”Kubangan” Limbah di Tepi Bahodopi
Pesisir Bahodopi serupa kubangan raksasa yang menyisakan derita bagi masyarakat. Airnya tercemar, ikannya menghilang.
Di laut yang jingga karena limbah, masyarakat pesisir Bahodopi pernah menggantungkan hidupnya. Perairan itu kini bagai kubangan yang membawa dilema besar bagi warga. Bertahan hidup di atas laut tercemar atau hengkang?
Selepas memarkirkan perahu mesin, Syawaluddin (47) berjalan gontai ke rumah kerabatnya di Desa Bete-bete, Bahodopi, Morowali, Sulawesi Tengah. Di tangannya tersampir dua kantong bekal melaut. Terik siang menyengat pada Kamis (8/2/2024). Cahaya matahari memantul di air laut yang keruh. Warnanya mirip dengan tumpukan tanah ore nikel.
”Hari ini dapat 1 kilogram ikan lajang, dijual Rp 25.000. Padahal, beli BBM Rp 30.000, jadi tekor Rp 5.000,” kata ayah enam anak ini.
Syawal, panggilannya, lahir dan besar di sana. Dulunya, Desa Bete-Bete begitu permai. Perbukitan hijau menghampar, bersanding dengan pantai yang begitu indah. Tanah subur dan air laut yang jernih melengkapi berbagai kebutuhan hidup warga. Tidak pernah sekalipun mereka kekurangan.
Medio 2010, pertambangan nikel mulai masuk. Syawal sempat ikut membantu di awal eksplorasi. Belakangan ia melihat gunung mulai dibuka. Pohon-pohon ditebang. Rasa khawatir segera menyergap.
Lima tahun berselang, perubahan kian besar. Ribuan orang berdatangan. Kapal tongkang berukuran raksasa berlabuh di laut. Lahan di kawasan terus dikupas. Sungai menjadi keruh dan laut memerah.
Baca juga: Pilu Nasib Buruh di Gemerlap Hilirisasi Morowali
Hasil tangkapan ikan pun terus berkurang. Ia menyebut kalau dulu hanya dengan berperahu di sekitar rumah, bisa dapat 5 kilogram ikan. Kini, hasilnya sedikit dan ikan-ikan telah tercemar limbah. ”Sekarang kami tidak berani ambil ikan dekat sini. Ikannya sudah tidak sehat.”
Pada 2019, warga demonstrasi besar-besaran terkait dampak pertambangan. Namun, aksi ini berujung penangkapan aparat desa dan sejumlah warga.
Sekarang kami tidak berani ambil ikan dekat sini. Ikannya sudah tidak sehat.
Kini, sedikit kebun saja yang masih tersisa untuk warga. Mau tak mau, sumber penghidupan hanya bisa mengandalkan laut. Masalahnya, hasil yang didapat tak lagi sepadan. Setiap hari ia melaut jauh, menghabiskan bahan bakar lebih dari dua liter. ”Pokoknya harus di luar kapal-kapal besar yang parkir itu,” katanya menunjuk belasan kapal tongkang, tangker, yang berlabuh di lautan. ”Sekarang kami bertahan saja, atau pindah.”
Haslan (34) menuturkan, warga di sekitar Bahodopi serupa. Terjepit dari berbagai sisi. Di perbukitan telah banyak tambang dan kawasan industri raksasa IMIP. Udara semakin sesak, utamanya yang berdekatan dengan kawasan.
Kondisi di perairan juga makin lama semakin memburuk. Laut memerah saat hujan turun dan ikan tidak ada lagi di pesisir. Memaksa mereka melaut lebih jauh. Risikonya, biaya lebih mahal dan waktu tersita lebih lama.
Baca juga: Banjirnya Produk Nikel dan Disorientasi Hilirisasi
Situasi ini membuat ayah tiga anak tersebut mulai memikirkan untuk mencari tempat hidup yang lebih jauh. ”Kalau mau pindah pun, butuh biaya tidak sedikit. Masalahnya, bertahan di sini sudah susah,” kata Haslan.
Situasi yang lebih parah terjadi di Laut Kurisa, Desa Fatufai. Wilayah ini adalah salah satu desa yang sangat dekat dengan kawasan industri. Nelayan yang bertahan di pesisir mulai beralih kerja serabutan. Beberapa dari mereka memulung sampah plastik, atau ojek laut. Sebuah tongkang yang karam sejak dua tahun lalu bahkan masih teronggok di dekat pemukiman dan belum dievakuasi.
Yanti (40), Ibu lima anak, menyambung hidup dengan berjualan nasi. Usaha ikan yang bertahun-tahun dirintis tidak ada lagi. Sebelumnya, ia membudidayakan ikan dalam tiga keramba. Penghasilan puluhan juta setiap bulan.
Berbagai kejadian membuat bisnis keluarganya itu merosot. Keramba hingga rumah warga pernah ditabrak tongkang bermuatan nikel hingga hancur lebur. Mereka hanya mendapatkan ganti rugi.
Baca juga: Gema Pendidikan yang Terkubur Deru Hilirisasi di Bahodopi
Namun, penghasilan mereka redup saat laut semakin berubah. Air laut keruh, juga panas. Ikan-ikan di keramba mati. Jika tetap hidup, bagian dalam ikan rusak. Hal itu ditengarai akibat pembuangan limbah dari kawasan industri.
”Kami itu mau mandi pun sekarang tidak berani. Badan gatal dan panas. Coba saja kalau tidak percaya,” ujarnya. Ia lalu mengambil air dengan timba dari laut di belakang rumah. Saat diraba terasa hangat. ”Itu saluran pembuangannya pas di depan,” katanya menunjuk sebuah saluran pembuangan dengan air yang mengalir deras di seberang.
Perubahan besar
Bahodopi adalah kecamatan di Kabupaten Morowali yang saat ini menjadi sentra nikel Indonesia, bahkan dunia. Perubahan besar terjadi seiring terbangunnya kawasan pemurnian nikel skala besar seluas 6.000 hektar. Saat ini, Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) mengelola kawasan dengan puluhan perusahaan di dalamnya dan menjadi pengekspor olahan nikel terbesar. Lebih dari 80.000 orang bekerja di kawasan ini.
Media Relations Head PT IMIP Dedy Kurniawan mengungkapkan, saluran pembuangan milik perusahaan merupakan bekas air laut yang digunakan untuk mendinginkan boiler PLTU. Setiap dua bulan sekali pihaknya melakukan pengujian di laut untuk mengukur kualitas air laut.
”Kami berulang kali melakukan pengujian dan suhu air laut itu di bawah 30 derajat celsius. Dan, di situ juga tidak ada bahan kimia karena hanya air laut yang kami pompa untuk pendinginan dan dibuang kembali ke laut,” tuturnya.
Baca juga: Kemiskinan Naik di Sentra Pengolahan Nikel, Efek Ganda Hilirisasi Belum Optimal
Terkait pengelolaan air di dalam kawasan industri, Dedy bilang, perusahaan memiliki fasilitas pengelolaan air. Sumber mata air dikelola, ditampung, lalu dialirkan ke pabrik dan memenuhi kebutuhan pekerja. Air buangan lalu diolah sehingga bisa dipergunakan kembali. Hal tersebut juga melalui pengecekan internal ataupun eksternal.
Sementara itu, tentang kondisi laut yang memerah, ia jamin bukan akibat dari kawasan industri. ”Karena di sekitar Bahodopi dan aliran sungainya itu ada tambang dan di hulu malah ada galian C. Jadi, kami tidak ada sedimen dan limbah yang kami buang ke sungai ataupun laut,” katanya.
Aiyen Tjoa, peneliti dari Universitas Tadulako yang berkonsentrasi pada biologi tanah dan ekstraksi logam berat, menuturkan, kondisi laut yang merah harus dipastikan lagi penyebabnya. Sebab, banyak hal bisa terjadi, baik itu memang karena aliran dari sungai, intrusi air laut dari daerah lain, atau penyebab lainnya.
Yang jadi masalah itu kalau dibuang ke laut karena akan berbahaya untuk masyarakat. Kalau ada warga yang alergi, gatal-gatal, itu sebenarnya sudah peringatan. Sudah tanda awal bahwa ada yang terjadi di sekitar mereka.
Namun, yang paling perlu dikhawatirkan, lanjut Aiyen, adalah konsentrasi bahan kimia dari air itu sendiri. Kawasan industri nikel khususnya memakai asam untuk pengolahan nikel. Sisa produksi asam tersebut harus dipastikan apakah diolah atau dibuang ke tempat tertentu.
”Yang jadi masalah itu kalau dibuang ke laut karena akan berbahaya untuk masyarakat. Kalau ada warga yang alergi, gatal-gatal, itu sebenarnya sudah peringatan. Sudah tanda awal bahwa ada yang terjadi di sekitar mereka,” katanya.
Oleh karena itu, ia berharap agar pemeriksaan berkala benar-benar dilakukan dan dipastikan kondisinya. Sebab, hal ini bisa berdampak besar terhadap masyarakat. Selain itu, pemerintah daerah juga harus mengambil langkah penanganan secara menyeluruh. Perbaikan dan evaluasi diperlukan agar kualitas hidup masyarakat tidak semakin memburuk.
”Perusahaan silakan berbisnis, tetapi kesehatan lingkungan dan manusianya juga harus terjaga. Tanggung jawab pemerintah sebagai regulator juga memegang peranan penting,” ujarnya.
Direktur Program Trend Asia Ahmad Ashof Birry menyampaikan, beban lingkungan, kesehatan, dan sosial yang terjadi di Bahodopi merupakan wujud tidak adanya perencanaan yang panjang dalam hilirisasi nikel. Industri yang masuk dalam Proyek Strategi Nasional (PSN) ini terbukti tidak inklusif dan hanya bisa diakses oleh golongan masyarakat tertentu.
Akibatnya, warga sekitar dipaksa bertahan dalam kondisi yang terus berubah. Lingkungan rusak, perairan menjadi keruh serta penuh limbah sedimen dan lainnya. Belum lagi terkait kesehatan dalam jangka panjang masyarakat.
”Kalau kami bilang, ini akhirnya adalah daerah yang dikorbankan atas nama hilirisasi. Masyarakat lokal dipaksa pindah atas situasi yang terjadi. Padahal, dampak hilirisasi juga tidak seperti yang digembar-gemborkan pemerintah,” tuturnya.
Data Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2023 yang dirilis Badan Pusat Statistik pada Juli 2023 menunjukkan, persentase penduduk miskin tercatat naik paling tinggi di sentra penghasil dan pengolah nikel terbesar. Di Sulawesi Tenggara, angka kemiskinannya naik 0,16 persen poin dari 11,27 persen pada September 2022 menjadi 11,43 persen pada Maret 2023.
Peningkatan angka kemiskinan tertinggi kedua ada di Sulawesi Tengah, yang naik 0,11 persen poin dari 12,30 persen menjadi 12,41 persen. Sulawesi Selatan, yang juga wilayah penghasil nikel, mengalami kenaikan angka kemiskinan 0,04 persen poin dari 8,66 persen menjadi 8,70 persen.
Kemiskinan juga terpantau naik di wilayah penghasil dan pengolah nikel lainnya, seperti Maluku Utara. Per Maret 2023, kemiskinan di Maluku Utara naik 0,09 persen poin dari 6,37 persen pada September 2022 menjadi 6,46 persen.
Anak-anak nelayan bermain di Dusun Kurisa, Desa Fatufai, Bahodopi, Morowali, Sulawesi Tengah, Selasa (6/2/2024).
Studi dari Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) dan Center of Economic and Law Studies (Celios) menemukan, meski ekspor hilirisasi nikel meningkat, kualitas kesehatan, mata pencarian, dan ekologi masyarakat justru memburuk. Operasional pengolahan nikel menyebabkan degradasi lingkungan, baik itu penurunan kualitas air, tanah, maupun udara. Nelayan dan petani di sekitar kawasan industri diperkirakan mengalami kerugian hingga Rp 3,64 triliun dalam 15 tahun ke depan.
Limbah ore nikel menyebabkan polutan di perairan dan pembakaran membuat pencemaran di udara. Jika tidak ada langkah berarti, kondisi ini akan terus memburuk.
Fiorentina Refani, peneliti bidang energi dan pertambangan Celios, memaparkan, angka tersebut merupakan akumulasi kerugian masyarakat karena dampak degradasi lingkungan. Riset menghitung dampak kesehatan, pendapatan masyarakat, serta penurunan komoditas pertanian.
”Limbah ore nikel menyebabkan polutan di perairan dan pembakaran membuat pencemaran di udara. Jika tidak ada langkah berarti, kondisi ini akan terus memburuk. Misalnya, limbah di perairan yang bisa menyebabkan efek jangka panjang kesehatan nasional. Sebab, ikan dari kawasan Sulawesi dan Maluku itu disebar ke banyak wilayah,” paparnya, Rabu (21/2/2024).
Situasi ini terjadi, ia melanjutkan, karena sejak awal tidak komitmen hijau dalam Investasi hilirisasi nikel selama ini. Saat ini, bahkan masih ada pemberian izin penggunaan energi batubara di pembangkit listrik untuk smelter. Akibatnya, dampak lingkungan terjadi bertahun-tahun dan tidak ada upaya maksimal untuk menegakkan aturan. Pemerintah sudah seharusnya melakukan moratorium izin dan mengevaluasi kerusakan yang terjadi.