Liburan dalam Pelukan Wisata Alam Kalimantan
Hutan hujan di Taman Nasional Tanjung Puting menawarkan pusat wisata konservasi dan ekowisata yang khas.
Hutan hujan Kalimantan Tengah menanti kunjungan wisatawan saat libur Lebaran tahun ini. Tidak hanya menyimpan kekayaan hayati, tetapi juga ekowisata khas yang tidak ditemukan di daerah lain. Kalau tidak percaya, datang saja ke Taman Nasional Tanjung Puting.
Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP) di Kotawaringin Barat bisa dibilang menjadi rumah besar bagi orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus). Total ada 917 orangutan di kawasan yang luasnya mencapai 415.040 hektar atau hampir lima kali Provinsi DKI Jakarta itu.
Namun, tidak hanya orangutan, masih banyak kekayaan alam yang bisa dilihat dan dikenang oleh siapa saja yang datang.
Dari Kota Palangkaraya, jarak TNTP mencapai 455 kilometer atau setara 10 jam perjalanan darat karena akses jalan yang tidak semuanya mulus. Jika menggunakan bus, ongkosnya Rp 275.000 per orang. Dengan travel, butuh Rp 150.000-Rp 200.000 per orang.
Jika ingin lebih nyaman, pengunjung juga bisa menggunakan pesawat. Dari Jakarta, misalnya, bisa menuju Bandar Udara Iskandar, Pangkalan Bun, Kotawaringin Barat.
Dari Pangkalan Bun, perjalanan dilanjutkan lewat Pelabuhan Kumai untuk naik kapal wisata melintasi Sungai Kumai dan Sungai Sekonyer untuk tiba di TNTP. Dari Jakarta, total lama perjalanan menggunakan pesawat dan kapal selama lima jam.
Khusus kapal, pengunjung biasanya mesti membayar sewa Rp 1,5 juta sampai Rp 2 juta untuk satu kapal. Biaya itu sudah termasuk jasa pemandu. Satu kapal bisa menampung 20-25 orang. Saat ini, ada 96 kapal wisata dan 20 kapal cepat.
Selain itu, pengunjung jangan takut kelaparan. Pada hari biasa, makanan bisa disajikan tiga kali sehari.
Menunya mulai dari Nusantara hingga Eropa. Makanan itu disajikan 80 tenaga memasak terlatih yang tergabung dalam Tourist Cook Association (TCA) Kotawaringin Barat.
Pohon endemis
”Brmmmm...”
Mesin kapal kayu bernama Top Indonesia Tour yang ditumpangi Kompas dinyalakan, Senin (26/2/2024). Dari bibir Laut Jawa, kapal meninggalkan dermaga dan meliuk masuk ke Sungai Sekonyer. Ada patung orangutan yang menyapa layaknya pintu masuk.
Angin sepoi masuk ke ruang-ruang di kapal dengan dinding terbuka. Rimbun dedadunan di kanan kiri sungai menambah syahdu. Siang itu, arus sungai hitam kecoklatan itu jadi khas sungai gambut di Kalimantan, mengalir tenang.
Menjelang sore, mata kian dimanjakan dengan pemandangan dalam perjalanan. Ada bekantan (Nasalis larvatus) yang sibuk mencari buah rasau, yang tumbuh segar di sepanjang sungai.
Buaya muara (Crocodylus porosus) juga ikut berjemur di bawah matahari. Sungai Sekonyer dulunya disebut Sungai Buaya. Pengunjung memang dilarang untuk berenang di sungai ini.
Hingga akhirnya tiga jam kemudian, perahu pun berlabuh, tiba di dermaga pintu masuk kamp Tanjung Harapan, TNTP. Tidak ingin berlama-lama, pemandu wisata atau petugas taman nasional lantas meminta pengunjung untuk segera bersiap masuk ke hutan.
Baca juga: Isam, Dulu Menjarah Kini Menjaga
Penjelajahan di TNTP pun dimulai. Ada jalan setapak sepanjang lebih kurang tiga kilometer yang bakal mengantar mereka menjelajahi lebih dalam.
Di kanan kirinya, berbagai pohon khas hutan hujan seperti menyambut semua yang datang. Hampir pada setiap pohon terdapat papan nama pohon lengkap dengan nama Latin-nya.
Beberapa di antaranya ialah pohon baja atau ulin (Eusideroxylon zwageri), belangeran (Shorea belangeran), nyatoh (Palaquium rostratum), dan gaharu (Aquilaria malaccensis).
Akan tetapi, di sana tidak hanya ada pohon besar. Ada juga kantong semar (Nephentes spp) dan berbagai jenis anggrek hutan Kalimantan dengan bunga-bunganya nan mewah.
”Di sini enaknya enggak hanya wisata, tapi sambil belajar juga,” kata Muhammad Gusti Muhammad Rivqi (22), Selasa (2/4/2024).
Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat desa, ekowisata masih akan terus dipetakan karena masih ada begitu banyak potensinya.
Opera orangutan
Gusti baru pertama kali mengunjungi TNTP. Pemuda asal Pangkalan Bun ini datang mengenakan kaus lengan panjang coklat dan celana jins yang tentunya membuat keringat mengucur deras.
Namun, ada satu tempat yang bisa dipergunakan pengunjung beristirahat sejenak setelah melalui perjalanan beberapa ratus meter di jalan setapak itu. Di tempat itu, panas yang menampar-nampar kulit reda dipeluk angin.
Sekitar 500 meter dari tempat itu, suasana begitu hening. Suara orang batuk pun bisa terdengar begitu menyalak. Terlihat beberapa petugas datang memanggul keranjang rotan penuh buah-buahan, makanan orangutan.
Salah satu petugas itu adalah Amang Deli. Deli tak lagi muda. Keriput di wajah dan tangannya menunjukkan itu. Umurnya sekitar 50 tahun. Namun, ia masih sigap memanggul keranjang buah, memegang tongkat lalu menyusuri hutan.
Tidak hanya fisiknya yang kuat, Amang Deli juga punya keahlian lain. Di satu titik, tiba-tiba dia berteriak, mirip lolongan memecah keheningan.
Baca juga: Tanjung Puting
”Uuuuuuuuuu… Uuuuuuuuu... Uuuuuuuuu...”
Ternyata, begitu cara dia dan rekan-rekannya memanggil orangutan di sekitar. Teriakan itu jadi penanda makanan telah tiba.
Butuh tiga sampai empat kali petugas berteriak demikian sampai akhirnya beberapa orangutan datang. Namun, mereka tak langsung menyantap makanan yang disediakan.
Sebagian dari mereka masih bermain-main di atas pohon. Sebagian lagi sibuk membuat sarang. Ada juga orangutan betina yang masih menggendong anaknya, bergelayut dari ranting ke ranting.
Pemandangan itu membuat turis-turis asing yang sedari tadi duduk tiba tiba melompat berdiri mengambil teropongnya untuk melihat lakon orangutan layaknya nonton opera.
Deli mulai bosan memanggil, lalu duduk. Dari enam orangutan yang datang, hanya satu yang makan. ”Sekarang ini lagi musim buah. Mereka sudah kenyang makan di dalam hutan,” ungkapnya.
Konservasi
Akan tetapi, TNTP tidak hanya orangutan. Ada setidaknya 38 jenis mamalia lain yang menjadi penghuni hutan.
Beberapa spesies mamalia besar yang dapat ditemukan antara lain babi janggut (Sus barbatus), kijang muncak (Muntiacus muntjak), pelanduk kancil (Tragulus javanicus), dan rusa sambar (Cervus unicolor).
Selain itu, TNTP juga menjadi habitat primata yang dilindungi, seperti bekantan, owa kalimantan (Hylobates agilis), dan beruang madu (Helarctos malayanus).
Tidak hanya itu, kawasan ini juga menjadi rumah bagi jenis mamalia air, seperti duyung (Dugong dugong) dan lumba-lumba, yang beberapa kali menampakkan diri di area perairan TNTP dan berhasil terpantau.
Reptil yang menghuni taman nasional ini cukup bervariasi. Beberapa di antaranya adalah labi-labi (Trionyx cartilagineus), buaya sinyulong (Tomistoma schlegeli), dan buaya muara (Crocodylus porosus).
Ada lebih dari 200 jenis burung yang hidup di wilayah TNTP. Bahkan salah satu spesies burung yang menghuni kawasan ini termasuk ke dalam 20 jenis burung langka di dunia, yaitu sandang lawe (Ciconia stormi).
Tidak hanya itu, koloni burung great alba seperti Pecuk ular asia (Anhinga melanogaster), cangak merah (Ardea purpurea), dan kuntul besar (Egretta alba) juga hidup di sini. Mereka dijaga petugas yang biasa disebut ranger, seperti Amang Deli yang sudah belasan tahun mengabdi.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kalteng Adiah Chandra Sari mengungkapkan, potensi ekowisata di Kalteng paling diburu turis mancanegara dan turis lokal. Selain TNTP, masih ada Taman Nasional Sebangau, Desa Tahawa, dan banyak lokasi ekowisata lainnya.
Semua tempat itu, kata Adiah, merupakan wisata yang lahir dari keindahan alam. Untuk itu, dia mengajak semua orang di seluruh Indonesia ataupun dari luar negeri untuk datang ke Kalteng dan menikmati indahnya hutan yang masih dijaga.
”Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat desa, ekowisata masih akan terus dipetakan karena masih ada begitu banyak potensi di daerah,” ungkapnya.
Liburan tidak harus ke tempat yang ramai dengan hiruk pikuk manusia. Ketenangan dipeluk hutan hujan Kalimantan wajib dicoba. Selamat berlibur.
Baca juga: Libur Lebaran, Saatnya Berburu ”Teduh” dengan Ekowisata Kalimantan Tengah