Harga Gabah Kering di Kawasan ”Food Estate” Anjlok
Petani di kawasan ”food estate” mengeluh harga gabah kering anjlok. Mereka bingung karena harga beras sedang melonjak.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Harga gabah kering di kawasan food estate (lumbung pangan) Kalimantan Tengah anjlok. Petani kebingungan lantaran harga beras saat ini justru mahal. Pemerintah mengklaim harga anjlok lantaran panen raya belum selesai.
Kalimantan Tengah, sejak 2019, dipersiapkan sebagai salah satu wilayah lumbung pangan dengan dicanangkan program strategis nasional oleh Presiden Joko Widodo pada 2019. Program nasional itu menemui sejumlah kendala, bahkan hingga saat ini.
Heriyanto (48), salah satu petani dari Kelompok Tani Sido Mekar di Desa Belanti Siam, mengungkapkan, saat ini harga gabah kering hanya Rp 7.200 per kilogram, sementara harga normalnya Rp 8.500 per kg. Harga itu, menurut dia, begitu anjlok dan menyengsarakan petani.
Dengan harga itu, petani tidak bisa menutup biaya produksi. Untuk lahan sawah satu hektar, dibutuhkan pupuk urea (nitrogen) 300 kg, SP36/TSP (fosfor) 100 kg, dan KCl (kalium) 100 kg. Untuk itu semua, setidaknya Heriyanto mengeluarkan biaya Rp 10 juta-Rp 11 juta yang ia pinjam di kredit usaha rakyat pada salah satu bank.
Setidaknya dalam satu kali musim tanam ia membutuhkan dua kali pemupukan. Sayangnya, tahun ini ia tidak bisa mendapatkan pupuk subsidi lantaran kehabisan.
Heriyanto menjual gabah kering kepada tengkulak asal Kalimantan Selatan lantaran sudah berlangganan. Ia juga kerap melakukan ijon kepada tengkulak itu agar bisa bertahan terus menanam.
”Harga Rp 7.200 itu harga tengkulak. Kalau dari sini (pemerintah), belum ada yang masuk ke sini menawarkan,” ungkapnya.
Ia bingung lantaran harga beras di pasaran saat ini masih tinggi. Padi yang ia tanam jika dijual di pasar harganya sudah mencapai Rp 21.000 per kg.
”Saya juga bingung kok bisa anjlok harga gabahnya, padahal harga beras naik. Memang saya ini belum selesai panen, tapi belum bisa jual karena harganya segitu,” katanya.
Pada tahun pertama program food estate dilakukan, Heriyanto dan petani penerima manfaat lainnya mendapatkan bantuan pupuk hingga bibit. Sayangnya, bantuan itu hanya merupakan perangsang untuk meningkatkan produksi yang berlangsung selama satu tahun. Kini bantuan itu tidak diberikan lagi kepada mereka.
Saya juga bingung kok bisa anjlok harga gabahnya, padahal harga beras naik. Memang saya ini belum selesai panen, tapi belum bisa jual karena harganya segitu.
Heriyanto dan kelompoknya merupakan salah satu penerima manfaat food estate di Kabupaten Pulang Pisau untuk program intensifikasi padi. Di desa lain, khususnya Desa Pilang, Kabupaten Pulang Pisau, untuk program ekstensifikasi atau perluasan lahan sawah baru justru lebih malang lagi.
Ardianto (46), salah satu peserta perluasan lahan sawah food estate, justru masih berupaya agar bisa panen. Pada 2021 awal mula ikut program, ia sempat gagal panen. Lalu, tahun berikutnya sempat panen, tetapi tak maksimal. Tahun 2023 ia lagi-lagi gagal panen. Kali ini ia belum panen dan tinggal berharap agar bisa dapat panen maksimal.
”Jangan dulu bilang untuk jual, untuk kebutuhan rumah saja dulu,” ujar Ardianto.
Ardianto mengungkapkan, dirinya tak menyerah. Ia sudah sering dilanda kegagalan sejak mulai bertani di sawah. Ia yang sebelumnya merupakan peladang tradisional itu hanya menuruti permintaan pemerintah.
”Sekarang saya dan istri juga menanam sayuran dan buah-buahan. Jadi, ya, masih bisa jual-jual sayur di pasar terdekat,” ungkap Ardianto.
Tahap awal
Sesuai rencana, tahap awal proyek ini akan menggarap lahan 30.160 hektar bekas proyek pembukaan lahan gambut. Rinciannya, 10.160 hektar di Kabupaten Pulang Pisau dan 20.000 hektar di Kapuas, yang meliputi 13 kecamatan untuk lahan intensifikasi atau program peningkatan produksi di lahan sawah yang sudah ada.
Tak hanya itu, pemerintah juga membuat program ekstensifikasi, yakni mengubah kebun atau hutan menjadi sawah baru. Total luas lahan ekstensifikasi ini pada tahap awal mencapai 16.000 hektar merujuk data Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Peternakan Provinsi Kalteng. Ekstensifikasi lahan ini juga dijalankan di Pulang Pisau dan Kapuas.
Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Peternakan Kalteng Sunarti menjelaskan, harga Rp 7.200 masih harga yang lebih baik dari sebelumnya. Harganya juga bisa meningkat ketika sudah memasuki panen raya. Saat ini belum semua wilayah pertanian padi selesai panen.
”Sekarang masalahnya karena HPP-nya Rp 5.000 per kg. Bulog tidak sanggup menyerap gabah petani karena harga di lapangan sudah di atas itu. Akhirnya Bulog tidak bisa menyerap dari petani,” ungkapnya.
Meskipun demikian, di beberapa wilayah saat ini harga gabah kering yang panen langsung dari combain (mesin panen) mencapai Rp 7.500 per kg. ”Hal ini sudah merupakan berkah untuk petani. Kapan lagi petani menikmati hasilnya,” kata Sunarti.
Harga Rp 8.500 per kg tersebut merupakan harga saat belum panen raya. Sebelumnya, petani pernah mendapatkan harga Rp 10.200 saat musim kemarau yang dilanda El Nino beberapa saat lalu.