Pilu Nasib Buruh di Gemerlap Hilirisasi Morowali
Ribuan buruh di kawasan Morowali bergelut untuk ruang hidup sehari-hari. Mereka juga dibayangi kecelakaan kerja.
Puluhan ribu buruh industri hilirisasi nikel di Morowali bertarung dengan mimpi setiap hari. Mereka memenuhi kamar sumpek di atas laut, jalanan yang rimbun dengan sampah hingga debu yang tiada habisnya. Kecelakaan kerja yang mengancam nyawa membayangi tak kenal waktu.
Di tengah rinai hujan yang mengguyur Bahodopi, Morowali, Sulawesi Tengah, Amin (40) beranjak pulang. Ia satu dari puluhan ribu karyawan hilirisasi nikel di kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) yang pada Rabu (7/2/2024) sore itu telah selesai kerja. Sebagian lainnya masih lembur, atau baru masuk.
Sesaat setelah tiba, ia membersihkan diri dan mengganti pakaian. Seragam berwarna telur bebek miliknya kusam dan penuh noda. Kamarnya berukuran sekitar 4x7 meter, dengan satu sekat ruangan serupa ruang tamu, dan satu kamar tidur. Dapur dan kamar mandi berimpitan. Kamar tersebut disewa Rp 700.000 per bulan.
”Sudah ini yang paling murah, dari tripleks dan papan. Biar di atas laut yang penting aman, bisa tidur sudah cukup,” kata Amin. ”Kalau yang permanen seperti di depan itu Rp 1,1 juta,” katanya menunjuk bangunan kos permanen.
Tempat tinggalnya ini memang berdiri di atas laut. Tiang rumah adalah bambu dan kayu. Lantai dari papan yang berderit saat dipijak. Gelombang laut pecah di bawah lantai. Pemandangan dari tempat ini adalah kapal raksasa yang berlabuh di perairan.
Ia telah menetap di tempat ini sejak dua tahun lalu, setiba dari Palopo, Sulawesi Selatan, untuk mengadu nasib di Morowali. Industri pemurnian dan pengolahan nikel PT IMIP menjadi tujuan utamanya. Bertani di kampung dianggapnya tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan hidup sekeluarga. Ia juga tidak begitu paham berbagai kasus kecelakaan kerja yang rutin berseliweran di media.
Keluarga pekerja bercengkerama di selasar kos yang berdiri di atas laut di Fatufia, Bahodopi, Morowali, Sulawesi Tengah, Rabu (7/2/2024). Puluhan ribu pekerja tinggal di kamar kos yang kusam, dekat dengan sampah, dan rentan penyakit di wilayah hilirisasi nikel terbesar di Indonesia ini.
Sebelum berangkat, Amin kursus dan membuat SIM B2, untuk alat berat. Ia menghabiskan modal sekitar Rp 10 juta. Usahanya tidak sia-sia dan ia langsung diterima sebagai operator yunior dengan gaji pokok Rp 2,9 juta. Ditambah uang perumahan, bonus produksi, tunjangan, dan lembur, ia rerata mendapatkan Rp 6 juta.
Berselang beberapa waktu, ia jadi operator permanen. Total pendapatannya bisa mencapai Rp 7,9 juta dengan delapan jam kerja dalam sehari, dan juga lembur. ”Saya cuma pakai Rp 2,5 juta, selebihnya kirim ke anak istri di kampung. Di sini harus dihemat-hematkan,” katanya.
Bekerja sebagai buruh di smelter, menurut dia, masih jauh dari bayangan. Ia mendambakan penghasilan yang di kisaran Rp 10 juta, dengan beban kerja yang sama. Terlebih lagi, kasus kecelakaan kerja sering kali terjadi.
Baca juga: Iming-iming Upah Besar di Morowali Berujung Nestapa
”Kalau saya lihat tidak aman, saya tidak mau kerja biar diperintah. Yang kasihan itu anak-anak baru, yang takut menolak,” katanya.
Irsan (27), buruh lainnya, punya pengalaman pahit saat bekerja. Pada 2021, ia terkena pelat baja di perut saat bekerja di mesin pengemasan. Pemuda asal Sulawesi Selatan ini mendapatkan 18 belas jahitan atas kejadian tersebut.
Saat itu, ia mendapat giliran sif malam, dari pukul 00.000 hingga pukul 08.00 pagi. Tepat pukul 05.30, saat berada di dalam ruangan pengemasan, rekannya menyalakan mesin. Ia tidak sempat keluar. Pelat baja menancap di perutnya.
”Saya harus istirahat sebulan. Yang lebih heran, karena saya kena Surat Peringatan (SP) 1. Di dalam (perusahaan) begitu, yang korban dan yang terlibat kena sanksi semua,” tuturnya. Meski heran dan kecewa, ia tidak ingin mempersoalkan hal tersebut. Ia lebih memilih diam dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga besarnya.
Saat ini, ia rerata mendapatkan gaji Rp 5 juta hingga Rp 8 juta. Sebagian penghasilan itu dikirim ke orang tua, dan sebagian lagi untuk membuat usaha pencucian kendaraan yang ia jalankan. Ia berencana masih akan bekerja, mengumpulkan modal sebelum pulang ke kampung halaman.
”Karena ternyata,” kata Irsan, ”pendapatan tidak setinggi yang dibicarakan orang. Belum lagi faktor keselamatan, kesehatan, dan tingginya biaya hidup.”
Kecelakaan kerja
Media Relations Head PT IMIP Dedy Kurniawan membantah jika pihaknya memberi sanksi terhadap pekerja yang terlibat kecelakaan kerja. Para pekerja yang terluka juga mendapat penanganan dan perawatan yang memadai.
”Itu hoaks kalau ada yang bilang kecelakaan kerja lalu disanksi. Saya berani jamin,” katanya.
Terkait peningkatan keselamatan, pihaknya terus melakukan evaluasi dan perbaikan. Mulai dari peralatan kerja, peralatan keselamatan, pola kerja, dan manajemen kerja. Hal itu terus dilakukan untuk meminimalkan terjadinya kecelakaan di lingkup perusahaan.
Hal yang sama juga diatur pada jam kerja yang dibatasi setiap hari. Setiap pekerja bertugas 8 jam kerja dan maksimal 3 jam lembur dalam sehari. ”Hanya kadang yang anak muda itu kalau sudah dekat dengan pengawas kadang minta lebih untuk kerja lembur. Itu tidak kami benarkan,” ujarnya.
Kawasan IMIP adalah daerah hilirisasi nikel dengan tenaga kerja mencapai 80.000 orang. Perusahaan di kawasan yang mengelola 6.000 hektar lahan ini mengolah bahan baku nikel menjadi tiga kluster besar, yaitu baja nirkarat, baja karbon, dan komponen baterai. Investasi di kawasan ini mencapai 21 miliar dollar AS pada 2022. Hasil ekspor triliunan yang sebagian besar dikirim ke China, menjadi bagian nilai tambah nikel yang rutin disampaikan pemerintah.
Akan tetapi, kecelakaan kerja memang menjadi momok di kawasan ini. Pada Desember lalu, sebuah tungku PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS), salah satu perusahaan yang beroperasi di kawasan IMIP, meledak hebat pada Minggu (24/12/2023). Kejadian itu menyebabkan 21 orang meninggal dan puluhan lainnya terluka. Setelah lebih dari sebulan penyelidikan, polisi menetapkan dua orang tersangka yang merupakan pekerja asal China.
Pertengahan Januari, kecelakaan kembali terjadi di kawasan IMIP pada Jumat (19/1/2024) malam. Saat itu, tungku smelter di PT Sulawesi Mining Investment meluap. Dua pekerja terluka.
Tidak hanya di kawasan IMIP, tapi kecelakaan kerja juga terjadi di banyak tempat lainnya di wilayah Sulawesi Tengah. Salah satunya ialah kebakaran smelter di PT Gunbuster Nickel Industry pada Kamis (28/12/2023), pukul 17.20 Wita. Kebakaran terjadi di lantai 2 jalur 3 PT GNI di Desa Bunta Kecamatan Petasia Timur, Morowali Utara. Tak ada korban jiwa dalam peristiwa ini.
Baca juga: Pemerintah Didesak Bentuk Tim Investigasi Independen Ledakan Smelter di Morowali
Di pengujung tahun, insiden lain terjadi di perusahaan tambang PT Sumber Permata Mineral di Petasia Timur, Morowali Utara, Sabtu (30/12/2023). Peristiwa ini menyebabkan dua pekerja tewas tertimbun.
Dalam penelitian Trend Asia, sepanjang 2015-2022 kecelakaan kerja telah memakan 53 korban jiwa dan 76 korban luka di 15 lokasi smelter nikel di Sulawesi dan Maluku. Pada periode yang sama, di IMIP saja telah terjadi 18 insiden kecelakaan yang memakan 15 korban jiwa dan 41 korban luka.
Direktur Program Trend Asia Ahmad Ashof Birry menyampaikan, nasib buruh di program hilirisasi nikel pemerintah sangat miris. Mereka terancam dalam keselamatan kerja, upah, dan kecelakaan yang berulang. ”Ini orang meninggal terus, tetapi tidak ada sanksi berat. Apa yang terjadi? Komitmen awal pemerintah dengan Investasi ini sebenarnya apa?” tanya Ashof.
Situasi ini, ia melanjutkan, terjadi akibat struktur kerja sama yang cenderung potong ongkos sana-sini. Terlebih lagi, dengan sistem pembeli tunggal, dan Investasi dari satu negara, membuat perusahaan bisa mengambil keputusan merugikan pekerja, tanpa adanya perlindungan dari negara.
Seorang pekerja yang baru tiba di kamar kos-nya di Fatufia, Bahodopi, Morowali, Sulawesi Tengah, Rabu (7/2/2024). Puluhan ribu pekerja tinggal di tempat yang kusam, dekat dengan sampah, dan rentan penyakit di wilayah hilirisasi nikel terbesar di Indonesia ini.
Laode M Syarif, Direktur Eksekutif Kemitraan dan mantan wakil ketua KPK mengatakan, nafsu hilirisasi pemerintah telah menerabas berbagai mekanisme pengaman manusia, sosial, dan lingkungan. Berbagai regulasi, mulai dari Undang-Undang Minerba, UU Cipta Kerja, hingga UU KPK, dituntaskan cepat oleh pemerintah yang ditengarai banyak ditunggangi kepentingan bisnis.
”Tidak heran bahwa kerusakan lingkungan dan kecelakaan marak terjadi dan berulang-ulang. Itu adalah bukti bahwa pengawasan juga menjadi lemah dan sangat mungkin dikorupsi. Nikel didorong katanya untuk transisi energi yang bersih dengan baterai, tapi ia percuma jika praktiknya merusak lingkungan dan tidak manusiawi pada pekerja,” ujar Laode dalam diskusi daring bersama buruh, Kamis (9/2/2024).
Bagi Irsan, dan ribuan pekerja lainnya, mereka ingin bekerja dengan layak, dan menerima manfaat yang lebih. ”Dalam bayangan saya,” tutur Irsan, ”kerja di Morowali itu bisa gaji besar, untuk bantu keluarga. Tapi tidak seindah dalam pikiran. Saya bertahan dulu, kumpul uang, biar bisa membangun di kampung.”