Menyantap Mi Sagu, Kenikmatan Menu Buka Puasa dari Pontianak
Mi sagu menjadi alternatif menu berbuka puasa yang nikmat. Menyantap mi sagu sekaligus melestarikan pangan lokal.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·4 menit baca
Semangkuk mi sagu bisa menjadi alternatif menu berbuka puasa. Keberadaannya juga ikut melestarikan kekayaan pangan lokal yang nyaris dilupakan.
Terik matahari di garis khatulistiwa perlahan meredup, Rabu (20/3/2024). Pasar-pasar juadah yang menjual kudapan tradisional di berbagai sudut Kota Pontianak, Kalimantan Barat, mulai dipadati pemburu takjil. Beragam kudapan menggugah selera menanti para pembeli.
Akan tetapi, menu berbuka tidak hanya kudapan. Beberapa kedai juga menawarkan mi sagu yang patut dicoba. Sesuai namanya, bahan bakunya adalah sagu, bukan terigu layaknya mi pada umumnya.
Salah satu yang banyak didatangi warga adalah kedai milik Tepi di Jalan HOS Cokroaminoto, Kota Pontianak. Di sana, Tepi mulai sibuk melayani pesanan pelanggannya.
Penyajiannya sederhana. Setelah dipanaskan bersama kuah kaldu ayam dan tauge, mi langsung dituangkan ke mangkuk. Di atasnya ada bawang goreng, sayur, hingga minyak bawang. Tak ketinggalan, ikan teri disajikan terpisah dalam wadah kecil.
Dijual Rp 12.000 per porsi, tekstur mi sagu lembut dan licin. Setelah tandas, perut tidak terasa kembung karena kandungan serat sagu yang tinggi. Dengan khasiat itu, mi sagu cocok mengisi perut setelah seharian berpuasa.
Kalau hari-hari biasa, menurut Tepi, konsumennya biasa membeli mi sagu untuk sarapan pagi atau makan siang. Di bulan puasa, mi sagu menjadi menu berbuka, meski tidak sefavorit menu lainnya.
“Sore-sore ada sekitar empat hingga tujuh pembeli. Orang lebih banyak membeli bubur pedas,” tuturnya.
Anak jaman sekarang disuruh makan ubi saja susah. Makan ubi dianggap belum makan (Donatius)
Ilham (29), warga Pontianak Barat, yang baru pulang bekerja sore itu, misalnya, singgah membeli mi sagu. Menurut dia, mi sagu ringan di perut sehingga cocok untuk berbuka puasa. Selain itu, ada sayurannya. Kalau berbuka dengan nasi, menurutnya, perut terasa penuh.
“Menu-menu kuah seperti ini cocok untuk berbuka,” kata Ilham.
Kendati tidak sering, selama bulan puasa ini, ia dan keluarga sudah empat kali membeli mi sagu untuk berbuka. Di hari-hari biasa, ia juga cukup sering sarapan dengan mi sagu.
Deman Huri (46), warga Pontianak Tenggara, juga menjadikan mi sagu sebagai salah satu menu berbuka. Namun, ia memilih membeli mi sagu mentah lalu dimasak di rumah. Kaldunya diambil dari daun kari yang ditanam dalam pot di rumahnya.
Selain untuk menu berbuka puasa, Deman mengatakan, menyantap mi sagu juga melatih diri mengenal keanekaragaman pangan. Harga beras yang mahal akhir-akhir ini membuatnya mencari sumber pangan lokal lain pengganti nasi.
“Kami hampir setiap bulan mendapat kiriman tepung sagu dari rekan kami di pedalaman Kalbar. Jadi itulah yang kami olah,” kata Deman.
Olahan sagu tidak hanya sebatas mi. Ia dan keluarganya mengolah sagu menjadi kudapan yang disebut ongol-ongol. Ongol-ongol terbuat dari tepung sagu yang direbus.
Setelah itu, dimasukkan ke lemari es agar sedikit membeku, lalu dipotong-potong dan diberi campuran santan atau susu. Untuk menu berbuka pada Kamis (21/3/2024) sore, Deman dan istrinya membuat bubur ongol-ongol. Teksturnya lembut.
“Kami juga mulai membiasakan anak kami mencoba makanan bukan nasi. Ketika anak-anak kami sedang tidak senang makan nasi, kami buatkan menu dari sagu sehingga pelan-pelan terbangun persepsi makanan tidak hanya nasi,” tuturnya.
Kian dilupakan
Pengajar Antropologi Universitas Tanjungpura Pontianak, Donatianus, menilai, kebudayaan pangan masyarakat terbentuk dari adaptasi manusia dengan lingkungannya. Dulu, ketika belum mengenal beras, warga Kalbar terbiasa makan sagu, umbi-umbian, dan buah-buah.
Jika sekarang beras mahal, bukan suatu hal yang buruk mengonsumsi makanan lain, termasuk sagu. Sayangnya, sagu pun kini kian terbatas. Umbi pun dilupakan orang. Artinya, pengetahuan masyarakat tentang makanan selain beras juga semakin punah.
“Anak zaman sekarang disuruh makan ubi saja susah. Makan ubi dianggap belum makan,” tutur Donatianus.
Khusus sagu, menurut Donatianus, tanamannya sempat banyak tumbuh di sekitar daerah aliran sungai di Kalbar sebelum tahun 1970-an. Namun, pertambahan jumlah penduduk ikut menggusurnya. Lahan pertanian sagu berubah menjadi permukiman.
Ditambah lagi, berbagai investasi berbasis hutan dan lahan juga masuk pada 1970-1980. Perlahan pola konsumsi pun berubah.
Menurut catatan Kompas yang dikutip dari laporan Hadijah A Karim di Earth and Environmental Science (2021), tanaman sagu memiliki daya tahan yang baik terhadap perubahan iklim karena sistem perakarannya yang kuat. Pertumbuhan tanaman endemik Indonesia ini tidak terganggu El Nino ataupun La Nina. Produktivitasnya bisa lebih dari 10 ton pati per hektar per tahun.
Makanan olahan sagu tidak hanya identik dengan masyarakat Indonesia Timur. Namun, karena pengetahuan tentangnya yang makin minim, ketangguhan sagu sebagai sumber pangan di berbagai Indonesia dilupakan. Di Kalbar, lewat olahan mi, eksistensinya terus bertahan menghadapi zaman.