Menghidupkan Kembali Pewarna Alami Ulos, Budaya Leluhur yang Ditinggalkan
Puluhan tahun ditinggalkan, petenun ulos mulai menggunakan lagi pewarna alami untuk wastra berkualitas tinggi.
Oleh
NIKSON SINAGA
·5 menit baca
Setelah sempat ditinggalkan, tenun ulos dengan pewarna alami dan benang katun berkualitas mulai hidup lagi. Bahan pewarna dari tanaman lokal seperti indigofera, kunyit, kulit mahoni, hingga kayu endemik Toba, seperti jior dan ungil yang sudah dipakai leluhur sejak dulu, kini kembali mewarnai kain tradisional Batak itu.
Jemari Kamsia Butar-Butar (51) cekatan menenun ulos Ragihuting di stan Jabu Bonang pada acara Kejuaraan Dunia Perahu Motor Formula 1 (F1H2O) di Balige, Kabupaten Toba, Sumatera Utara, Sabtu (2/3/2024). Jarinya bergerak cepat di antara benang katun yang diwarnai dari berbagai bahan tanaman.
Di stan permanen berkonsep rumah adat Batak itu juga dipajang berbagai ulos dengan pewarna alami dengan harga Rp 3 juta hingga Rp 15 juta. Ada pula pakaian siap pakai dengan kain tradisional yang juga menggunakan pewarna alami. Pembuatan wastra Nusantara itu menarik perhatian.
Kepada para pengunjung, Kamsia yang merupakan petenun dari Desa Meat, Kecamatan Tampahan, menjelaskan tumbuhan-tumbuhan yang digunakan untuk mewarnai ulos Ragihuting yang sedang ia tenun.
Dia menunjukkan benang berwarna coklat mimosa yang diwarnai dari kulit kayu tingi. Benang itu berdampingan dengan benang merah cerah dari kulit kayu secang.
”Benang ini kami sebut pale peach. Ini kami warnai dari kayu mahoni. Saya masih sulit menyebut nama warnanya,” kata Kamsia sambil tertawa.
Kamsia adalah salah satu petenun ulos yang kembali menggunakan benang katun dengan pewarna alami. Sebelumnya, dia puluhan tahun menggunakan pewarna sintetis dan benang poliester. Harganya jauh lebih murah dan proses pembuatan lebih cepat karena benang yang dibeli sudah diwarnai.
Untuk membuat sepasang ulos dan selendang, modal membeli benang pewarna sintetis hanya sekitar Rp 200.000. Kalau memakai benang katun dan pewarna alami menghabiskan modal Rp 800.000.
Proses mewarnai benang pun memakan waktu beberapa hari. Untuk membuat warna yang lebih rumit bisa lebih lama karena membutuhkan pencampuran beberapa bahan.
Namun, proses pewarnaan alami itu memberikan pengalaman batin bagi Kamsia. Dia bisa merasakan kembali proses pewarnaan alami yang pernah dia lihat dilakukan neneknya, saat Kamsia masih kecil.
Ketika itu, semua ulos menggunakan pewarna alami. Warna-warna kain tradisional Batak didominasi warna indigo (di antara biru dan ungu). Warna indigo dibuat dari tanaman jenis indigofera yang banyak tumbuh di kawasan Danau Toba dengan nama lokal salaon.
”Saat pertama kali saya ikut pelatihan mewarnai benang dengan bahan alami, saya membatin karena merasakan kembali aktivitas yang dilakukan nenek saya dulu,” kata Kamsia.
Kamsia bersama sejumlah petenun ulos mulai lagi menggunakan pewarna alami setelah menjadi mitra Jabu Bonang. Komunitas itu melakukan edukasi dan pelatihan agar petenun kembali lagi membuat ulos berkualitas dengan benang katun dan pewarna alami.
Dengan menghasilkan kain ulos berkualitas tinggi, para petenun pun mendapatkan kesejahteraan yang jauh lebih baik. Harga ulos dengan benang katun 100 persen dan pewarna alami bisa meningkat tiga kali lipat. Ulos Ragihuting yang ditenun oleh Kamsia dijual Rp 3 juta di tingkat petenun. Untuk motif yang lebih rumit, seperti ulos Tumtuman, harganya Rp 5 juta sampai Rp 6 juta per lembar.
Para petenun di Desa Meat pun kini menggunakan pewarna alami. Desa itu salah satu sentra tenun di kawasan Danau Toba. Hampir semua ibu rumah tangga di sana adalah petenun ulos.
Tren ”slow fashion”
Manajer Proyek Jabu Bonang Trisna Pardede mengatakan, industri ulos dengan pewarna alami mulai bangkit lagi seiring dengan tren slow fashion yang berkembang pesat di Jakarta. Wastra berkualitas tinggi itu juga diserap industri mode dan kolektor kain.
”Karena itu, kami mendirikan Jabu Bonang untuk melakukan pelatihan dan edukasi kepada petenun di kawasan Danau Toba. Kami menyerap hasil karya mereka untuk dipromosikan dan dijual di Jakarta yang menjadi pusat industri mode Indonesia,” kata Trisna.
Dalam beberapa puluh tahun terakhir ini, kata Trisna, produksi ulos mengikuti tren fast fashion sehingga mengorbankan kualitas. Untuk mendapat biaya produksi lebih murah, para petenun membuat ulos yang lebih kecil, benang poliester, pewarna sintetis, dan motif yang disederhanakan. Pasar utama ulos jenis ini adalah untuk keperluan adat masyarakat Batak.
Secara harga, ulos berkualitas tinggi akan sulit diterima pasar untuk keperluan adat. Oleh karena itu, keberadaan industri mode dan kolektor kain berkualitas tinggi sangat penting untuk menghidupkan lagi tenun ulos. Dalam ekosistem itu, para petenun ditempatkan sebagai artisan dan mendapat bagian yang lebih baik sesuai dengan prinsip fair trade (perdagangan yang adil).
Jabu Bonang kini bermitra dengan 231 petenun di empat kabupaten, yakni Toba, Tapanuli Utara, Samosir, dan Dairi. Mereka sudah empat tahun mendapat pelatihan dan menerima pesanan pembuatan ulos berkualitas dari Jabu Bonang. Jabu Bonang juga menggali kembali motif-motif ulos kuno yang sudah lama ditinggalkan petenun.
Kami mendirikan Jabu Bonang untuk melakukan pelatihan dan edukasi kepada petenun di kawasan Danau Toba. Kami menyerap hasil karya mereka untuk dipromosikan dan dijual di Jakarta yang menjadi pusat industri mode Indonesia.
Mereka juga mengedukasi masyarakat untuk menanam kembali pohon kapas di daerah Danau Toba yang dulu digunakan sebagai bahan untuk memproduksi benang. Saat ini, hampir semua benang katun didatangkan dari luar negeri.
Ulos dari petenun kini dipasarkan melalui Tobatenun yang menjual berbagai produk wastra Nusantara, antara lain di Sopodel Tower, Jakarta. Tobatenun didirikan oleh Kerri Na Basaria Panjaitan, putri bungsu Luhut Binsar Pandjaitan.
”Tobatenun adalah wirausaha sosial yang berfokus untuk menggali kembali kekayaan budaya leluhur dan meningkatkan kesejahteraan para petenun,” kata Trisna.
Tantangan utama menghidupkan kembali pewarna berbahan alam adalah prosesnya yang rumit dan lama. Oleh karena itu, Jabu Bonang juga mendirikan rumah pewarna alam di Kabupaten Simalungun. Mereka bisa menghasilkan 40 jenis warna. Jabu Bonang memasok benang-benang itu kepada petenun sehingga mereka tidak perlu menyiapkan modal yang lebih besar.
Bupati Toba Poltak Sitorus mengatakan, kekayaan budaya menjadi salah satu daya tarik wisata di kawasan Danau Toba selain keindahan alam dan pariwisata olahraga. Oleh karena itu, budaya bertenun kain tradisional berkualitas juga bisa menjadi daya tarik wisata yang sangat menarik.
Di stan Jabu Bonang, Kamsia bersemangat menenun benang-benang dengan pewarna alam. Di sana, para pengunjung juga mencoba pengalaman mencelup benang dan kain ke pewarna alami. Kekayaan budaya leluhur yang pernah ditinggalkan kini mulai hidup lagi.…