Manado dinilai pantas menyandang peringkat kota toleran. Namun, upaya kreatif masih diperlukan demi keharmonisan.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
Manado hampir tak pernah absen dari daftar 10 kota paling toleran di Indonesia. Dalam Indeks Kota Toleran atau IKT 2023 yang dirilis Setara Institute pada akhir Januari 2024, ibu kota Sulawesi Utara itu menempati posisi keempat dengan skor 6.400, naik dari peringkat kedelapan di tahun sebelumnya.
Singkawang di Kalimantan Barat masih menempati peringkat pertama IKT 2023 dengan skor 6.500, disusul Bekasi (Jawa Barat) dengan skor 6.460 dan Salatiga (Jawa Tengah) dengan nilai 6.450. Manado dan tiga kota tersebut pun menjadi kota-kota terbaik dalam menjaga kerukunan dan keharmonisan lintas agama dari total 94 kota.
Ismail Hasani, direktur Riset Setara Institute, menyebut capaian ini bisa direalisasikan dengan tiga jenis kepemimpinan yang menopang ekosistem toleransi, yaitu kepemimpinan politik, kepemimpinan sosial, dan kepemimpinan birokrasi. Dari ketiganya, yang paling krusial menurut dia adalah kepemimpinan birokrasi.
“Bapak-bapak dan ibu-ibu wali kota ini sering disebut ‘anak kos.’ Kenapa? Karena dua periode bisa selesai. Birokrasilah yang sebenarnya menggerakkan kepemimpinan di tingkat daerah. Kalau birokrasi enggak jalan, (pasti) ambruk,” kata Ismail dalam acara penganugerahan IKT 2023 di pengujung Januari 2024.
Di wilayah Manado, insiden intoleransi memang nyaris tak pernah terjadi selama lima tahun belakangan. Namun, pada 2016, ada sebuah isu yang dinilai betul-betul menguji kualitas toleransi di Manado, yaitu rencana pembangunan taman religi di wilayah permukiman padat Wenang Utara, tepat di sebelah timur Jembatan Soekarno.
Menurut artikel yang ditulis Marlen Novita Makalew et al dari Universitas Sam Ratulangi yang diterbitkan dalam Jurnal Governance pada 2021, rencana tersebut akan berujung pada pembongkaran Masjid Al-Khairiyah yang telah berdiri sejak 1968. Karenanya, imam dan umat masjid tersebut menyatakan penolakan, dan menyatakan akan memperluas masjid.
Rencana pembangunan tersebut berujung pada demonstrasi yang menentang pembangunan Masjid Al-Khairiyah. Demonstrasi dimotori organisasi masyarakat kebudayaan yang menamai diri Aliansi Makapetor dengan anggota mayoritas kristen.
Aliansi tersebut menentang pembangunan masjid menjadi lebih dari 10 x 10 meter persegi sesuai aturan. Di samping itu, pelebaran Masjid Al-Khairiyah disebut akan menyalahi aturan yang menetapkan jarak antarrumah ibadah 200 meter satu dengan lainnya. Demonstrasi akhirnya memicu ketegangan hubungan pemeluk agama Islam dan Kristen karena adanya narasi pembongkaran paksa masjid.
Dalam situasi inilah Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Manado yang merupakan bagian dari Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Manado memainkan perannya. Ahmad Rajafi dan Syaifullah dari Sekolah Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Manado dalam penelitiannya pada 2017 menyebut FKUB segera menyerukan bahwa isu tersebut merupakan isu politik yang memecah belah kerukunan.
Pada akhirnya, penegakan hukum terhadap pelebaran masjid dilakukan oleh kepolisian. Wali Kota Manado saat itu, Vicky Lumentut, kemudian juga menggelar rapat klarifikasi bahwa Masjid Al-Khairiyah tidak akan dibongkar. Dengan demikian, masyarakat pun tidak segera terpancing oleh isu-isu berbau suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Hal ini adalah wujud kepemimpinan politik serta birokrasi yang nyata dalam mencegah intoleransi di Manado. Ismail Hasani dari Setara Institute mengatakan, intoleransi adalah salah satu bentuk ancaman keamanan nasional. Apalagi, intoleransi adalah pintu masuk atau anak tangga pertama menuju radikalisme dan terorisme.
Untuk itu, lanjut Ismail, Setara Institute berencana terus mengajak pemda untuk menyusun Rancangan Aksi Daerah (RAD) Pencegahan Ekstremisme berbasis Kekerasan. “Beberapa kota inisiatifnya sudah muncul. Ini bisa melengkapi capaian bapak ibu (wali kota) sekalian,” kata dia.
Lima tahunan
Dua tahun setelah itu, pada Oktober 2018 atau enam bulan sebelum Pemilu 2019, insiden berbau intoleransi kembali terjadi di Manado. Saat itu, penceramah kelahiran Manado, Habib Bahar bin Smith, berkunjung ke Sulut, tetapi dihadang demonstrasi besar yang diinisiasi oleh ormas-ormas adat.
Bahar yang tertahan di Bandara Sam Ratulangi akhirnya batal masuk ke kota Manado. Terlepas dari kemungkinan konflik antaragama yang terjadi, Manado segera kembali kondusif setelah kejadian itu.
Dosen Sosiologi Agama IAIN Manado, Taufani, menyebut Manado memang cenderung aman dengan pemerintah yang tidak memihak pada kelompok agama tertentu serta masyarakat yang menjunjung tinggi slogan Torang Samua Basudara. Akan tetapi, situasi menjadi rawan di tahun-tahun politik.
“Polanya itu lima tahunan. Selalu ada isu politik identitas yang dimainkan,” kata Taufani sembari menyinggung bentrok dua ormas pendukung Israel dan Palestina yang terjadi di Bitung pada akhir 2023.
Kejadian di Bitung juga mencerminkan kerawanan intoleransi akibat insiden-insiden yang terjadi di sekitar Kota Manado. Ini terjadi, misalnya, pada 2020 di Desa Tumaluntung, Minahasa Utara ketika sebuah mushala dirusak oleh sekelompok orang yang mengenakan atribut adat.
Akan tetapi, Taufani menilai sejauh ini berbagai risiko insiden intoleransi dapat diatasi berkat sikap pemerintah yang tak memihak agama mana pun, yang mayoritas sekali pun. Ia juga menyebut masyarakat Manado cenderung patuh pada imbauan untuk menjaga kerukunan.
“Masyarakat Manado punya mekanisme kreatif ketika melihat adanya potensi-potensi konflik, yaitu mengembalikan lagi (bahwa) torang samua basudara. Lagu-lagu disko tanah atau lagu-lagu di Manado juga memuat pesan-pesan itu, sehingga masyarakat menjadi sadar,” kata dia.
Ke depan, pekerjaan rumah pemkot untuk memupuk dan melestarikan toleransi di Manado, kata Taufani, adalah dengan menggenjot pembangunan manusia maupun infrastruktur. Hal ini perlu menjadi perhatian, terutama untuk wilayah utara Manado yang didominasi warga muslim dengan pekerjaan yang rata-rata informal.
Untuk memitigasi konflik berbasis agama, Taufani juga mengimbau pemerintah untuk memberikan beasiswa bagi para pegawai pemerintahan untuk belajar studi perdamaian dan konflik. Hal ini penting, mengingat para aparatur sipil negara adalah bagian dari birokrasi yang menjalankan pemerintahan terlepas dari periode kepemimpinan wali kota.
Sementara itu, Wakil Wali Kota Manado Richard Sualang menyatakan toleransi yang sudah terbentuk di Manado dapat terus dipupuk dengan cara memformalkan kegiatan-kegiatan yang dipayungi hukum. Ini tengah diupayakan melalui wacana peraturan daerah soal toleransi.
“Kami ingin mengintensifkan komunikasi antartokoh beragama dan antarpemeluk beragama yang ada di Kota Manado, sehingga terbentuk tingkat toleransi yang lebih tinggi,” kata Richard tanpa menjelaskan bagaimana perda tersebut dapat bekerja nantinya.
Pada akhirnya, Richard menilai Manado pantas menyandang peringkat keempat kota toleran. Akan tetapi, upaya-upaya kreatif masih terus diperlukan untuk melanggengkan keharmonisan kehidupan beragama.