Anak Rentan Jadi Korban Keinginan Bunuh Diri Orangtuanya
Respons cepat dari keluarga dan lingkungan terdekat sangat dibutuhkan untuk mencegah risiko terjadinya bunuh diri.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Dipicu berbagai faktor, anak-anak rawan menjadi korban dari keinginan bunuh diri orangtuanya. Anak ikut menjadi korban tewas bersama orangtua, padahal mereka sebenarnya tidak merasa menanggung beban masalah dari salah satu atau kedua orangtuanya.
Hal inilah yang terjadi pada kasus bunuh diri oleh lebih dari satu orang yang terikat relasi keluarga.
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Koentjoro, menuturkan, dalam keluarga, anak-anak berpotensi menjadi korban karena rentan ”tertular” keinginan bunuh diri yang sudah kerap disuarakan orangtuanya.
”Berulang kali mendengar ayah atau ibunya mengeluh ingin bunuh diri, mereka pun terpancing ingin ikut bunuh diri. Hal ini makin diperparah oleh rasa kekhawatiran yang muncul karena mereka takut untuk ditinggalkan oleh orangtuanya yang nantinya akan lebih dahulu meninggal dunia,” ujarnya, Selasa (12/3/2024).
Didorong berbagai perasaan itulah, kemudian keputusan bunuh diri justru bisa menjadi kesepakatan bersama.
Koentjoro mengatakan, pada prinsipnya setiap orang yang berkeinginan bunuh diri adalah orang yang panik. Dilanda kepanikan tidak bisa menyelesaikan tumpukan masalah yang dihadapi, maka dalam dirinya pun tercetus keinginan bunuh diri berulang kali.
Karena perasaan yang tidak tenang itulah, keinginan bunuh diri sering kali disampaikan dalam aktivitas keseharian, tanpa ada kepedulian siapa yang akan mendengar.
Di luar itu, berbagai hal lain bisa menjadi faktor pemicu. Dalam kasus ibu yang bunuh diri bersama bayinya, seperti terjadi di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (10/3/2024), hal ini bisa terjadi karena si ibu merasakan relasi yang sangat kuat dengan putranya.
”Bisa jadi karena sejak lama mereka merasa senasib dan sepenanggungan merasakan semua masalah sendirian, maka akhirnya ibu yang menganggap anak sebagai bagian dirinya memutuskan untuk bunuh diri bersama bayinya,” katanya.
Mereka menganggap bahwa bunuh diri bersama adalah jalan terbaik untuk menyelesaikan semuanya.
Dosen Fakultas Psikologi dan Humaniora Universitas Muhammadiyah Magelang, Aning Az Zahra, mengatakan, faktor lain yang kemudian memicu anak menjadi korban adalah orangtua tidak ingin anak menanggung beban masalah yang ditinggalkan oleh ayah atau ibunya.
”Saat menyadari dirinya saja yang tidak bisa menyelesaikan masalah, maka orangtua pun cemas anak-anaknya akan mengalami kesulitan untuk menanggung beban persoalan yang ditinggalkan. Karena itulah, kemudian mereka menganggap bahwa bunuh diri bersama adalah jalan terbaik untuk menyelesaikan semuanya,” ujarnya.
Hal lain terjadi dalam kasus ibu yang bunuh diri atau bahkan tega membunuh bayinya karena mengalami depresi seusai melahirkan (sindrom baby blues). Dalam kasus ini, ibu yang mengalami beban masalah memiliki rasa benci terhadap anak yang baru saja dilahirkannya.
Oleh karena itu, Aning menuturkan, respons cepat dari keluarga dan lingkungan terdekat sangat dibutuhkan untuk mencegah risiko terjadinya bunuh diri.
Ketika ada anggota keluarga atau tetangga terdekat yang mulai terlihat gelisah dan depresi, maka kerabat atau warga sekitar semestinya segera membantu dengan mengajak berkomunikasi. Dengan begitu, mereka yang terlihat memendam masalah setidaknya bisa mencurahkan perasaannya.
Pada tahap selanjutnya, lingkungan terdekat tersebut diharapkan membantu mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi.
*Artikel ini tidak dimaksudkan untuk menginspirasi Anda melakukan tindakan serupa. Jika Anda mengalami depresi atau bermasalah dengan kesehatan jiwa, segera hubungi psikolog atau layanan kesehatan mental terdekat.*