Mereka Tak Asing Berpuasa di Indonesia
Kendati cuaca jadi persoalan, mahasiswa dan WNA merasa nyaman dan penuh kekeluargaan berpuasa di Indonesia.
Saat sejumlah negara memperketat aturan soal pembukaan restoran dan rumah makan kala bulan Ramadhan, sejumlah warga negara asing merasa nyaman menjalani ibadah puasa di Indonesia. Bahkan, hal itu juga dirasakan oleh warga non-Muslim. Ada lapisan kekeluargaan dan kenikmatan menjalani keseharian di bulan Ramadhan di Indonesia.
Keunikan Ramadhan di Indonesia dialami oleh Lan Yuchen (35), perempuan Taiwan yang menikah dengan seorang laki-laki asal Balikpapan, Kalimantan Timur. Yuchen baru tahun ini menjadi mualaf, sekaligus menjalani puasa pertama kali di Indonesia.
Namun, saat di Taiwan, ia sudah sering berkumpul dengan para pekerja migran Indonesia. Ini pula yang membuat Yuchen memperhatikan cara teman-teman Muslimnya menjalani puasa setiap Ramadhan. Kini, saat menjalani puasa secara mandiri di Indonesia, ia baru merasakan sejumlah hal unik.
“Budaya takjil itu yang menurut saya menarik. Pas buka puasa terkadang bisa dapat takjil di jalan dari orang yang menyumbang,” kata Yuchen tertawa saat dihubungi, Selasa (19/3/2024).
Baca juga: Berpuasa Menyejukkan Kepala dan Hati
Dari pengalaman itu, menurut dia takjil memberi pengalaman kuliner sekaligus semangat berbagi di bulan Ramadhan di Indonesia. Ia bisa menerima bantuan makanan dari orang tak dikenal di jalanan tanpa mempertanyakan asal, ras, dan hal lain. Bagi Yuchen, ini pengalaman berharga dalam konsep berbagi sesama manusia.
Bahkan, ia jadi bisa mencicipi berbagai cita rasa unik dari bermacam daerah di Indonesia. Domisilinya di Balikpapan tidak menjadi penghalang Yuchen menikmati hidangan dari penjuru Nusantara.
Baca juga: Timun Suri, Buah Favorit Saat Ramadhan
Ia mencontohkan, dari es buah yang ia temui saja sudah beragam jenisnya. Ada yang berisi jambu, buah naga, hingga tambahan cincau. Di sisi lain, ia juga menjumpai goreng-gorengan dengan berbagai pilihan. Tak kalah penting, banyak buah atau makanan manis yang menggugah selera saat berpuasa, salah satunya kurma.
Momen kekeluargaan juga ia rasakan selama menjalani puasa di Indonesia. Misalnya, saat buka puasa bersama keluarga atau kawan-kawan. Di momen itu, kegiatan tak hanya diisi dengan menyantap makanan yang ada, tetapi juga berbagi obrolan, pengalaman, dan pengetahuan.
“Momen bukber, kumpul dengan keluarga, atau bareng teman-teman enjoy takjil itu bikin puasa di sini paling istimewa,” ujar Yuchen.
Budaya takjil itu yang menurut saya menarik. Pas buka puasa terkadang bisa dapat takjil di jalan dari orang yang menyumbang
Baca juga: Walau Dingin dan Sepi, Kami Tetap Berpuasa
Panas, tetapi hangat
Pengalaman lain dialami Sholahuddin Cheuderame (24), mahasiswa asal Thailand yang sedang berkuliah di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Ini adalah pengalaman pertamanya menjalani ibadah puasa di Indonesia.
Berkuliah di Indonesia selama setahun, laki-laki yang akrab disapa Sholah itu menuturkan bahwa menjalani puasa di sini cukup berat dalam hal cuaca. Menurut dia, hawanya lebih panas dibandingkan dengan Thailand. Di sekitar kampusnya, hujan jarang turun akhir-akhir ini. Bahkan, suhu udara bisa di atas 30 derajat celcius.
Baca juga: Gorengan untuk Menu Buka Puasa dan Sahur? Maksimal Dua Selama Ramadhan
Kendati cuaca terik, ia merasakan hangat keakraban dari warga di sekitar kampus. Itu tercermin dari tradisi membangunkan sahur oleh anak-anak dan remaja di sekitar rumah kontrakannya.
Menurut Sholah, itu menjadi cermin saling mengingatkan dengan cara yang unik. Pemuda dan anak-anak itu membangunkan sahur dengan berkeliling kompleks sambil memukul-mukul galon atau kentongan. Tak lupa, mereka meneriakkan kata “sahur...sahur...”
Tradisi semacam itu tidak pernah ia jumpai di Pattani, kota di ujung selatan Thailand yang berbatasan dengan Malaysia. Walaupun wilayah itu dihuni oleh mayoritas Muslim, tradisi santap sahur dilakukan oleh keluarga masing-masing.
“Itu bisa jadi semacam alarm untuk bangun tidur, tapi mungkin perlu dikontrol juga. Semisal ada tetangga yang punya anak kecil, nanti anak kecilnya bangun, sehingga merepotkan ibu-ibu yang menyiapkan hidangan sahur,” kata Sholah sambil tersenyum.
Baca juga: Petualangan Lidah Menu Buka Puasa dari Sumatera
Begitu juga pengalaman Hasina Wardak (19), mahasiswi asal Afghanistan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Oleh karena situasi keamanan di negaranya, ayahnya yang bekerja di Bank Dunia membawa ia dan ibunya ke Indonesia sejak 2014. Sebelumnya, ia bersekolah di sekolah internasional di Indonesia yang siswanya berasal dari berbagai negara.
Saat itu, ia merasa berat menjalani puasa karena hanya dua siswa Muslim di kelasnya. Saat berkuliah, ada semacam senasib sepenanggungan yang tercermin dari teman-teman kampusnya. Lantaran sebagian besar teman kuliahnya Muslim, ia jadi bisa membuat kegiatan bersama di waktu senggang kuliah.
“Kami bikin kegiatan buka puasa bersama. Seru, bisa belajar bikin kegiatan di luar kelas,” katanya.
Baca juga: Kerukunan Lintas Iman di Bulan Ramadhan
Kehangatan pun dirasakan mahasiswa non-Muslim di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, I Ketut Wisnu Laksana. Laki-laki berusia 20 tahun itu beragama Hindu, tetapi dimuliakan oleh teman-temannya yang Muslim. Misalnya, saat tidak ada jam kuliah, teman-temannya malah mengingatkannya untuk makan siang.
Teman-teman Wisnu yang biasanya bercanda dengan kata-kata kasar, selama Ramadhan mereka berubah menjadi lembut. Melihat itu, ia jadi tidak enak hati makan atau minum di hadapan teman-temannya dan akhirnya ia ikut puasa juga.
Menurut dia, sebenarnya selama Ramadhan tetap mudah mendapat tempat makan karena restoran di sekitar kampus tetap buka. Akan tetapi, ia memilih solider dengan teman-temannya.
“Pas buka (puasa) bareng-bareng itu, es buah yang sebelumnya biasa aja, jadi lebih nikmat. Nikmat banget,” kata Wisnu sambil terbahak.
Baca juga: 5 Kegiatan Sosial yang Biasa Dilakukan Saat Ramadhan
Fenomena yang dialami warga negara asing dan umat Hindu itu mencerminkan bahwa keagamaan di Indonesia dijalankan dengan spirit keragaman. Menurut Profesor Sosiologi Hukum Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Asep Saepudin Jahar, toleransi menjadi ciri masyarakat heterogen di Indonesia.
Hal itu membuat masyarakat menjalani ibadah dengan tanpa meninggalkan unsur-unsur sosial dan toleransi. Itu ditambah dengan sejumlah organisasi agama yang turut menggaungkan semangat keberagaman dan saling menghargai kendati berbeda keyakinan.
“Ada juga pemahaman Islam yang berdasarkan budaya lokal kita dan moderat. Itu ciri utama Islam Nusantara kita,” ujar Asep yang juga menjabat sebagai Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.