Tidak Ada Beras, Biar Sagu yang Membereskan
Sagu sudah menjadi makanan pokok penduduk Nusantara sejak lama. Saatnya balik melirik sagu untuk pilihan keseharian.
Sagu (Metroxylon sagu) secara tradisional telah menjadi salah satu makanan pokok bangsa Indonesia. Akan tetapi, popularitasnya kini tergeser oleh beras sehingga sagu sekarang lebih dikenal sebagai makanan ringan atau jajanan. Tidak lagi menjadi sumber karbohidrat utama mayoritas masyarakat yang dulu mengonsumsinya secara harian.
Di tengah meningkatnya harga beras, tidak ada salahnya kita menengok kembali keberadaan sagu sebagai salah satu pilihan makanan pokok. Apalagi, sagu sejatinya bukan makanan langka. Berdasarkan tulisan peneliti Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Tajudin Bantacut di jurnal Pangan volume 20, Maret 2011, sagu awam ditemukan di wilayah pesisir dan dataran rendah mulai dari Sumatra hingga Papua.
Baca juga: Diversifikasi Pangan Pengganti Beras
Pangan ini tinggi di karbohidrat, rendah di kalori, serta tidak mengandung gluten sehingga aman dikonsumsi orang-orang dengan diet terbatas, misalnya orang berpenyakit seliak dan orang dengan gangguan spektrum autisma. Sebagai perbandingan, seporsi sagu mengandung 347 kalori, sementara beras dalam porsi yang sama mengandung 360 kalori dan terigu 376 kalori. Selain berupa pati, produk sagu juga bisa diolah menjadi tepung untuk roti dan mi.
Sekarang saya jadi tambah sering makan karena saya diabetes. Dan sagu baik untuk orang seperti saya
Sinonggi
Cara mengolah dan menyantap sagu yang paling umum ialah mencampur patinya dengan air hangat. Setelah itu, diaduk hingga kental dan menjadi seperti bubur yang lengket. Di Sulawesi Tenggara, hidangan sagu ini dikenal dengan nama sinonggi.
Ditemani rintik hujan yang mengguyur Kendari, Sulawesi Tenggara, Kamis (21/3/2024), malam, Salman (42), menunggu pesanan makanannya datang. Bersama rekannya, ia sengaja datang ke salah satu warung yang khusus menjual sinonggi. “Setelah buka puasa, makan sinonggi bisa bikin segar,” ucapnya.
Baca juga: Merdeka dari Krisis Beras di Pedalaman Mentawai
Berselang beberapa waktu, pramusaji datang membawa semangkuk ikan kakap kuah kuning. Selanjutnya adalah ayam kuah tawaoloho atau daun kedondong hutan. Setelah itu, baru datang sinonggi selaku pangan utama. Olahan sagu ini adalah khas dari Suku Tolaki.
Ia meracik masakan di piring. Cabai rawit dipotong kecil-kecil, lalu dicampur ke kuah ikan. Menambah ketebalan rasa, irisan jeruk nipis juga ditambahkan. Setelahnya, ia mengambil sumpit, mengaduk sagu yang kental, memutarnya di udara hingga terpisah dengan kumpulan sagu di mangkok, lalu diletakkan di piring. Begitu teknik mengambil sinonggi.
Saat disantap, rasa sagu yang gurih bercampur dengan asam dan asin dari kuah ikan. Cabai rawit menambah khazanah rasa. Perpaduan rasa ini merayap di lidah, dan lumer hingga tenggorokan. Rasanya sedikit berbeda saat sinonggi bercampur dengan ayam kuah kedondong hutan, yaitu segar.
Baca juga: Yulius Barra’ Pasolon, Profesor Sagu dari Haluoleo
“Kalau makan nasi, saya cepat mengantuk. Tapi kalau sagu, badan terasa lebih segar,” kata Salman.
Mengolah dan memakan sinonggi, telah melekat erat dengan diri Nurlianti (70), pemilik rumah makan sinonggi itu. Bahkan, saat pulang ke Makassar di Sulawesi Selatan, ia mencari makanan ini. Namun, ia kesulitan karena ia belum menemukan rumah makan yang menjual sinonggi.
Siasatnya, ia mencari rumah makan yang menjual kapurung, atau makanan khas dari olahan sagu. Kapurung diolah dengan memasak semua bahan, sayur-sayuran, ikan, dan campuran lainnya ke dalam satu wadah. Ia lalu memesan dengan cara makan sinonggi, yaitu sagunya dipisah.
“Sekarang saya jadi tambah sering makan karena saya diabetes. Dan sagu baik untuk orang seperti saya,” jelasnya.
Baca juga: Ekosistem Sorgum dan Sagu Perlu Dibangun
Papeda
Sementara itu, di Papua, sagu masih menjadi makanan sehari-hari di sejumlah wilayah. Teknik pengolahan pangan ini memungkinkan sagu bisa disimpan untuk jangka waktu cukup lama sehingga menjamin ketahanan pangan warga. Sagu bisa didapat langsung dari kampung-kampung atau di Pasar Sentani, Kabupaten Jayapura. Sari pati sagu dengan kualitas yang baik jika disimpan bisa bertahan 3-6 bulan.
“Kendati saat ini petani sagu dan pangan lokal semakin berkurang, sagu-sagu terbaik masih bisa ditemui di sejumlah kampung, khususnya di sekitar Jayapura. Sebut saja kampung-kampung di sekitar Danau Sentani, seperti Ayapo atau Genyem,” kata Usilina Epa atau Ulin (38), pegiat kuliner Sentani-Papua di Restoran Isasai miliknya, di pinggir Danau Sentani, Kelurahan Waena, Distrik Heram, Kota Jayapura, Kamis (21/3/2024).
Baca juga: Sagu Papua, Harapan Sumber Pangan Lokal
Pembuatan hidangan papeda terbilang cukup sederhana. Mulanya, tepung sagu diencerkan dengan menggunakan air disertai perasan jeruk nipis. Selanjutnya, adonan dipindahkan ke wadah lain dengan disaring untuk memastikan gumpalan sari pati sudah benar-benar hilang. Tandanya ialah teksturnya kenyal dan berwarna bening tanpa ada bintik-bintik putih.
“Perasan jeruk nipis agar lebih segar. Kemudian diaduk hingga encer serta tak terlihat lagi gumpalan pati sagunya. Biasanya proses mengaduknya 1-2 menit saja,” ucap Ulin. Papeda biasanya dihidangkan dengan ikan kuah kuning atau sayur santan ganemo.
Selain itu, ada pula cara penyajian papeda yang berbeda, yaitu dibungkus. Dalam bahasa Sentani disebut finukhu. Adonan papeda panas yang sudah menggumpal kemudian dimasukan ke dalam daun kalatea atau disebut forhofae oleh masyarakat Sentani. Selain forhofae, finukhu juga bisa menggunakan daun pisang.
Finukhu karena dimasukkan ke dalam daun akan turut menciptakan cita-rasa yang lebih lezat dan nikmat. Makanan ini umumnya disajikan dengan ikan goreng atau ikan saos.
“Sejak dulu, sebagai makanan sehari-hari finukhu bisa menjadi bekal saat berkebun, mencari ikan, atau perjalanan jauh karena bisa bertahan 2-3 hari,” tutur Ulin.
Baca juga: Sagu Menanti Penghiliran Industri
Mi
Di Kalimantan Barat, sagu diolah menjadi mi. Menurut para penikmatnya, teksturnya lebih kenyal daripada mi telur. Dari segi bobot juga lebih ringan dibandingkan nasi maupun mi gandum sehingga orang-orang menganggapnya cocok untuk hidangan makan malam setelah berbuka puasa.
Ketika anak-anak sedang tidak senang makan nasi, kami buatkan menu dari sagu sehingga pelan-pelan terbangun persepsi bahwa makanan tidak hanya nasi
Umumnya, warga membeli hidangan mi sagu dari warung maupun rumah makan. Akan tetapi, Deman Huri (46), warga Pontianak Tenggara, memilih memasak sendiri. Kaldunya diambil dari daun kari yang ditanam dalam pot di rumahnya.
Ia mengatakan, mulai melatih diri mengenal keanekaragaman pangan. Harga beras yang mahal akhir-akhir ini, cukup membuka matanya, tentang adanya sumber pangan lokal lain bisa menjadi makanan pengganti nasi.
Baca juga: Sagu Sebagai Sumber Pangan dan Energi Masa Depan
“Kami hampir setiap bulan mendapat kiriman tepung sagu dari rekan di pedalaman Kalbar. Jadi itulah yang kami olah,” kata Deman.
Olahan sagu tidak hanya sebatas mi. Ia dan keluarganya mengolah sagu menjadi kudapan yang disebut ongol-ongol. Ongol-ongol terbuat dari tepung sagu yang direbus.
Setelah itu, dimasukkan ke lemari es agar sedikit membeku, lalu dipotong-potong dan diberi campuran santan atau susu. Untuk menu berbuka pada Kamis (21/3) sore, Deman dan istrinya membuat bubur ongol-ongol. Teksturnya lembut.
“Kami juga mulai membentuk kebiasaan keragaman pangan kepada anak. Ketika anak-anak sedang tidak senang makan nasi, kami buatkan menu dari sagu sehingga pelan-pelan terbangun persepsi bahwa makanan tidak hanya nasi,” tuturnya.
Baca juga: Sagu, Pegganti Bahan Baku Mi Instan
Potensi sagu tidak hanya besar dari keragaman cara pengolahan dan hidangan, melainkan juga dari segi jumlah. Pada tahun 2020, Kementerian Perindustrian mengadakan Pekan Sagu Nasional. Terungkap bahwa Indonesia memiliki lahan sagu terluas di dunia, yaitu 5,5 juta hektare yang mayoritas berada di Pulau Papua. Akan tetapi, baru 5,7 persen dari lahan ini yang dioptimalkan.
Produksi sagu Nusantara baru 3,57 ton per hektare. Padahal, berdasarkan kajian Kemenperin, bisa dinaikkan menjadi 10 ton per hektare. Oleh sebab itu, pemerintah memasukkan budidaya sagu ke dalam salah satu prioritas Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2024. Akan tetapi, rencana ini harus disertai dengan pengakraban kembali masyarakat terhadap sagu sebagai makanan pokok.
Baca juga: Sagu Beragam Rupa dan Rasa