Kakao Kalteng Diminati Eropa, tetapi Produksi Masih Rendah
Potensi kakao di Kalteng terus dikembangkan. Kualitasnya bahkan setara dengan Eropa.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Tanaman kakao bisa menjadi komoditas perkebunan yang diandalkan di Kalimantan Tengah. Selain punya potensi mendunia, petani kakao di Kalteng juga menilai tanaman ini jauh lebih baik untuk lingkungan.
Hal itu terungkap dalam Seminar Pengembangan Industri dan Budidaya Kakao di Kalteng yang diselenggarakan Good Forest Indonesia (GFI) bersama Dinas Perkebunan Provinsi Kalteng, Selasa (27/2/2024). Kegiatan itu dihadiri puluhan perwakilan dari berbagai petani kakao di seluruh Kalteng.
Salah satu petani kakao yang hadir adalah Wayan (48), petani asal Desa Pangkan, Kecamatan Paku, Kabupaten Barito Timur. Wayan memiliki 1,5 hektar lahan kakao yang dikelola sejak 2017. Ia mengakui petani kakao kesulitan menjual, tetapi dalam dua tahun terakhir permintaan kakao mulai meningkat.
”Biasanya saya hanya menjual ke tengkulak asal Kalimantan Selatan, sekarang ini ada dari Bali juga daerah lain, bahkan luar negeri,” ungkap Wayan.
Dengan kualitas apa adanya, ia menjual biji kakao kering dengan harga Rp 17.000 per kilogram (kg). ”Harganya selama 2017-2018 itu jatuh enggak naik-naik. Kalau kata mereka (tengkulak), kualitasnya jelek,” ujarnya.
Wayan dan ratusan petani kakao di desanya kemudian bergabung bersama GFI sejak 2021 dan didampingi untuk meningkatkan kualitas. Untuk mempercepat produksi kakao, para petani menyambung pucuk kakao. ”Kalau sambung samping dan pucuk itu pohonnya rendah, buahnya lebat, jadi mudah rawatnya. Kualitas pun bagus,” katanya.
Dengan kualitas yang baik, kata Wayan, harganya pun meningkat. Tahun lalu ia bisa memanen 100 kg biji cokelat kering dan dijual dengan harga Rp 40.000 per kg. Harga itu bertahan sampai saat ini.
”Sampel biji kakao milik saya dibawa ke Bali, difasilitasi GFI ke sana. Jadi permintaannya bertambah,” ucapnya.
Selain Wayan, ada Marsono (44), petani kakao asal Desa Tampa, Barito Timur. Menurut Marsono, kakao bisa ditanam dengan baik di Barito Timur. Kakao itu bahkan bisa ditanam di sela-sela pohon keras lainnya seperti yang ia lakukan di ladangnya di Desa Pangkan yang sekarang lebih mirip hutan.
”Tidak seperti sawit yang harus bikin kanal dulu, kalau ini bisa ditanam di sela-sela, tanpa perlu bahan kimia apa pun, semuanya organik,” kata Marsono yang juga pernah menanam sawit.
Di Kalteng, data Dinas Perkebunan Kalteng menyebutkan, provinsi itu memiliki 2.957 hektar lahan kakao. Produksinya mencapai 530 ton per tahun. Angka itu masih sangat jauh dari yang diharapkan. Tetapi, potensinya masih besar, apalagi jika dibandingkan dengan produksi Sulawesi Tengah yang mencapai 650.000 ton pada 2023.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perkebunan Kalteng Rizky Badjuri mengatakan, ada permintaan yang tinggi dari luar negeri, tetapi belum bisa dipenuhi. Hal itu terjadi lantaran perkebunan rakyat masih didominasi karet dan sawit. Ia berharap lebih banyak lagi petani yang mulai menanam kakao.
”Komoditas kakao di Kalteng ini bisa ditanam di kawasan hutan dengan skema perhutanan sosial. Jadi, komoditas ini bisa lebih sedikit gesekan (konflik) sosial dibandingkan dengan sawit misalnya,” ungkap Rizky.
Eropa
Ketua Yayasan GFI Monalisa menjelaskan, ada peningkatan permintaan secara global. Namun, produksi kakao di Indonesia justru menurun. Penurunan itu juga terjadi di Sulawesi yang selama ini menjadi salah satu andalan. Kendati demikian, penurunan produksi kakao dari Pulau Sulawesi itu dapat menjadi celah bagi Kalteng untuk jadi wilayah baru penghasil kakao.
Potensi Kalteng, lanjut Monalisa, begitu besar lantaran masih memiliki lahan yang luas. Kakao, dengan sifatnya yang tidak merusak dan bisa ditanam tanpa harus menerapkan sistem monokultur seperti perkebunan lainnya, dinilai berpotensi untuk dikembangkan di Kalteng.
Pihak GFI, ujar Monalisa, sudah memiliki beberapa proyek percontohan (pilot project) di Kalteng. Salah satunya kakao produksi Wayan dan Marsono yang sudah difermentasi lalu dibawa ke Bali. Hasilnya, kualitas kakao di Barito Timur dan wilayah lainnya di Kalteng masuk kategori excellent atau bagus. Permintaan bahkan datang kemudian dari berbagai negara di Eropa.
”Perlu ada kemauan dari petani, dorongan dari pemerintah, maka kakao bisa jadi komoditas andalan di Kalteng. Kulitasnya Eropa, dan itu luar biasa,” ungkap Monalisa.
Kualitas kakao di Barito Timur dan wilayah lainnya di Kalteng masuk kategori excellent atau bagus. Permintaan bahkan datang kemudian dari berbagai negara di Eropa.
Di Kabupaten Barito Timur, GFI yang didukung juga oleh Fairventures Worldwide telah mendampingi 19 kelompok tani dengan total 400 orang dari tujuh kecamatan. Sementara di Kabupaten Gunung Mas, lembaga tersebut mendampingi lima kelompok tani dari empat kecamatan. Total yang terlibat lebih kurang 200 orang.
”Sudah ada daerah lainnya seperti Barito Utara dan Katingan yang bergabung dalam setahun belakangan, artinya antusiasmenya ada,” ungkap Monalisa.