Meski Ekonomi Tumbuh Tinggi, Kesejahteraan Maluku Utara Belum Membaik
Sejumlah indikator kesejahteraan Maluku Utara belum membaik, di tengah pertumbuhan fantastis sektor pertambangan.
Oleh
RAYNARD KRISTIAN BONANIO PARDEDE
·4 menit baca
TERNATE, KOMPAS – Hingga awal 2024, Maluku Utara masih mempertahankan status sebagai provinsi dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di Indonesia. Namun, pertumbuhan yang didorong sektor pertambangan itu dinilai belum berdampak ideal pada kesejahteraan warga.
Kepala Kantor Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan Wilayah Maluku Utara Tunas Agung Jiwa Brata menjelaskan, meski sempat diprediksi menurun, ekonomi Maluku Utara pada 2023 mampu tumbuh di angka 20,49 persen.
Pada tahun 2024, ekonomi Maluku Utara diprediksi juga tetap kuat di kisaran 16-20 persen. Pertumbuhan ini mayoritas didukung pertambangan dan pengolahan mineral.
Akan tetapi, hal tidak lantas berdampak pada sektor lain. Tingkat kemiskinan Maluku Utara pada 2023 tercatat 6,46 persen. Hal itu naik dari tahun 2022 sebesar 6,23 persen. Angka ini terus menjauhi target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2020-2024 sebesar 6,25 persen.
Tingkat kemiskinan yang naik juga membuat ketimpangan pendapatan naik, yang terlihat dari tingkat rasio gini tahun 2023 sebesar 0,300 poin, naik dari angka 0,279 poin pada 2022. Angka ini tidak mampu memenuhi target sebesar 0,285 poin.
Rasio gini yang terus mendekati nilai satu (1) menandakan ketimpangan di antara warga terus melebar. Indeks Ketahanan Pangan daerah ini juga menempati posisi 32 secara nasional, dengan nilai 58,39 pada 2022.
Indikator Pembangunan Daerah dalam Kajian Fiskal Regional Maluku Utara Triwulan IV 2023
”Pertumbuhan masih berjalan secara parsial, parameter kesejahteraan masih belum membaik. Meski Indeks Pembangunan Manusia tahun lalu naik menjadi 70,98, dari pencapaian tahun 2022 sebesar 69,72, pemerintah harus memanfaatkan pertumbuhan dengan membuat kebijakan yang linear dengan peningkatan ekonomi warga,” kata Tunas di Ternate, Maluku Utara, Kamis (7/3/2024).
Pertumbuhan yang didukung pertambangan yang tumbuh pascaprogram hilirisasi dinilai hanya sementara mengingat sumber daya alam tersebut tidak dapat diperbarui. Apalagi, bila ada praktik pertambangan yang tidak ramah lingkungan hanya akan berdampak pada kualitas hidup warga asli Maluku Utara. Untuk itu, program pemberantasan kemiskinan harus berfokus pada sektor tradisional warga, seperti pertanian dan perikanan.
Akan tetapi, kedua sektor itu masih tertekan. Salah satu penyebabnya, beralihnya pekerja sektor tradisional ke pertambangan. Penurunan pekerja sektor pertanian terjadi cukup dalam, dari 42 persen pada 2022, menjadi 23 persen pada 2023. Sementara itu, tenaga kerja sektor pertambangan tumbuh dari 5,8 persen tahun 2019, menjadi 25,4 persen tahun 2023.
Penyebab inflasi
Selain perpindahan pekerja, tekanan terjadi akibat tingginya inflasi yang menekan daya beli petani. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Maluku Utara, Nilai Tukar Petani (NTP) tahun 2023 berada di angka 103,86, jauh di bawah target 2023 sebesar 109,48. Angka NTP ini masih berada di bawah angka nasional sebesar 120,97.
Tunas mengingatkan, anggaran daerah harus diarahkan untuk memperkuat sektor tradisional tersebut karena menjadi penghidupan utama warga. Adapun porsi anggaran daerah yang berasal dari Dana Alokasi Khusus Fisik tahun 2023 untuk sektor pertanian masih ada di angka 5 persen.
Tidak hanya itu, porsi anggaran pemberantasan tengkes (stunting) melalui program intervensi langsung masih berada di bawah 1 persen APBD dan Anggaran Desa tahun 2023. Hal ini perlu jadi perhatian prevalensi tengkes di Maluku Utara berada di angka 26 persen, masih di atas angka nasional 21 persen.
”Bergantung pada berkah hilirisasi ini tidak bisa selamanya, sektor pertanian dan kelautan harus mulai mendapatkan porsi yang besar. Sumber daya manusia itu modal utama pengembangan ekonomi riil warga. Isu keberlanjutan dan kerusakan lingkungan juga harus jadi perhatian kita,” ujar Tunas.
Adapun tingkat inflasi tahunan Maluku Utara pada Februari 2024 tercatat 2,77 persen. Namun, pada 2023, inflasi di provinsi ini sempat mencapai angka 5 persen. Kepala Perwakilan Bank Indonesia Maluku Utara Dwi Putra Indriawan, menjelaskan, inflasi terjadi cukup tinggi di daerah tambang Halmahera Tengah dengan inflasi sebesar 4,6 persen.
Inflasi akibat kenaikan harga pangan terjadi akibat kombinasi dua hal. Pertama, tingginya pendapatan para pekerja di wilayah pertambangan menarik pedagang untuk menjual bahan pangan dengan harga tinggi. Lalu, terbatasnya pasokan pangan yang masuk ke Maluku Utara membuat harga terus naik. Inflasi juga terjadi karena meningkatnya biaya angkutan transportasi udara.
Dwi menyebut, fenomena pergeseran pekerja dari sektor pertanian ke sektor pertambangan adalah hal yang sulit dihindari. Mendorong produktivitas di sektor ini harus menjadi fokus pemerintah, agar ketahanan pangan di daerah ini bisa terwujud, serta menekan inflasi.
”Hilirisasi tidak hanya untuk pertambangan, tetapi juga pertanian dan perikanan,” ujarnya.