Laju Perokok di Banda Aceh Tak Terbendung, Picu Kemiskinan
Pengeluaran belanja rokok di Aceh menjadi terbesar kedua setelah belanja beras. Konsumsi rokok jadi beban ekonomi.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Penegakan Qanun/Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2016 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Banda Aceh, Aceh, tidak berjalan maksimal. Akibatnya, upaya menahan laju perokok, terutama pada kelompok pemula, kian sulit terwujud. Padahal, merokok berkontribusi pada meningkatnya kemiskinan di Aceh.
Hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh pada 2021 menunjukkan, kontribusi rokok terhadap garis kemiskinan sebanyak 12,29 persen atau kedua terbesar setelah kebutuhan beras. Artinya, alokasi belanja rokok yang dikeluarkan masyarakat Aceh nyaris setara dengan belanja beras.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh Supriyadi mengungkapkan, dari sekitar 80 persen keluarga di Banda Aceh, terdapat anggota keluarga yang merokok. Adapun jumlah keluarga di Banda Aceh 75.114 keluarga dari 255.400 jiwa.
Perokok dewasa sukar diturunkan karena mereka telah merokok bertahun-tahun. Tingkat ketergantungan pada rokok sudah sangat kuat. Pemkot Banda Aceh kini lebih fokus memutuskan mata rantai perokok pada usia muda atau perokok pemula.
”Sosialisasi ke sekolah-sekolah diperkuat, jangan sampai ada penambahan perokok pemula,” kata Supriyadi, dalam diskusi bertajuk ”Peningkatan Kapasitas Dai Perkotaan dalam Penerapan Kawasan Tanpa Rokok”, Kamis (25/1/2024), di Banda Aceh.
Kontribusi rokok terhadap garis kemiskinan sebanyak 12,29 persen atau kedua terbesar setelah kebutuhan beras. Artinya, alokasi belanja rokok yang dikeluarkan masyarakat nyaris setara dengan belanja beras.
Merokok membawa dampak buruk pada kesehatan perokok dan orang lain yang terpapar asapnya. Dari sisi ekonomi, belanja rokok telah menjadi beban biaya hidup keluarga. Padahal, seharusnya biaya rokok dapat dialihkan untuk pemenuhan kebutuhan makanan bergizi.
”Hasil penelitian kami, 98 persen pada keluarga anak stunting ada anggota keluarga yang merokok,” kata Supriyadi.
Pembuatan Qanun/Perda Kota Banda Aceh No 5/2016 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) merupakan usaha pemerintah menekan angka pertumbuhan perokok pemula. Dalam qanun itu terdapat 12 tempat yang tidak boleh merokok, di antaranya di lingkungan kantor pemerintah, sarana pendidikan, sarana ibadah, dan olahraga.
Namun, Supriyadi menemukan masih ada warga yang merokok di KTR tersebut. Dia menilai kesadaran warga masih rendah dan penegakan hukum lemah.
Penegakan lemah
Kepala Bidang Ketenteraman dan Ketertiban Umum Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah Kota Banda Aceh Zakwan mengatakan, pelanggaran Qanun No 5/2016 tentang KTR masuk kategori tindak pidana ringan. Sanksi terhadap orang yang merokok di KTR adalah denda Rp 200.000 hingga Rp 500.000 atau kurangan tiga hingga lima hari.
Namun, operasi lapangan dan sidang lapangan terhadap pelanggar qanun tersebut jarang dilakukan. Pada 2022, Satpol PP Banda Aceh hanya melakukan empat kali operasi dan tahun 2023 nihil. ”Kami tidak punya anggaran untuk implementasi qanun ini,” kata Zakwan.
Meski demikian, penegakan hukum bukan satu-satu cara untuk menekan jumlah perokok. Kampanye untuk menumbuhkan kesadaran publik jauh lebih penting.
Masih ada warga yang merokok di kawasan tanpa rokok, seperti tempat hiburan dan pasar tradisional.
Pemkot Banda Aceh bekerja sama dengan Aceh Institute meluncurkan program dai (penceramah) perkotaan mengampanyekan KTR. Sebanyak 55 dai di Kota Banda Aceh ditugasi berdakwah tentang bahaya rokok dari perspektif agama. Pendekatan keagamaan diharapkan memberikan dampak besar dalam upaya menahan laju perokok.
Anggota Aceh Institute, Nadia Ulfah, mengatakan, hasil pengawasan mereka menunjukkan, masih ada warga yang merokok di KTR, seperti tempat hiburan dan pasar tradisional. Para perokok usia muda sebagian beralih ke rokok elektrik.
Dia juga menemukan iklan rokok masih ditampilkan di jalan-jalan utama di dalam kota. ”Penindakan harus dilakukan karena masih ada pelanggaran,” kata Nadia.
Penelitian yang dilakukan oleh Ida Suryawati dan Abdul Gani dari Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Lhokseumawe menyebutkan, ada kecenderungan perokok usia remaja atau pemula terus bertambah. Faktor yang memengaruhi mereka merokok ialah pengaruh lingkungan sosial, faktor psikologis, faktor gaya hidup, dan pengaruh dari keluarga.
Sebagian besar keluarga di Aceh memperbolehkan anggota keluarga dewasa untuk merokok di dalam rumah, padahal secara tidak langsung hal itu telah mendidik anak-anak untuk menjadi perokok.