Berbuka Puasa dengan Papeda, Makanan Non Beras dari Papua
Papeda menjadi salah satu pilihan kuliner Nusantara non beras untuk berbuka puasa. Tidak ada beras juga tetap beres.
Oleh
NASRUN KATINGKA
·3 menit baca
Pangan Nusantara non beras menjadi pilihan berbuka puasa di berbagai daerah di Nusantara. Papeda, misalnya, menjadi menu favorit berbuka puasa di Papua. Penganan berbahan pati sagu ini menjadi sajian yang tak bisa dilewatkan.
Cita rasa papeda sangat menggiurkan di Restoran Isasai di pinggir Danau Sentani, Kelurahan Waena, Distrik Heram, Kota Jayapura, Kamis (21/3/2024). Papeda dari olahan sagu terbaik siap dihidangkan untuk berbuka puasa.
“Kendati semakin berkurang, sagu-sagu terbaik masih dihasilkan di sejumlah kampung, khususnya di sekitar Jayapura di sekeliling Danau Sentani seperti Kampung Ayapo atau Genyem,” kata Usilina yang akrab disapa Ulin.
Sagu bisa didapatkan langsung di kampung-kampung itu atau membeli di Pasar Sentani. Sari pati sagu dengan kualitas yang baik bisa tahan disimpan selama 3-6 bulan.
Tidak mengherankan, masyarakat Sentani menjadikan makanan olahan dari sagu, seperti papeda, sebagai makanan sehari-hari. Selain disajikan langsung, olahan sagu ini juga dibuat menjadi papeda bungkus.
"Hal yang paling penting, sagu ini adalah bahan pangan lokal Papua yang sehat. Pasokan dan harganya selalu stabil dibanding bahan pangan lain," ujarnya.
Pembuatan papeda terbilang sederhana. Tepung sagu awalnya dicampur dengan air dan ditambah perasan jeruk nipis agar lebih segar. "Adonan lalu diaduk selama 1-2 menit hingga tak terlihat gumpalan pati sagunya,” ucap Ulin.
Selanjutnya, adonan disaring untuk memastikan tidak ada gumpalan tepung sagu yang tersisa.
Air panas lalu dicampurkan ke adonan secara bertahap sambil diaduk. Setelah 5-7 menit, warna dan tekstur adonan berangsur berubah dari putih encer menjadi kenyal kecokelatan. Gumpalan papeda sempurna seperti jeli siap dihidangkan.
“Papeda bisa disebut sempurna jika hasilnya bening tanpa ada bintik atau pati sagu yang tertinggal,” tutur Ulin.
Papeda siap dihidangkan bersama "kawan santap" menu lainnya. Masyarakat Sentani biasanya memadukannya dengan ikan kuah kuning atau sayur santan ganemo (sayur daun melinjo).
Kenikmatan menyantap papeda berlanjut dengan beberapa “ritual” khusus. Mulanya, papeda digulung menggunakan sepasang garpu panjang dari bambu, lalu dituang ke piring. Menggulung papeda yang liat membutuhkan keterampilan tangan yang lihai.
Cukup sulit bagi yang belum terbiasa sehingga memerlukan beberapa kali percobaan gulungan untuk menghasilkan sajian papeda yang sempurna. “Kemudian tinggal ditambahkan dengan hidangan pendampingnya, antara ikan kuah kuning atau sayur santan ganemo. Tergantung selera saja,” kata Ulin.
Perpaduan ini membuat papeda menjadi gurih dan terasa lembut saat masuk ke mulut.
Papeda juga bisa dinikmati dalam bentuk papeda bungkus. Dalam bahasa Sentani disebut finukhu. Penganan itu sejatinya adalah bekal masyarakat saat pergi berkebun, mencari ikan, atau perjalanan jauh. Finukhu bisa tahan 2-3 hari.
Pembuatan finukhu juga sederhana. Adonan papeda panas dibungkus dengan daun forhofae (calathea) atau daun pisang.
Papeda yang sudah dibungkus daun memberikan cita rasa baru. Jika biasanya papeda disajikan dengan ikan kuah kuning, finikhu bersama ikan goreng atau ikan saos.
Arkius Tabuni (32), seorang pengunjung di Restoran Isasai mengungkapkan, generasi sekarang harus terus disuguhkan berbagai kuliner lokal. Bagi masyarakat Papua, papeda bukan sekedar makanan, tetapi menjadi identitas daerah.
“Papeda itu kekayaan daerah dengan cara bikinnya sederhana sehingga generasi sekarang harus tahu. Dengan begitu, tidak ada alasan lagi beralih ke makanan yang justru belum tentu sehat," ucapnya.