Cerita kartun Naruto dipakai kuasa hukum untuk mengungkap akar kemarahan warga Rempang dalam peristiwa 11 September.
Oleh
PANDU WIYOGA
·4 menit baca
”Ada suatu desa namanya Konoha. Tempat itu akan dipakai proyek dan warganya bakal digusur. Lalu warga melakukan demonstrasi,” kata Boy Even Sembiring, Senin (26/2/2024).
Boy merupakan anggota tim kuasa hukum terdakwa kasus kerusuhan demonstrasi Bela Rempang. Siang itu, Pengadilan Negeri Batam, Kepulauan Riau, menggelar sidang dengan agenda keterangan ahli dari kuasa hukum terdakwa.
Pada 11 September 2023, sekitar 1.000 orang dari berbagai daerah berunjuk rasa menolak penggusuran kampung tua terkait Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City. Demonstrasi itu berakhir ricuh.
Gedung Badan Pengusahaan (BP) Batam rusak dilempari massa. Sejumlah aparat juga terluka dianiaya pengunjuk rasa. Buntutnya, sebanyak 34 pengunjuk ditangkap polisi dan kemudian disidangkan.
Salah satu pasal yang digunakan untuk menghukum para terdakwa adalah Pasal 170 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Mereka didakwa dengan terang-terangan dan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap barang atau orang.
”Dalam ajaran kausalitas, kausa atau penyebab di belakang kejadian demonstrasi itu harus dilihat atau tidak?” tanya Boy.
”Konoha itu memangnya betulan ada?” kata Ahmad Sofian, ahli hukum pidana, balik bertanya.
”Itu desa (dalam cerita kartun) Naruto,” ucap Boy.
Sofian menuturkan, ajaran kausalitas melihat sebab akibat dalam rangkaian perbuatan yang pada akhirnya menimbulkan akibat yang dilarang. Dalam teori itu, jika salah satu faktor dihilangkan, akibat tidak akan muncul.
Tujuan ajaran kausalitas adalah mengukur atribusi pertanggungjawaban pidana pelaku. Apakah ada alasan yang menghilangkan atribusi pelaku atau apakah ada faktor yang mengurangi pertanggungjawaban pelaku.
Misal dalam kisah Desa Konoha, raja ingin menguasai tanah warga untuk membuat proyek. Warga menolak rencana itu dan raja mengerahkan aparat ke desa. Lalu warga melakukan aksi unjuk rasa dan berakhir bentrok dengan pasukan kerajaan.
”Kalau raja dalam cerita Konoha tidak ada keinginan menguasai desa, warga tidak bakal berdemonstrasi dan tidak akan terjadi bentrok,” kata Sofian.
Menurut dia, dalam menjatuhkan pidana kepada warga Desa Konoha yang menjadi pelaku bentrok harus dilihat motif mereka melakukan demonstrasi. Tujuan warga adalah menolak penggusuran, bukan melakukan kejahatan.
Anggota tim kuasa hukum terdakwa, Mangara Sijabat, kemudian mengajukan pertanyaan mengenai tindak pidana dalam Pasal 170 KUHP. Apakah sebab akibat perbuatan terdakwa yang diduga melanggar pasal itu perlu dilihat secara menyeluruh.
Sofian menjelaskan, secara historis Pasal 170 dimasukkan KUHP untuk mempidana tindakan onar yang dimulai dari sebuah kegiatan aksi unjuk rasa. Pasal itu dibuat untuk memidana segerombolan orang yang sengaja memanfaatkan situasi untuk mengganggu ketertiban umum.
”Harus dibuktikan adanya persengkokolan di antara pelaku. Kalau pelaku punya kesamaan niat untuk mengganggu ketertiban umum, itu baru (melanggar) Pasal 170,” ujar dosen hukum pidana Universitas Bina Nusantara (Binus) tersebut.
Konoha itu memangnya betulan ada?
Jika saat demonstrasi terjadi ricuh, tetapi pelakunya tidak bersengkongkol seperti dalam kisah Konoha, para pelaku harusnya dijerat pasal sesuai perbuatan pidana masing-masing. Menurut Sofian, Pasal 170 tidak dapat dipakai dalam kasus ini.
”Misalnya ada yang merusak barang, ya, pakai Pasal 406. Kalau melakukan penganiayaan, pakai Pasal 351, atau menghancurkan fasilitas umum pakai pasal lain lagi. Dipilih dong, jangan semua dikasih (Pasal) 170,” ucapnya.
Di akhir sidang, Hakim Ketua David P Sitorus memberikan kesempatan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Karya So Immanuel dan Adjudian Syafitra, untuk bertanya kepada ahli.
”Melanjutkan dari penasihat hukum, di negeri Konoha ada suatu sidang, jaksa akan melihat dan hakim akan memutus hal yang meringankan atau memberatkan. Pandangan ahli, hal meringankan dan memberatkan itu bagaimana,” tanya Immanuel.
Sofian menuturkan, hal memberatkan diberikan salah satunya ketika terdakwa tidak mengakui perbuatannya. Adapun hal meringankan bisa diberikan karena banyak faktor.
”Misalnya pelaku ikut demonstrasi karena solidaritas ingin membebaskan temannya yang ditangkap. Tidak ada niat dan keinginan untuk merusak bangunan dan menganiaya petugas. Itu harus dipertimbangkan JPU dan hakim,” katanya.
Ia menambahkan, unjuk rasa adalah hak yang dijamin undang-undang. Dalam negara demokrasi, unjuk rasa adalah sarana menyampaikan pendapat dan aspirasi.
Jika terjadi tindakan onar saat demonstrasi, perlu dicari gerombolan jahat yang melakukan provokasi dan memiliki niat untuk mengacaukan ketertiban umum. Tidak serta-merta semua pelaku ricuh saat aksi unjuk rasa bisa dijerat dengan Pasal 170 KUHP.
”Kalau ada ribuan orang yang melempar(kan) batu, apa kemudian mereka semua dihadirkan di ruang sidang? Tidak mungkin. Oleh karena itu, jaksa harus menemukan gerombolan orang yang memang memiliki niat jahat,” ucapnya.