Paman Sayur dan Rentannya Lumbung Pangan Kalimantan
Dilarang membakar menyebabkan ladang-ladang di Kalteng ditinggalkan. Warga bergantung pada penjual sayur keliling.
Hampir 10 tahun terakhir, banyak ladang warga Kalimantan Tengah ditinggalkan setelah muncul larangan membakar lahan. Imbasnya, warga yang dulu mandiri kini bergantung pada paman sayur atau penjual sayur keliling. Kemandirian di daerah yang dulu lumbung pangan pun terancam.
Rabu (7/2/2024) pagi, Suwanto (37) sudah memacu kencang sepeda motor tua miliknya keluaran 16 tahun lalu. Dia hendak pergi ke rumah Deni Irmanto (32), petani di Kalampangan, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
Sudah dua tahun terakhir, Suwanto melakukan aktivitas serupa. Setiap pagi, dia selalu mengisi keranjang di jok motornya dengan semua sayuran yang dipanen Deni, perantau asal Ngawi, Jawa Timur. ”Ada cabai rawit, bayam, sawi, mentimun, tomat, hingga bawang merah,” katanya.
Seperti Deni, Suwanto juga berasal dari Ngawi. Minim kesempatan kerja di daerah asal, dia datang menggunakan kapal laut sekitar lima tahun lalu ke Palangkaraya. Di ”rumah” yang baru, dia menjadi ”paman” untuk beragam jenis pekerjaan. Sebutan paman lazim diberikan warga Kalteng pada semua penjual keliling.
Suwanto pernah menjadi paman pentol (makanan seperti bakso). Dia berkeliling SD-SD di Palangkaraya untuk menjajakan jualannya demi bayaran Rp 100.000 per hari. Akan ada bonus 10 persen jika semua barang jualannya ludes dalam sehari.
”Biasanya jual 500-1.000 pentol per hari. Harganya Rp 1.000-Rp 5.000 per biji, bergantung ukurannya,” kata Suwanto.
Baca juga: Robohnya Lumbung Pangan Dayak Kalimantan
Tiga tahun jadi paman pentol, dia mencoba menjadi paman lainnya. Merasa bisa meraup untung lebih besar, pilihannya jatuh menjadi penjual sayur keliling. Tabungan milik dia dan sang istri sebesar lebih kurang Rp 8 juta digunakan untuk membuat keranjang sayur. Naluri berdagangnya membuahkan hasil.
”Sekarang, dalam sehari bisa bawa Rp 500.000, untung bersihnya lebih dari Rp 200.000,” ujarnya.
Jumlah itu jelas lebih banyak ketimbang berjualan pentol. Keuntungan Suwanto itu juga setara dengan perjalanan jauh yang mesti ia tempuh. Dalam sehari, dia bisa mengemudikan motornya sejauh 85 kilometer. Sasarannya adalah pelanggan di desa-desa sekitar Kabupaten Pulang Pisau, bahkan Kabupaten Kapuas. Di sana, kehadiran Suwanto dan paman pentol lainnya sangat ditunggu warga.
”Saya pernah sampai ke Kalumpang di Kabupaten Kapuas. Jaraknya hampir 120 kilometer dari Kota Palangkaraya. Semua sayurnya berasal dari Deni,” katanya.
Bekal bertani
Sama-sama merantau dari Ngawi, pengalaman Deni berbeda dengan Suwanto. Datang tiga tahun lalu, Deni percaya diri di tanah rantau. Dia petani berpengalaman di Ngawi. Hingga akhirnya kenyataan berkata lain. Bertani di Kalimantan tidak semudah di Jawa. Deni mengaku butuh usaha dua kali lipat lebih besar agar bisa memanen sayur-mayurnya.
Di Ngawi, Deni mengatakan, mudah menanam apa saja. Ngawi dikaruniai tanah vulkanis Gunung Lawu yang subur. Sebaliknya, di Palangkaraya, tanahnya bergambut, asam tinggi, dan penuh air.
”Di Ngawi, tanam apa saja mudah tumbuh. Di sini, harus lihat kondisi tanah dan banyak perlakuan lainnya.” ucapnya.
Ia mencontohkan, tanah yang sekarang ia gunakan dulu harus dibakar untuk menyeimbangkan unsur hara tanah. ”Prosesnya lebih dari belasan tahun. Sudah selama itu saja sampai sekarang belum bisa ditanami padi sawah,” kata Deni yang kini menggarap lahan milik mertuanya, transmigran generasi pertama sekitar tahun 1983.
Saat ini, Deni ikut aturan pemerintah tanpa membakar. Namun, ia sudah terbiasa dengan pengetahuan bertani. Untuk menyiasatinya, dia kerap membolak-balik tanahnya sembari memberikan cairan dekomposer. Cara itu biasanya dilakukan petani di Ngawi untuk meningkatkan kesuburan tanah.
Aturan adat
Solusi terbaik sesuai kebiasaan bertani itu juga yang tengah dinantikan banyak peladang tradisional di Kalteng. Setelah membakar lahan dilarang pemerintah tahun 2015, belum ada alternatif lain yang diandalkan ratusan ribu peladang untuk tetap berpenghasilan. Ujungnya fatal. Lahan yang dulu jadi sumber penghidupan pun ditinggalkan.
Sanyo (54), warga Kalumpang, Kapuas—salah satu tempat Suwanto berjualan sayur—adalah salah satu peladang yang rindu berladang lagi. Setelah larangan muncul, ia tidak lagi mandiri. Kini, Sanyo merasakan rumitnya harus membeli semua kebutuhan pangannya, baik itu beras maupun sayuran.
”Kami (peladang tradisional) kalau ke ladang bukan menanam padi saja, ada juga sayurannya,” ujarnya.
Peladang di Kalumpang, kata Sanyo, biasanya menanam terong, labu putih, timun suri, bawang dayak (Eleutherine bulbosa), cabai, serta empon-empon untuk bumbu. Di sekitar ladang, yang berdekatan dengan hutan, ada juga aneka buah-buahan, baik yang dibudidayakan maupun buah liar.
Di Kalumpang, saat pengumpulan data pangan dilakukan Kompas tahun 2022, ditemukan 24 jenis buah liar dan 61 buah budidaya. Bahkan, ragam pisang yang ditanam di Desa Kalumpang sebanyak 14 jenis. Namun, semua itu kini tinggal kenangan.
”Jadi, karena sekarang sudah tidak ke ladang, tidak ada padi dan tidak ada sayur. Ujungnya, kami beli di paman sayur. Setiap bulan sekarang bisa habis Rp 1 juta. Dulu, uang hanya untuk menabung,” kata Sanyo yang kini hanya menjaga kios di desanya sambil berharap tas anyaman rotan istrinya laku. Penghasilannya tak menentu, ditambah kini ia sakit-sakitan.
”Ada yang bekerja di perkebunan sawit hingga tambang ilegal. Semua karena larangan membakar,” imbuhnya.
Susah menanam
Pembakaran ladang yang dilakukan warga jauh berbeda dengan metode penjahat lingkungan yang sembarangan membakar lahan dan memicu kebakaran hutan. Sudah berusia ratusan tahun, pembakaran ladang dibatasi aturan adat.
Sanyo mengatakan, proses paling awal adalah memilih lokasi. Saat itu, mantir (pemuka atau pemimpin ritual) adat memberikan persembahan seekor ayam atau sebutir telur kepada Ranying Hatalla, Penguasa Alam. Tujuannya, agar tidak ada halangan dalam berladang.
Proses selanjutnya membersihkan lahan atau disebut meneweng dalam bahasa Ngaju. Saat itu, peladang mulai menebas pohon-pohon dan rerumputan di lokasi. ”Laki-laki dan perempuan ikut serta. Berladang adalah kegiatan bersama, seluruh keluarga. Ini membuat hubungan antarkeluarga semakin harmonis,” katanya.
Menurut dia, ada dua jenis padi yang dibudidayakan, yaitu beras dan ketan. Rata-rata satu keluarga peladang bisa menanam 5-10 varietas padi dengan 1-2 padi utama yang disebut upun benyi.
Saat berladang dulu itu enak, semuanya ada. Beras buat makan satu tahun, bahkan lebihnya bisa dijual. Sayur ada, berburu bisa. Sekarang biar ada food estate , kami tetap saja susah. (Sanyo)
Benih padi utama ini biasanya ditanam persis di tengah ladang, dikelilingi beberapa jenis padi lain. Bagian paling luar biasanya ditanami padi pulut atau ketan. Sebagian peladang juga menanam jagung atau bahkan tebu di pinggir lahan.
Dulu, mereka juga menanam jawawut dan jali-jali yang dianggap bisa jadi pelindung padi. Tujuannya, menahan hama, seperti tikus, atau burung agar tidak memakan padi utama.
”Kini, jenis padi beras dan ketan lokal rentan hilang. Kebiasaan menentukan tahun baru melalui siklus di ladang juga bisa tidak dikenal lagi. Semua gara-gara kita tidak bisa menanam,” katanya.
Lumbung pangan
Sejauh ini, kekhawatiran itu masih menjadi hantu. Solusi sudah banyak diapungkan, tapi gagal memberi hasil terbaik.
Tahun 2016, tawaran solusi Badan Restorasi Gambut yang kini berubah menjadi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove belum ideal. Usaha ternak sapi, membuat sedotan, hingga padi sulit membuat warga sejahtera.
Selanjutnya, datang proyek food estate atau lumbung pangan nasional pada tahun 2019. Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Peternakan Kalteng Sunarti pernah menyebut, food estate lebih dari sekadar program nasional. Di dalamnya, ada solusi masalah pangan di Kalteng.
Awalnya menumbuhkan harapan lewat kucuran dana raksasa, hasil akhirnya masih sulit ditebak. Produksi beras di Kalteng, misalnya, belum naik meski sudah ada food estate.
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) Kalteng, produksi padi tahun 2020 sebanyak 425.110 ton gabah kering giling (GKG). Jumlah itu turun 18.450 ton dibandingkan tahun 2019 sebanyak 443.560 ton GKG.
Tahun 2022, produksi padi tidak kunjung beranjak, hanya 343.920 ton GKG. Pada tahun 2023, jumlahnya bahkan hanya 334.730 ton GKG.
”Saat berladang dulu itu enak, semuanya ada. Beras buat makan satu tahun, bahkan lebihnya bisa dijual. Sayur ada, berburu bisa. Sekarang biar ada food estate, kami tetap saja susah,” kata Sanyo.
Bagi pebisnis seperti Suwanto, kegalauan Sanyo dan peladang lain adalah peluang. Buktinya, Suwanto tengah menyusun rencana menjadi tengkulak sayur.
Nantinya, ia tidak hanya akan berkeliling menjual sayur kepada warga. Dia juga bakal memasok sayur kepada pedagang lain. Suwanto seperti yakin, jika krisis pangan masih terjadi, peluang mendatangkan cuan pasti bakal datang.
Bukan salah Suwanto apabila dia jeli memanfaatkan peluang. Namun, peladang yang terbuang dari ladang butuh pendampingan. Jangankan umpan, apalagi kail, mereka bahkan kebingungan harus datang ke kolam yang mana. Jika sudah begitu, krisis ini pasti tidak akan berhenti.
Baca juga: Sengkarut Lumbung Pangan Kalteng