Kerja Satgas Sawit Ditunggu, Konflik di Kalteng Berpotensi Memanas
Perbaikan tata kelola sawit masuk hutan tak kunjung ada hasil. Di satu sisi, konflik di perkebunan sudah makan korban.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah masih menunggu hasil evaluasi pemerintah tentang perkebunan sawit masuk kawasan hutan. Ketegasan aturan itu dinilai berpotensi mencegah konflik agraria.
Sebelumnya, pemerintah pusat membentuk Satuan Tugas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara atau satgas sawit. Satgas dipimpin Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi. Di dalamnya ada Kementerian Keuangan, Kementerian Pertanian, serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Satgas ini dibentuk untuk penanganan dan perbaikan tata kelola industri sawit. Salah satu perhatiannya adalah melihat dan mengevaluasi kembali perkebunan sawit masuk hutan.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perkebunan Kalteng Rizky Badjuri menjelaskan, satgas bekerja sejak April 2023. Targetnya, penyelesaian perkebunan masuk kawasan hutan hingga Desember 2023. Namun, hingga kini hasilnya belum diketahui.
”Kami masih menunggu, begitu juga pengusaha. Satgas ini punya peranan penting dan bisa berdampak pada iklim investasi di Kalteng, terutama mencegah konflik dengan masyarakat,” ungkap Rizky di Palangkaraya, Jumat (16/2/2024).
Rizky menambahkan, pihaknya tidak terlibat jauh dalam kerja satgas sawit di Kalteng sehingga hanya bisa menunggu.
”Semakin lama hasilnya keluar, dampaknya banyak,” katanya.
Kalteng, lanjut Rizky, merupakan salah satu wilayah yang menjadi fokus kerja satgas sawit. Alasannya, di sana ada 632.133,96 hektar kebun sawit di kawasan hutan dari total 3,3 juta hektar kawasan perkebunan sawit di Indonesia yang diduga masuk kawasan hutan.
Pemerintah menargetkan persoalan legalitas perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan bisa segera diselesaikan melalui satgas sawit. Industri kelapa sawit diminta menyelesaikan syarat administrasi yang dibutuhkan. Upaya ini diharapkan dapat mendukung tata kelola sawit yang berkelanjutan.
Berdasarkan Peta Kawasan Hutan 2021, luas tutupan sawit di kawasan hutan sebesar 3,3 juta hektar. Sebanyak 237.000 hektar sudah memiliki surat keputusan (SK) pelepasan kawasan hutan untuk sawit dan sekitar 913.000 hektar masih dalam proses penetapan SK. Namun, seluas 2,2 juta hektar belum memiliki SK dan belum berproses untuk mendapatkan SK pelepasan kawasan hutan tersebut.
”SK itu sampai sekarang belum sampai ke daerah,” ujar Rizky.
Wakil Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Kalteng Rizky Djaya mengungkapkan, pihaknya mengikuti aturan yang dibuat pemerintah. Sejauh ini, GAPKI mendorong 100 lebih anggotanya di Kalteng agar segera membuat laporan administrasi yang diperlukan dalam tata kelola sawit.
”Hasilnya bisa ditanya ke pemerintah,” ujarnya.
Konflik
Sebelumnya, konflik yang terjadi di Desa Bangkal, Kabupaten Seruyan, menewaskan Gijik (35), warga yang ikut unjuk rasa menuntut kebun plasma salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit di desanya. Ia tewas pada Oktober 2023.
Saat itu, polisi menjaga unjuk rasa di kawasan perusahaan. Mereka menyemburkan gas air mata dan menembakkan peluru karet untuk membubarkan masa.
Dalam proses pembubaran tersebut, Gijik tertembak di dada. Ia tewas di lokasi kejadian. Hingga kini pelakunya belum ditangkap.
Lalu, ada Taufik Nurrahhman (21) yang tertembak di bagian pinggang. Beberapa orang lainnya ikut tertembak peluru karet dan terdampak gas air mata.
Konflik di Desa Bangkal sudah dimulai sejak 17 tahun lalu. Saat itu, masyarakat menolak kehadiran perusahaan perkebunan.
James Watt (65), salah satu warga Bangkal, menjelaskan, masyarakat akhirnya luluh dan menerima perusahaan. Kala itu, pemerintah meyakinkan warga bahwa perusahaan bisa membawa kesejahteraan untuk warga.
Kini, yang terjadi sebaliknya. Konflik bahkan kian memanas ketika masyarakat mengetahui sebagian kecil lahan perkebunan sawit masuk dalam kawasan hutan.
Total terdapat 1.175 hektar kebun sawit perusahaan yang masuk kawasan hutan. Lahan itu yang dituntut masyarakat untuk dikembalikan agar dikelola masyarakat.
”Kalau kebun warga masuk kawasan hutan, kami dilarang bekerja. Kalau perusahaan tidak. Ini tidak adil,” kata James.