Menanti Kehangatan Lebaran di Kampung Bayam
Di tengah sukacita Lebaran di rumah, ada orang-orang dirundung kecemasan kehilangan kampung halaman.
Lebaran, seperti layaknya hari raya keagamaan, identik dengan mudik, yaitu kegiatan pulang ke rumah asal masing-masing. Rumah menjadi pusat perayaan dan kehangatan berkumpul bersama keluarga. Akan tetapi, bagi sebagian orang, rumah itu menjadi konsep yang sukar diraih karena sistem mengakibatkan mereka kehilangan tempat tinggal.
Tiga orang ibu tengah duduk mengerik sisa cat dari ember plastik berukuran 25 liter yang sebelumnya digunakan untuk menampung cat. Memegang sendok di genggaman, ember ini harus bersih dari sisa-sisa kering cairan pewarna dinding karena akan digunakan menyimpan sekaligus menimba air yang diambil dari gorong-gorong di belakang Kampung Susun Bayam (KSB).
Sejak akhir 2023, aliran air diputus oleh pengelola. Hal ini membuat warga yang tinggal di depan kompleks gelanggang olahraga Jakarta International Stadium (JIS) tidak punya banyak pilihan. Air berwarna kuning kecokelatan dengan bau tidak sedap menjadi tumpuan hidup warga empat bulan terakhir. Sumber air buruk, terlihat dari jentik-jentik yang berkerumun di permukaan gorong-gorong.
Baca juga: Jalan Tengah Hunian Kampung Susun Bayam Belum Tercapai
Sumber air tersebut diduga masih terkait dengan saluran pembuangan kotoran dari JIS. Haeriah (53), warga KSB bercerita, kesimpulan ini didasarkan dari pengamatannya. Setiap event skala besar digelar di stadion standar internasional tersebut, bau pesing menyeruak dari gorong-gorong, dan di atasnya kerap terlihat kotoran.
“Petugas di JIS dan satpam juga bilang begitu. Waktu tahu sumbernya dari pembuangan, aduh sedih sekali rasanya,” ujarnya saat ditanya asal air tersebut.
Meski tahu, warga tetap menggunakan air tersebut. Akibatnya, tidak sedikit warga, khususnya anak kecil, menderita gatal-gatal. Selain untuk mandi, air keruh yang direbus juga terkadang dikonsumsi untuk melepas dahaga dan memasak.
Sebelum bisa dipakai, air diendapkan di ember, ataupun galon air, agar kotoran mengendap. Haeriah kerap berharap pada kemurahan alam, karena setiap hujan turun air sedikit terlihat jernih.
Sekitar bulan Februari 2024, sejumlah warga yang tidak tahan pun memutuskan untuk tidak lagi menggunakan air tersebut untuk konsumsi, hanya untuk mencuci pakaian dan mandi. Beban hidup pun bertambah karena harus membeli air galon bersih untuk konsumsi sebesar Rp 7.000 – Rp 10.000 per dua hari sekali.
Pembelian air memberatkan, mengingat mayoritas mereka sudah kehilangan mata pencaharian utamanya, petani. Sebelum JIS datang, masyarakat tergabung dalam Kelompok Tani Kampung Bayam Madani.
Dulu, di lahan tersebut, warga menanam bayam, kacang tanah, kangkung, dan sayuran lainnya. Setiap bulan, sayur yang dipanen dibeli oleh tengkulak lalu dijual ke pasar tradisional di sekitar Jakarta Utara.
Kini, lahan bertani hilang dan warga terpaksa bekerja serabutan. Beberapa beralih profesi menjadi penjual makanan. Ada pula yang menjadi kuli bangunan tidak tetap.
Baca juga: Intimidasi kepada Warga Eks Kampung Bayam Terus Berdatangan
Tahun ini adalah Lebaran kedua warga tanpa hunian yang layak. Pada 2023, warga merayakan lebaran di lantai dasar KSB. Di 2024 ini, kondisi tidak jauh berbeda, bahkan lebih buruk. Kehangatan dan kenyamanan merayakan Lebaran bersama keluarga tidak kunjung dirasakan.
“Lebaran ngumpul dana makan sama teman-teman saja di lantai dasar, yang penting warga tetap solid,” ujar Haeriah.
Sinar temaram
Sebelum pindah ke dalam unit, warga yang terdampak pembangunan JIS ini tinggal di pelataran lantai dasar KSB sejak Maret 2023. Masyarakat terpaksa melakukan hal tersebut karena tidak diberi kejelasan mengenai jadwal mereka bisa menempati unit kampung susun yang dijanjikan pengelola yakni, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan perusahaan plat merah daerah, Jakarta Propertindo (Jakpro).
Pada akhir November 2023, warga yang terkatung-katung memutuskan naik ke lantai 1 KSB. Niat awal hanya ingin melihat-lihat. Namun, saat diperiksa, mereka mendapati keadaan unit tidak dikunci. Pintu kamar pun bisa dibuka leluasa.
Sejak saat itu, warga meninggalkan basement, lalu masuk dan tinggal di dalam unit. Masyarakat sempat menikmati air sesaat, tetapi tidak lama kemudian, aliran dihentikan.
Selain air, listrik juga dipadamkan oleh pengelola. Sinar temaram lampu yang menyala dari bantuan genset menjadi sumber pencahayaan warga. Awal 2024, warga membeli mesin penghasil listrik ini seharga Rp 7 juta.
Genset menyala pukul 20.00 WIB, hingga 7-8 jam ke depan. Genset dibeli dengan kredit. Angsurannya belum lunas hingga kini. Ekonomi yang terbatas membuat warga hanya mampu membayar iuran kredit per bulan seadanya.
Belum lagi, warga harus merogoh saku lebih dalam untuk patungan bensin sebesar Rp 7.000 setiap hari. Ketiadaan listrik juga membuat warga mengandalkan gas untuk memasak beras. Penggunaan gas tabung menjadi lebih boros. Padahal, bila unit dialiri listrik, beras bisa dimasak menggunakan penanak nasi elektrik. Kondisi ini terus mengimpit kehidupan warga.
Bagi Nunung, salah seorang warga, merayakan Lebaran bukan lagi prioritas. Hanya doa yang bisa dipanjatkan, agar air dan listrik kembali mengaliri dan menerangi KSB.
Baca juga: Polemik Tak Kunjung Padam di Kampung Susun Bayam
“Terkadang patungan bensin hanya bisa Rp 2.000 atau Rp 3.000, nanti belinya disesuaikan dengan uang yang terkumpul. Tidak bisa dipaksa juga karena kita saling mengerti keadaan,” ujarnya.
Soal legalitas, mengacu pada Surat Keputusan Nomor 110/UT0000/VIII/2022/0428 yang dikeluarkan Jakpro Agustus 2022 lalu, nama-nama warga yang berhak menempati KSB sudah diatur. Pemilihan nama juga didasarkan berdasarkan rekomendasi dari Surat Wali Kota Nomor e-0176/PU.04.00 tanggal 30 Juni 2022 tentang Daftar Calon Penghuni KSB.
“Kami menolak dikatakan penghuni ilegal karena KSB ini memang dibangun untuk mereka yang terdampak pembangunan JIS,” ucap Nunung.
Intimidasi warga
Di tengah himpitan tersebut, warga juga kerap difitnah dan merasa terintimidasi. Mereka dituduh ilegal karena memasuki unit tanpa izin. Pada pertengahan Desember 2023, Polres Jakarta Utara sempat mendatangi warga untuk tidak menempati unit KSB.
Terbaru pada Selasa (2/4/2024), Ketua Kelompok Tani Kampung Bayam Madani, Furqon, bersama istrinya, dibawa paksa oleh aparat Polres Jakarta Utara. Peristiwa ini terjadi saat warga hendak berbuka puasa bersama di lantai dasar KSB. Kepolisian disebut tidak memiliki surat penangkapan resmi untuk membawa keduanya.
Baca juga: Kelompok Tani Kampung Bayam Madani Protes Penangkapan Furqon
Tindakan kepolisian ini terjadi tepat sehari setelah mediasi yang dilakukan oleh warga bersama dengan Pemprov DKI Jakarta dan Jakpro di kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta Pusat. Dalam pertemuan tersebut, pemerintah dan Jakpro menegaskan, KSB diperuntukkan untuk pekerja JIS, bukan warga.
Koordinator Urban Poor Consortium Gugun Muhammad yang ikut dalam pertemuan menyebut, hal tersebut keliru karena, KSB dibangun untuk warga. Lalu, warga akan dipekerjakan di JIS. Proses pembangunan stadion melibatkan sosialisasi dengan warga. Agar terang benderang, ia meminta pengelola untuk membuka seluruh dokumen rencana pengembangan JIS dan KSB, dari awal hingga akhir, serta alur proses pembangunannya.
“Silakan dilihat rencana pengembangan awalnya. Nama unitnya saja ‘Kampung Susun Bayam’ bukan apartemen atau rumah susun,” ucapnya.
Ramadhan yang risau
Sementara itu, di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, warga menjalani bulan puasa dengan kekhawatiran. Apabila warga Kampung Bayam sudah digusur, warga Rempang tengah terancam digusur. Desa mereka akan diratakan demi memberi ruang Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City.
Rabu (27/3) siang, Ramli (58) batal melaut karena ombak kencang. Tidak menunggu sampai sore kalau-kalau cuaca berubah bersahabat, ia memutuskan pulang. Rumahnya di Kampung Pasir Panjang di pesisir Rempang, salah satu lima kampung tua Melayu yang hendak digusur. Total ada 961 keluarga yang tinggal di kampung-kampung itu.
"Hati rasanya sesak sekali karena kampung ini mau digusur pemerintah," tutur Ramli.
Anak Ramli, Rafi (28) di hari itu dibebaskan dari penjara. Ia ditahan karena berunjuk rasa menentang PSN Rempang Eco City pada September 2023. Demonstrasi berakhir dengan kerusuhan dan Rafi bersama 35 warga pun di bui. Ramli mengatakan, bebasnya putra sulungnya itu memberi ia sedikit kelegaan keluarganya bisa lengkap untuk Lebaran.
Baca juga: Sidang Perdana Kerusuhan Demo Rempang, Hakim Batasi Kehadiran Keluarga Terdakwa
"Saya senang masih bisa merasakan puasa di kampung bersama keluarga dan teman-teman," kata Rafi.
Bagi Ramli dan Rafi, rencana pembangunan PSN Rempang Eco City sangat melukai hati mereka. Warga sudah turun-temurun tinggal di pesisir pulau itu. kampung-kampung tua sudah berdiri bersama sejarah Pulau Rempang.
"Ini bukan soal harta dan rumah. Ini soal marwah mempertahankan kampung dan sejarah leluhur," kata Ramli.
Kini, warga kampung terpecah karena ada yang mendukung PSN Rempang Eco City dan penggusuran. Keajekan sosial retak. Ketegangan ini juga sempat merasuki rumah-rumah ibadah. Ramli terpaksa berjalan kaki 5 kilometer ke masjid di kampung sebelah demi menunaikan shalat Jumat. Pasalnya, masjid di kampung sendiri didominasi jemaah yang berbeda pandangan dengannya.
"Untung bulan puasa ini mendinginkan kepala kami semua. Masjid kembali menjadi tempat bersilaturahmi," katanya.
Bagi Rafi yang telah merasakan dinginnya tembok penjara tetap bersikukuh menentang proyek negara dan relokasi. Tak terbayangkan sedikiti pun di benaknya di masa depan harus merayakan Lebaran bukan di kampung kelahirannya.
Solidaritas antarwarga menjadi api kecil yang dijaga warga agar terus menyala di tengah himpitan hidup. Lebaran tahun ini begitu berat bagi mereka. Semoga tahun depan tidak.