat, meski mengeluarkan uang membayar rakyat, seusai masa jabatan, gubernur, bupati dan wali kota tetap punya uang jauh lebih banyak dibandingkan yang dimiliki sebelum jadi penguasa.
Mereka bisa membeli rumah mewah di daerah asal dan di kota-kota besar, memiliki aset tanah beberapa bidang, dan sejumlah kendaraan mewah. Tidak ada pejabat yang menjadi miskin setelah selesai berkuasa.Sementara hasil karya mereka selama berkuasa pun tidak ada perubahan mencolok.Bahkan ada cukup banyak pejabat masuk penjara setelah selesai berkuasa.
Baca juga : Harga Bahan Pokok di Kupang Relatif Stabil
Di sisi lain, daya beli masyarakat sudah jauh terpuruk sejak pandemi Covid-19. Saat ini, kondisi itu pun belum sepenuhnya membaik. Apalagi, sebagian besar petani NTT saat ini mengalami gagal panen karena El Nino.
Untuk mengatasi hal itu, pemerintah mengandalkan bantuan sosial (bansos). Namun, hal itu belum menjawab persoalan di lapangan. Bansos berupa beras, dan uang tunai hanya membuat masyarakat miskin terus berharap dari bantuan pemerintah. Di sisi lain, pemerintah menilai bansos sebagai stimulan bagi masyarakat membangun kemandirian hidup.
“Bukan bansos yang kami minta tetapi berdayakan kami. Anak-anak yang lulus sarjana dan sekolah menengah diberikan pekerjaan, entah dengan cara apa pun. Kalau anak-anak sudah bekerja, orangtua juga senang. Mereka bisa mandiri dengan penghasilan sendiri, tidak bergantung dari orangtua. Tentu juga tidak bergantung dari bansos pemerintah,” kata Agustina.
Pengamat politik Universitas Nusa Cendana Kupang, John Tuba Helan, mengatakan, jika masyarakat menuntut bayaran saat memberikan suara dalam pilkada, hal bisa dimaklumi. Praktik politik uang dalam Pilpres dan Pileg 14 Februari 2024 sangat kentara atau terang-terangan dibandingkan pilkada atau pemilu sebelumnya.
Menurut John, politik uang terbukti memenangkan calon presiden atau calon anggota legislatif. Tidak hanya politik uang, tetapi juga kolusi dan nepotisme. Pilpres dan pileg selama ini dijadikan patokan, baik oleh masyarakat atau konstituen yang ingin mendapatkan keuntungan maupun oleh calon kepala daerah yang ingin meraih kemenangan.
Baca juga : Pemprov NTT Anggarkan Rp 1,1 Triliun untuk Pilkada November 2024
Terkait hasil Pemilu 2024, saat ini semua pihak menunggu putusan Mahkamah Konstitusi. Putusan MK menjadi batu penjuru yang menentukan apakah yang terjadi pada Pemilu 2024 itu dapat dibenarkan atau tidak.
Jika MK menilai tidak ada yang keliru dalam praktek Pemilu 2024, menurut John, partai politik pendukung capres-cawapres pemenang pemilu bakal menerapkan strategi serupa dalam pilpres kemarin untuk memenangkan kepala daerah yang mereka dukung.
Soal pemilihan kepala daerah ini, John lebih sependapat jika dikembalikan ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Bukan lagi melalui pemilihan langsung oleh rakyat. Dengan demikian, calon bersangkutan tidak mengeluarkan biaya besar untuk memenangi pemilihan. Kendati demikian, mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada DPRD masih menuai pro dan kontra di tengah masyarakat ataupun politisi.
Ketika para elite dan penguasa terlibat korupsi, itu contoh yang sangat buruk bagi rakyat.
Pemilihan langsung oleh rakyat bisa digelar, lanjut John, jika masyarakat sudah sadar mengenai arti pemilihan langsung yang bersifat adil, jujur, umum, dan transparan itu. “Jika pemilihan kepala daerah oleh DPRD berlangsung sukses, tidak menelan anggaran tinggi, bisa dilanjutkan dengan pemilih presiden dan wakil presiden oleh DPR RI,” katanya.
John mengatakan, pendidikan politik bagi rakyat harus dimulai dari elite politik dan penguasa. Ketika para elitedan penguasa terlibat korupsi, itu contoh yang sangat buruk bagi rakyat. Politik uang tidak mungkin dihindarkan selama elit dan penguasa rajin korupsi. Kini korupsi merambat sampai ketua RT, RW dan kepala desa. Bahkan, sejumlah tokoh agama terlibat, tetapi selalu berbungkus hal-hal rohani.
Kritik akademisi dan mahasiswa sebenarnya bisa mengubah situasi. Belakangan, suara kritis dari kampus pun diabaikan. Bahkan, akademisi dan mahasiswa diadu domba dengan uang dan jabatan. Agaknya dibutuhkan upaya luar biasa untuk mengubah ”budaya” korupsi ini.
Baca juga: Menjaga Tetap Waras, di Tengah Bara Pemilu