Kekayaan Rasa Dalam Kesederhanaan Sinonggi
Sinonggi, olahan sagu dari Kendari, menyimpan kekayaan rasa dan budaya. Identitas lokal yang terpinggirkan beras.
Olahan sagu dari Kendari, Sulawesi Tenggara ini sungguh sederhana. Namun, di balik olahannya yang tidak neko-neko, tersimpan kekayaan khazanah rasa dan budaya. Rasa segar dan manis sagu dalam sinonggi terus bertahan di tengah peminggiran pangan lokal.
Ditemani rintik hujan yang mengguyur Kendari, Sulawesi Tenggara Kamis (21/3/2024), malam, Salman (42), menunggu pesananan makanannya datang. Bersama rekannya, ia sengaja datang ke salah satu warung yang khusus menjual sinonggi.
“Setelah buka puasa, makan sinonggi bisa bikin segar,” ucapnya.
Berselang beberapa waktu, pramusaji datang membawa pesanan. Pertama-tama, ia meletakkan semangkuk ikan kakap kuah kuning. Selanjutnya adalah ayam kuah tawaoloho atau daun kedondong hutan. Tentu tidak lupa penganan utama adalah sinonggi, atau tepung sagu yang telah diolah dengan air panas.
Ia meracik masakan di piring. Cabai rawit dipotong kecil-kecil, lalu dicampur ke kuah ikan. Untuk menambah ketebalan rasa, irisan jeruk nipis juga dicampurkan.
Setelahnya, ia mengambil sumpit, mengaduk sagu yang kental, memutarnya di udara hingga terpisah dengan kumpulan sagu di mangkok, lalu diletakkan di piring. Begitu teknik mengambil olahan sagu dalam sinonggi.
Saat disantap, rasa sagu yang gurih, dan segar, bercampur dengan asam dan asin dari kuah ikan. Cabai rawit menambah khazanah rasa. Perpaduan rasa ini merayap di lidah, dan lumer hingga tenggorokan. Rasa yang sedikit berbeda saat sinonggi bercampur dengan ayam kuah kedondong hutan. Segar.
“Kalau makan nasi, saya cepat mengantuk. Tapi kalau sagu, badan terasa lebih segar,” ucap Salman.
Malam itu, sejumlah pengunjung datang ke Rumah Makan Meohai, di Kendari. Rumah makan ini memang fokus menyediakan sinonggi, dan sejumlah makanan bercita rasa lokal lainnya.
Baca juga: Lumer Bersama Sinonggi
Nurlianti (70), pendiri warung tersebut menceritakan, sejak tiba dari Sulawesi Selatan medio tahun 70-an, ia telah karib dengan makanan lokal di Sultra. Salah satunya adalah sinonggi yang merupakan makanan khas suku Tolaki.
Sejak saat itu, ia rutin menyantap sinonggi. Nurlianti juga mulai mempelajari cara memasak dan memilih bahan yang tepat. Pertemanannya yang luas membuat ia akhirnya memberanikan diri membuka rumah makan pada kisaran 2006.
“Teman saya yang mendorong, dikasih nama Meohai yang artinya teman. Saya kebetulan memang suka memasak, dan tetap berlanjut sampai sekarang,” kata nenek dua cicit ini.
Mengolah dan memakan sinonggi, terang Nurlianti telah melekat erat dengan dirinya. Bahkan, saat pulang ke Makassar, ia mencari makanan ini. Namun, ia kesulitan karena ia belum menemukan rumah makan yang menjual sinonggi.
Siasatnya, ia mencari rumah makan yang menjual kapurung, atau makanan khas dari olahan sagu. Kapurung diolah dengan memasak semua bahan, sayur-sayuran, ikan, dan campuran lainnya ke dalam satu wadah. Ia lalu memesan dengan cara makan sinonggi, yaitu sagunya dipisah.
“Sekarang saya jadi tambah sering makan karena saya diabetes. Dan sagu baik untuk orang seperti saya,” jelasnya. Ia melanjutkan, “ada teman saya, yang tiap hari harus makan sinonggi. Tapi tidak banyak lagi yang seperti itu.”
Baca juga: Sagu Sultra Terancam
Kaya budaya
Sinonggi yang berbahan dasar sagu ( Metroxylon sagu) adalah kekayaan pangan lokal di wilayah Sultra, khususnya untuk suku Tolaki. Berdasar sejumlah literatur, sinonggi berasal dari kata posonggi, atau alat serupa sumpit berbahan dasar bambu yang digunakan untuk menggulung sagu ke piring.
Sementara itu, sejarawan dan budayawan Tolaki Basrin Melamba dalam risetnya yang berjudul Sagu (Tawaro) dan Kehidupan Etnik Tolaki di Sulawesi Tenggara menulis, sagu telah dikenal masyarakat Tolaki sejak abad ke-7. Sagu lalu berkembang di abad ke-15 hingga saat ini.
Dalam kehidupan masyarakat, sagu memegang peranan vital, mulai sebagai ukuran kekayaan, sumber makanan, hingga cadangan pangan. Tidak hanya itu, sagu memiliki nilai filosofis berupa nilai sosial kekeluargaan, religiusitas, dan persatuan. Secara ekologi, tanaman sagu berfungsi untuk menyuburkan tanah, menyimpan air, dan lain-lain.
Baca juga: Yulius Barra' Pasolon, Profesor Sagu dari Haluoleo
“Laporan perjalanan para etnograf dan pejabat zaman pemerintahan Hindia Belanda menjelaskan mengenai eksistensi sagu di Sultra. Sagu dikonsumsi oleh masyarakat Tolaki sebagai makanan pokok. Tanaman ini banyak tumbuh di rawa-rawa, dan kayunya dijadikan bahan baku rumah tradisional,” tulisnya.
Yulius Barra' Pasolon, Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, menyatakan, sagu di Sultra masuk dari rangkaian perjalanan sagu dari Papua. Tanaman ini pada zamannya menjadi pangan utama bernilai tinggi dalam masyarakat.
”Orang Tolaki bilang, sagu itu kesejukan. Sebab, dengan sagu, berarti hidup keluarga dan keturunannya terjamin. Satu kebun pohon sagu bisa menghidupi beberapa generasi. Tidak salah jika dahulu, sebelum orang Tolaki menikah, salah satu syaratnya harus memiliki kebun sagu,” papar Yulius yang banyak meneliti tentang sagu di Sultra.
Kecuali akar, sagu adalah tanaman yang semua bagiannya bisa dimanfaatkan. Daun sagu dianyam untuk atap, kulit pohon diolah menjadi papan, pelepah sagu dipilin menjadi tali, getah pelepah untuk lem, dan ulat pohon sagu digunakan sebagai sumber protein warga. Sementara, daging pohon sagu diolah menjadi makanan pokok.
Baca juga: Pudarnya Identitas Tawaro
Kesejukan sagu berpengaruh besar terhadap lingkungan sekitar. Sagu dikenal sebagai tanaman yang mampu menyerap karbon dalam jumlah tinggi. Sagu juga tanaman yang tahan terhadap suhu dan cuaca ekstrem, hama, serta tidak memerlukan pupuk.
Yulius termasuk yang meyakini bahwa sagu bisa menjadi sumber pangan potensial di masa depan, terutama ketika krisis iklim semakin menguat dan menurunkan produksi tanaman biji-bijian yang sangat tergantung pada cuaca. ”Masa depan pangan itu ada di tanaman yang menyimpan karbohidratnya di dalam umbi dan batang. Sagu termasuk yang sangat potensial dikembangkan,” lanjutnya ”
Akan tetapi, politik pangan membuat sagu di Sultra dan sejumlah wilayah lain terpinggirkan. Sagu perlahan tergantikan oleh beras,” ucapnya. Sagu yang awalnya makanan pokok, pelan-pelan menjadi pangan cadangan. Sagu menjadi pelengkap di masyarakat, sekadar makanan sampingan di kala bosan makan nasi.